Iklan

Iklan

Emha Ainun Najib: Atheisme, Logo Haram MUI dan Aqidah Urusan Dapur

12/23/22, 19:40 WIB Last Updated 2022-12-23T12:40:18Z


Oleh: 
Jamaluddin Phonna


WASATHA. COM - Emha Ainun Najib lebih sering dikenal dengan Cak Nun atau Mbah Nun, adalah seorang intelektual muslim yang berasal dari Jombang Jawa Timur. Selain itu beliau juga merupakan budayawan yang sering menyampaikan gagasan pemikirannya dan kritik-kritiknya melalui puisi, lagu, film, cerpen dan buku.


 

Alasan memilih Cak Nun karena selain Cak Nun adalah seorang Tokoh Pemikir Muslim, beliau juga seorang Kiyai yang punya cara-cara tidak lazim sebagaimana para Kiyai di Jawa dalam berdakwah dan menemani umat.


 

Berikut ini adalah beberapa pemikiran Cak Nun, yang menurut penulis sangat menarik untuk diuraikan


 

Agama “Atheisme”


 

Dalam sebuah kelompok kajian “Maiyah” yang diasuh oleh Cak Nun, sering muncul pertanyaan dari para jamaah. Salah satu pertanyaan yang paling menggelitik bagi penulis adalah; “Cak, kenapa orang yang rajin shalat dan ibadah lainnya masih korupsi?”. Pertanyaan yang terkesan berat tersebut dicoba jawab oleh Cak Nun dengan beberapa analogi dalam kehidupan sehari-hari. Singkatnya bagi penulis dari apa yang dipaparkan Cak Nun, bahwa mereka para koruptor baru sebatas menjalankan syariat. Menunaikan shalat lima waktu, berpuasa, menunaikan zakat bahkan naik haji, belum menjamin seseorang akan mendapatkan tiket untuk masuk surga. Itu semua hanyalah metode bukan tujuan. Walaupun celakanya masih banyak orang berpikir dengan melakukan semua ibadah tadi, menganggap dirinya sudah sah menjadi seseorang yang beragama. Namun dia bahkan kadang lupa tetangga kiri kanannya masih kelaparan.


 

Oleh karena itu orang beragama yang masih korupsi, berarti dia belum ber-Tauhid. Namun bertauhid yang dimaksud bukan sekedar mengakui ke-Esa-an Tuhan, melainkan juga menyatu dengan Tuhannya. Dengan kata lain orang yang beragama tetapi masih korup, sebenarnya masih percaya adanya Tuhan, namun ia tidak percaya atau setidaknya telah lupa akan janji-janji, sifat-sifat Tuhan, dan keagungan Tuhan. Hal itu biasa kita lihat hari ini pada segelintir pejabat kita yang korup. Ketika dilantik disumpah di bawah kitab suci dan bersumpah “Demi Allah”, namun kenyataannya mereka berbohong.


 

Mui Harusnya Pasang Logo Haram


 

Pemikiran lain dari Cak Nun yang menarik bagi penulis adalah ketika menyoal tentang label halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang wajib ada pada setiap kemasan/ produk khususnya makanan dan minuman.


 

Sederhananya, Indonesia sebagai negara yang mayoritas muslim seharusnya tidak perlu khawatir dengan produk-produk yang dijual, baik itu halal atau haram, apabila setiap produk diberikan tanda khusus atau label, sesuai dengan hukum yang mengandung di dalamnya, baik itu halal atau haram. Singkatnya, MUI hanya harus lebih teliti dalam memberikan pelabelan produk berindikasi halal atau haram, agar tidak menimbulkan keraguan atau rasa tidak percaya masyarakat.


 

Bukan hanya bagi Muslim, namun juga bagi agama selain Islam, juga harus diberikan kemudahan dalam mendeteksi produk-produk mereka. Dengan kata lain, penggunaan label halal dan haram dibutuhkan untuk memudahkan masyarakat Indonesia yang homogen.


 

Aqidah Itu Urusan Dapur



Bagi Cak Nun wajah Islam di Indonesia hari ini menjadi kontroversi karena tidak jarang masyarakat selalu ribut dengan hal-hal keagamaan yang sifatnya pamer kadar keimanan.


 

Idealnya urusan keimanan itu adalah urusan aqidah yang tidak perlu dipajang-pajang layaknya kita memajang pot bunga di teras rumah atau foto keluarga di ruang tamu rumah kita. Biarlah urusan aqidah menjadi bahan bakar keimanan yang kita tempatkan rapi di sudut dapur rumah kita.


 

Malah seharusnya yang kita pamerkan di depan rumah adalah Akhlak yang bila dilihat orang lain akan membuat nyaman dan tentram, sehingga orang penasaran dan akhirnya masuk ke rumah kita. Syukur-syukur bila orang itu tertarik kemudian dengan bahan bakar kita dan mau memilikinya juga, yaitu keimanan kepada Allah SWT dan Muhammad SAW.


 

Dari beberapa pemikiran Cak Nun di atas dapat disimpulkan bahwa selalu dibutuhkan ketelitian dan ilmu yang mendalam tentang beragama, mengingat beragama secara syariat saja tidaklah cukup untuk mengklaim diri sebagai kaum yang beragama. Agama dewasa ini seringkali menjadi sebatas formalitas, ajang pencitraan dan hanya sebagai sebuah rutinitas semata.


 

Indonesia yang terdiri dari berbagai agama memang sudah seharusnya saling menghargai antar sesama, agar tercipta saling percaya dan saling mencintai. Hal ini dibutuhkan untuk membunuh kesalingcurigaan serta tumpangtindihnya hukum-hukum yang berlaku. Melalui pelabelan khusus pada produk misalnya, keberagaman harus muncul untul mewakili dirinya yang utuh.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Emha Ainun Najib: Atheisme, Logo Haram MUI dan Aqidah Urusan Dapur

Terkini

Topik Populer

Iklan