Di setiap rumah Aceh, ada nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi: “Peumulia jamee adat geutanyoe” memuliakan tamu adalah adat kita. Ungkapan ini bukan sekadar basa-basi. Ia adalah jantung dari kebudayaan Aceh, nilai yang membuat siapa pun yang datang ke Tanah Rencong akan merasakan hangatnya sambutan, tulusnya keramahan dan mencerminkan pandangan hidup dan sistem pengetahuan masyarakat Aceh.
Di tengah dunia modern yang serba cepat dan individualistis, adat peumulia jamee hadir sebagai pengingat bahwa nilai kemanusiaan tidak lekang oleh waktu. Tradisi ini bukan hanya etika sosial, melainkan warisan filsafat hidup yang mendalam tentang bagaimana manusia memahami dirinya dan sesamanya.
Jika dilihat dari perspektif filsafat ilmu, peumulia jamee memiliki tiga dimensi pengetahuan: ontologi (hakikat), epistemologi (sumber pengetahuan), dan aksiologi (nilai dan tujuan). Secara ontologis, adat ini berangkat dari pandangan bahwa tamu adalah karunia dan kehormatan. Dalam masyarakat Aceh, tamu dianggap membawa berkah bukan beban. Maka menyambut tamu dengan senyum, menghidangkan yang terbaik, dan memperlakukannya dengan penuh hormat adalah bagian dari ibadah sosial.
Secara epistemologis, pengetahuan tentang peumulia jamee tidak diperoleh dari teori atau buku, melainkan dari keteladanan dan pengalaman hidup. Sejak kecil, anak-anak Aceh melihat orang tua mereka menyambut tamu dengan tulus, menyediakan kopi, teh dan berbagi cerita. Dari situ mereka belajar, bahwa ilmu tidak hanya datang dari sekolah, tetapi juga dari kearifan budaya yang selalu hidup berdampingan dalam keseharian.
Sementara secara aksiologis, peumulia jamee mengajarkan nilai keikhlasan, empati, dan persaudaraan. Tindakan memuliakan tamu sejatinya adalah bentuk penghormatan terhadap martabat manusia. Nilai-nilai inilah yang menjadi landasan moral masyarakat Aceh dalam berhubungan dengan orang lain baik sesama Aceh maupun pendatang dari luar.
Dalam era digital saat ini, di mana hubungan manusia sering terasa dingin dan serba cepat, nilai seperti peumulia jamee menjadi sangat relevan. Gaya hidup serba cepat dan pengaruh budaya luar membuat sebagian masyarakat lupa pada akar tradisinya. Sikap acuh terhadap sesama, bahkan terhadap tamu, sering kali menjadi pemandangan biasa. Jika hal ini terus dibiarkan, kita akan kehilangan salah satu identitas penting dari kebudayaan Aceh. Tradisi ini menjadi pengingat penting tentang etika sosial dan kemanusiaan bahwa di tengah kemajuan teknologi, manusia tetap perlu mempertahankan rasa empati, sopan santun, dan solidaritas sosial dalam kehidupannya.
Budaya peumulia jamee atau memuliakan tamu merupakan salah satu nilai luhur yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Aceh. Sejak dahulu, orang Aceh dikenal sebagai bangsa yang terbuka terhadap pendatang, baik yang datang untuk berdagang, menuntut ilmu, maupun menyebarkan agama. Sikap ini bukan sekadar tradisi sosial, tetapi telah menjadi bagian dari identitas dan keislaman masyarakat Aceh.
Banyak tamu yang datang ke Aceh baik wisatawan, peneliti, atau relawan mengaku terkesan dengan cara masyarakat Aceh memperlakukan tamu. Di banyak tempat, tamu dipersilakan makan lebih dulu, dijamu dengan kopi khas, dan disambut dengan senyum yang hangat. Semua itu bukan karena protokol, tetapi karena adat telah melekat menjadi karakter.
Namun, tantangan muncul ketika modernisasi dan gaya hidup praktis mulai mengikis nilai-nilai lokal. Semangat peumulia jamee bisa perlahan luntur jika generasi muda hanya sibuk dengan ponsel dan urusan pribadi. Di sinilah pentingnya pendidikan budaya dan refleksi filosofis agar masyarakat tidak hanya mengenang adat sebagai warisan, tetapi menghidupkannya kembali sebagai panduan etika masa kini.
Filsafat ilmu mengajarkan bahwa pengetahuan yang sejati tidak hanya menjelaskan apa yang ada, tetapi juga bagaimana seharusnya manusia hidup. Dalam konteks ini, peumulia jamee bukan hanya identitas Aceh, melainkan pesan universal tentang kemanusiaan.
Ketika seseorang memuliakan tamu, sebenarnya ia sedang meneguhkan nilai tertinggi dalam peradaban yaitu saling menghormati. Dari ruang tamu-rumah sederhana di Aceh, nilai ini mengalir sebagai ajaran moral yang sebanding dengan prinsip etika di mana pun di dunia.
Tradisi ini menunjukkan bahwa filsafat tidak selalu hadir di ruang akademik tetapi juga di meja makan, di cangkir kopi, di setiap senyum yang menyambut orang datang. Peumulia jamee bukan sekadar adat, ia adalah cara berpikir, cara merasa, dan cara hidup. Ia mengajarkan bahwa memuliakan sesama adalah bentuk tertinggi dari pengetahuan dan kemanusiaan. Nilai ini menjadi simbol bahwa keramahan adalah pintu perdamaian. Di tengah dunia modern yang kian individualistik, peumulia jamee mengingatkan kita tentang pentingnya rasa hormat, empati, dan kepedulian antar manusia.
Di tengah arus globalisasi, masyarakat Aceh memiliki tanggung jawab untuk menjaga nilai ini, bukan hanya sebagai simbol masa lalu, tetapi sebagai cahaya moral untuk masa depan. Karena keramahan, sesungguhnya adalah warisan terbaik dari Tanah Rencong kepada dunia terutama kepada anak bangsa itu sendiri. Adat ini mengajarkan kita bahwa kemajuan tidak harus menghapus tradisi. Justru dengan mempertahankannya, kita bisa membangun masyarakat yang modern tanpa kehilangan jati diri.
Pada akhirnya, peumulia jamee bukan sekadar simbol keramahan, tetapi cermin dari peradaban yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Di tengah dunia yang sering kehilangan makna kebersamaan, tradisi ini mengajarkan bahwa menghargai orang lain adalah bentuk tertinggi dari ilmu dan iman. Jika setiap generasi Aceh mampu menanamkan kembali nilai ini dalam kehidupan sehari-hari, maka warisan leluhur tidak akan sekadar dikenang, melainkan terus hidup, menuntun masyarakat menuju masa depan yang beradab, hangat, dan penuh kasih.
Lebih dari sekadar adat, peumulia jamee adalah cerminan jiwa kolektif orang Aceh yang menjadikan keramahan sebagai wujud iman dan kecerdasan sosial. Dalam dunia yang kian terpecah oleh sekat digital dan ego, nilai ini hadir sebagai pengingat bahwa kemajuan sejati bukan diukur dari seberapa tinggi teknologi berkembang, tetapi dari seberapa dalam manusia mampu menjaga rasa saling menghargai. Ketika setiap rumah di Aceh tetap membuka pintunya dengan senyum tulus bagi tamu yang datang, maka sejatinya masyarakat Aceh sedang menjaga nyala kemanusiaan yang menjadi warisan abadi Tanah Rencong.
Karena itu, menjaga peumulia jamee bukan hanya tugas budaya, tetapi juga tanggung jawab moral setiap generasi Aceh. Di tengah tantangan globalisasi, tradisi ini dapat menjadi fondasi karakter bangsa yang beradab, terbuka, dan berjiwa sosial. Ketika nilai memuliakan tamu terus diajarkan di rumah, di sekolah, dan di ruang publik, maka Aceh tidak hanya mempertahankan adatnya, tetapi juga memberi contoh bagi dunia tentang bagaimana peradaban yang maju tetap bisa berakar pada kasih sayang, penghormatan, dan kemanusiaan. [Randy Anugrah P Harianja]
