Iklan

Iklan

Ketika Teknologi Lebih Cepat dari Guru: Potret Pendidikan Aceh di Era AI

11/10/25, 23:17 WIB Last Updated 2025-11-10T16:17:15Z

Kemajuan teknologi digital berlangsung begitu cepat hingga banyak sektor belum sempat menyiapkan diri, termasuk dunia pendidikan. Kini, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) bukan lagi sekadar wacana futuristik; ia telah hadir di ruang belajar, menggantikan sebagian peran manusia dalam membaca, menulis, bahkan menilai. Di tengah perubahan besar ini, muncul pertanyaan yang menggelitik: apakah guru-guru kita di Aceh siap beradaptasi, atau justru teknologi akan berlari lebih cepat dan meninggalkan mereka?




Secara kuantitatif, capaian pendidikan Aceh patut diapresiasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat angka partisipasi sekolah (APS) usia 7–12 tahun mencapai 99,42 persen dan usia 13–15 tahun sebesar 97,77 persen. Ini menandakan akses pendidikan dasar sudah relatif merata. Namun, di balik angka yang menggembirakan itu, masih ada persoalan lama yang terus berulang: mutu, pemerataan, dan relevansi pendidikan.


Banyak sekolah di daerah pedalaman menghadapi keterbatasan fasilitas dan kekurangan guru. Sebagian guru harus merangkap mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus karena kurangnya tenaga pendidik. Sementara itu, fasilitas belajar berbasis teknologi masih menjadi kemewahan di sebagian besar sekolah. Dalam konteks seperti ini, pembicaraan tentang “AI di ruang kelas” terasa seperti mimpi yang terlalu jauh.


Padahal, realitas global tak menunggu kesiapan lokal. AI kini hadir dalam berbagai bentuk: sistem pembelajaran adaptif, penilaian otomatis, hingga asisten digital yang mampu menulis materi pelajaran dalam hitungan detik. Teknologi melaju cepat—sementara sebagian besar guru kita masih berjuang memahami perangkat digital dasar.


Fenomena “teknologi lebih cepat dari guru” tidak hanya persoalan keterampilan teknis, tetapi juga paradigma. Banyak guru masih menganggap teknologi sekadar alat bantu tambahan, bukan bagian integral dari pembelajaran. Padahal, di era AI, peran guru tidak lagi sebatas penyampai pengetahuan, melainkan pembimbing proses berpikir kritis dan pembentuk karakter siswa.


Sayangnya, banyak guru di Aceh belum mendapat pelatihan memadai untuk memanfaatkan teknologi ini. Program peningkatan kompetensi digital sering bersifat formalitas—sekadar memenuhi administrasi, tanpa transformasi nyata di kelas. Sebagian guru bahkan merasa khawatir perannya akan digantikan oleh mesin. Kekhawatiran ini wajar, tetapi justru memperlihatkan pentingnya pembaruan kompetensi pedagogik.


Masalah mendasarnya adalah lambatnya sistem pendidikan kita menyesuaikan kurikulum pelatihan guru dengan perkembangan teknologi global. Akibatnya, terjadi jurang yang makin lebar antara guru yang belum siap beradaptasi dan murid-murid yang lahir di era digital. Dalam banyak kasus, murid lebih fasih menggunakan aplikasi belajar daring daripada guru mereka sendiri.


AI mampu mengerjakan banyak hal lebih cepat dan efisien daripada manusia. Namun, satu hal yang tak bisa digantikan oleh teknologi adalah nilai kemanusiaan. Guru bukan sekadar pengajar; ia adalah pembimbing, penanam nilai, dan teladan moral. AI bisa menjawab pertanyaan murid, tetapi ia tidak bisa memahami perasaan anak yang kehilangan semangat belajar. AI bisa menilai jawaban esai, tetapi ia tak mampu membaca karakter dan emosi siswa.


Karena itu, semakin canggih teknologi, semakin penting peran guru sebagai penjaga dimensi kemanusiaan pendidikan. Guru yang bijak bukanlah yang menolak AI, melainkan yang mampu memanfaatkannya secara kritis dan etis. Ia menjadikan teknologi sebagai mitra, bukan pengganti. Guru yang cerdas di era ini bukan yang paling mahir memprogram, tetapi yang paling mampu menuntun murid agar tetap berpikir mandiri, reflektif, dan bermoral.


Untuk memastikan pendidikan Aceh tidak tertinggal dalam arus AI, ada beberapa langkah strategis yang perlu diambil. Pertama, pelatihan guru berbasis praktik nyata. Dinas Pendidikan Aceh perlu menyelenggarakan program pengembangan kompetensi yang fokus pada penerapan AI dalam pembelajaran, bukan sekadar teori. Guru perlu dilatih menggunakan aplikasi pembelajaran adaptif, membuat soal otomatis, atau menyiapkan materi interaktif yang didukung AI.


Kedua, pemerataan infrastruktur digital. Banyak sekolah di Aceh masih kesulitan akses internet dan kekurangan perangkat komputer. Literasi digital tak akan bermakna tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Pemerintah daerah harus melihat ini sebagai investasi jangka panjang, bukan beban anggaran.


Ketiga, dorong budaya inovasi guru. Guru perlu diberi ruang dan dukungan untuk berinovasi dalam proses belajar. Banyak guru kreatif di Aceh yang mengembangkan media pembelajaran digital secara mandiri, namun sering tidak mendapat perhatian institusional. Padahal, inovasi pendidikan hanya tumbuh jika guru merasa dipercaya dan dihargai.


Keempat, integrasi nilai-nilai lokal dalam modernisasi pendidikan. Aceh memiliki kekuatan khas melalui tradisi dayah, nilai keislaman, dan budaya belajar yang kuat. Integrasi antara nilai religius dan teknologi harus menjadi arah pembaruan pendidikan di Aceh. Guru dayah pun dapat menjadi pionir dalam pemanfaatan teknologi yang tetap berpijak pada nilai-nilai tauhid dan akhlak.


Teknologi memang berlari cepat, tetapi manusia memiliki keunggulan yang tak tergantikan: kebijaksanaan. Pendidikan Aceh akan maju bukan karena kecanggihan AI semata, melainkan karena guru-guru yang mampu memimpin perubahan dengan hati, akal, dan nilai.


Aceh pernah dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan di Nusantara karena para gurunya bukan hanya pandai mengajar, tetapi juga membimbing jiwa. Di era kecerdasan buatan, semangat itu harus dihidupkan kembali. AI bukanlah ancaman bagi guru Aceh, melainkan tantangan untuk belajar, beradaptasi, dan menegaskan kembali makna kemanusiaan dalam pendidikan.


Jika teknologi terus berlari dan guru tertinggal, maka pendidikan kita akan kehilangan arah. Tetapi bila guru mampu berjalan seiring dengan teknologi, maka AI justru akan menjadi sahabat pendidikan Aceh—membantu, bukan menggantikan; mempercepat, bukan menghapus makna kemanusiaan. [Randy Anugrah P Harianja]

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Ketika Teknologi Lebih Cepat dari Guru: Potret Pendidikan Aceh di Era AI

Terkini

Topik Populer

Iklan