SEBAGAI
salah
satu kota besar di Eropa, Paris dijuluki La
ville lumiere yang berarti kota yang bercahaya, kota
pertama di dunia yang menggunakan lampu sebagai penerangan pada tahun 1828.
Telah banyak
film dan novel yang bercerita tentang Kota
Paris, kota ini memiliki tatanan arsitektur yang indah dan kental
akan suasana kota Eropa pada abad ke-19.
Tidak heran jika kita melihat tatanan
kota ini masih bercita rasa klasik, dengan bangunan-bangunan tua yang masih
difungsikan dengan baik, jalanan yang masih terbuat dari batu, lampu jalan dan ornamen
lainnya.
Setiap tahunnya Paris
dikunjungi oleh jutaan wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Beberapa objek yang
banyak kerap dikunjungi oleh turis antara lain seperti Champ Elysee, Notre-Dame,
Musée du Louvre, dan Menara Eiffel. Menara
Eiffel telah menjadi salah ikon peradaban bangsa Eropa. Terletak di pusat kota
Paris, menara ini dinamakan mengikuti nama arsiteknya Gustave Eiffel.
Menara Eiffel merupakan
produk dari revolusi industri, banyak pihak yang mengidentikkan menara Eiffel
saat ini sebagai sesuatu yang romantis, ada banyak alasan yang mungkin
melatarbelakanginya. Melihat desain Menara Eiffel yang mengekspos penggunaan
rangka baja, saya pribadi lebih cenderung kepada teori yang menyatakan bahwa
menara ini membangkitkan memori akan suasana kota-kota Eropa pada masa lalu,
khususnya masa-masa setelah revolusi
industri terjadi, ketika mayoritas pembangunan mulai menggunakan rangka baja
sebagai material utama.
Menara Eiffel
pernah difungsikan sebagai pemancar radio dan meteorologi, namun pada proses
kemudian menjadi landmark Kota
Paris. Ada sebuah elevator yang menjadi alat angkut bagi pengunjung untuk menuju
ke bagian atas menara, jika ingin menggunakan elevator ini, sebaiknya kita
memesan tiket sejak jauh-jauh hari. Karena jika membelinya langsung,
kemungkinan besar kita akan menemukan antrian yang panjang karena kapasitas
tampung menara yang terbatas.
Kunjungan
pertama saya ke menara Eiffel terjadi pada awal Desember 2018, itu adalah ketika pertama
kali saya menginjakkan kaki di negeri Napoleon ini. Saat itu kota Paris tengah
dilanda aksi demonstrasi besar-besaran oleh gerakan Gilets Jaunes atau rompi kuning, disebut rompi kuning karena
demonstran menggunakan rompi berwarna kuning yang biasa dipakai oleh pekerja, sebagai
simbol solidaritas kesejahteraan pekerja di Prancis.
Ketika itu aksi
pengrusakan oleh demonstran tengah marak terjadi, mobil dibakar dan pertokoan
dijarah, hampir seluruh tempat penting di Paris ditutup untuk umum, tak
terkecuali untuk kawasan menara Eiffel. Polisi tampak berjaga-jaga dan menutup
sebagian jalan protokol, sempat terbersit keinginan untuk membatalkan kunjungan saya ke menara Effiel
oleh karena alasan kemanan. Namun saya tetap berupaya memberanikan diri, dan
beruntungnya taksi yang saya tumpangi menyanggupi keinginan saya, meski ia
mewanti-wanti saya agar tidak berlama-lama karena situasi yang semakin tidak
kondusif.
Suhu Kota Paris berkisar 3 derjat celcius, dan musim dingin
baru saja dimulai, kabut tampak menyelimuti puncak menara Eiffel. Tidak banyak
altivitas yang dapat saya lakukan, suasana di sekitar menara ikonik
ini sepi dan mencekam. Setelah mengambil beberapa foto, saya segera menuju Gare
de Lyon untuk melanjutkan perjalanan menuju Kota Lyon.
Selama di
perjalanan saya melihat siaran televisi memperlihatkan bentrokan karena aksi
demonstrasi, ada banyak polisi dan demonstran yang terluka, saya bersyukur
tidak terjebak aksi demonstrasi besar-besaran tersebut.
Kunjungan kedua
terjadi pada awal bulan April 2019, ketika itu musim semi baru saja dimulai. Berbeda
dengan ketika pertama kali saya kemari, kali ini saya mendapati kawasan disekitar
menara Eiffel dipenuhi oleh ribuan turis dari berbagai belahan dunia. Sejak
pagi hingga malam hari, kawasan menara ini tidak henti-hentinya dikunjungi oleh
pengunjung yang sekadar
ingin berfoto atau membeli cidera mata.
Beberapa orang model,
maupun pasangan terlihat sedang melakukan sesi pemotretan. Mata saya kemudian
tertuju pada seorang India yang melakukan sesi pemotretan memakai baju
tradisional negaranya, membayangkan bagaimana ia jauh-jauh datang dari India
datang dengan membawa baju tradisionalnya hanya untuk melakukan sesi pemotretan
dengan latar belakang menara Effiel ini saya jadi tersenyum di dalam hati.
Hal yang menjadi
pembelajaran dari kunjungan saya ke menara Eiffel ini adalah saya tidak mendapati
ada bangunan yang lebih tinggi, ataupun mengalahkan “keagungan” dari menara
Eiffel. Di posisi mana pun kita berada di dalam kota Paris kita sudah dapat
melihat keberadaan menara ini. Ternyata pemerintah kota Paris telah menerapkan
peraturan yang ketat untuk bangunan di sekitar kawasan menara Eiffel, agar
bangunan yang dibangun tidak melampaui ketinggian tertentu.
Kawasan di dekat
menara Eiffel misalnya, peraturan pemerintah mengharuskan ketinggian maksimal
bangunan adalah 37 meter. Hal inilah yang mendukung keberadaan dari Menara
Eiffel ini menjadi tak tertandingi oleh bangunan lainnya, dan dapat dilihat
hampir dari berbagai sudut kota Paris.
Berkaca dari Paris, saya kemudian membayangkan bahwa kebijakan seperti ini, sudah
seharusnya juga dapat diterapkan untuk Ikon kebanggaan warga Kota Banda Aceh,
yaitu Masjid Raya Baiturrahman. Apapun pembangunan yang dilakukan di sekitar Masjid Raya
ini, pemerintah seharusnya tetap memberikan perhatian khusus, agar kemudian keberadaan
Ikon kebanggaan Kota Banda Aceh ini tetap lestari. []
Penulis : Zia Faizurrahmany El Faridy,
S.T, M.Sc, Mahasiswa
Doktoral
Civil Engineering, Institut National des Sciences Appliquées de Lyon, Prancis.
BACA JUGA