Iklan

Iklan

Mengenal TIA Pemikiran KBA dalam Buku Acehnologi, Seni Meningkatkan Literasi dari Aceh

12/23/22, 12:29 WIB Last Updated 2022-12-23T05:29:34Z


Oleh: Ahmad Sayuti


WASATHA.COM - Membaca adalah sarana untuk lebih mengenal dunia, seseorang yang mempunyai wawasan luas dan kritis terhadap suatu fenomena, ini semua didapatkan dengan cara membaca. Seperti kata pepatah, membaca adalah jendela dunia, dengan membaca manusia dapat mengetahui segala sesuatu tentang isi dunia ini yang belum pernah diketahuinya.


 

Janan Witanto, Minat Baca Yang Sangat Rendah, 2018. Menurut data statistik dari UNESCO (The United Nations Educational, Scientific, and Culture Organization), dari total 61 negara, Indonesia berada di peringkat 60 dengan tingkat literasi rendah, sungguh sangat memprihatinkan apabila melihat hasil data statistik ini, Indonesia negara yang luas pasti juga mempunyai generasi-generasi yang banyak pula, namun sayang kebanyakan dari orang-orang Indonesia masih malas dalam berliterasi.


 

Aceh adalah bagian negara Indonesia, fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat Aceh sekarang adalah generasi-generasi muda Aceh sekarang sangat minim sekali minatnya dalam membaca buku, hal demikianlah yang membuat negara Indonesia semakin kalah bersaing dengan negara-negara lainnya dalam hal literasi.


 

UNESCO juga menyebutkan bahwa minat membaca masyarakat Indonesia berada pada angka 0,001%. Dan artinya dari seribu orang hanya satu di antaranya yang memiliki kebiasaan membaca.


 

Dikutip dari Databoks.Katadata.co.id, berdasarkan proyeksi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2018 mencapai 265 juta jiwa. Jumlah tersebut terdiri dari 133, 17 juta jiwa laki-laki dan 131, 88 jiwa perempuan. Dan bila kita bandingkan antara jumlah minat baca dengan jumlah jiwa penduduk Indonesia sungguh sangat miris, dari sekian banyaknya yaitu diantara 265 juta jiwa tetapi yang memiliki kebiasaan membaca hanya satu orang.


 

Kemajuan teknologi tidak bisa di hindari, dari tahun ke tahun teknologi semakin hari semakin canggih, smartphone adalah bukti nyatanya, jika dibandingkan HP zaman dulu dengan zaman sekarang sangat terlihat sekali perbedaannya.



Generasi millennial atau generasi Z merekalah pengguna teknologi informasi yang sangat aktif, salah satu teknologi informasi yang sangat aktif mereka gunakan internet, dengan koneksi internet banyak hal yang bisa mereka lakukan. Generasi millennial lahir antara tahun 1981-2000 sementara Generasi Z 1995-2010.



Generasi millennial yang merupakan pengguna internet secara umum kurang  mampu  memilah  informasi.  Dewasa  ini  nampaknya  telah  terjadi  kecenderungan  pengguna  internet  yang  sering menyampingkan nilai-nilai moral dan  etika.



Pernyataan diatas sangat nyata dilihat di kalangan generasi millennial atau Z, dimana kebanyakan dari mereka banyak yang mengabaikan nilai-nilai moral dan etika ketika menggunakan teknologi informasi, dan yang terjadi adalah munculnya tindakan-tindakan negatif. Salah satunya adalah plagiarisme dan efeknya yaitu timbulnya hasrat malas membaca dan menganalisis.



Tingginya kepercayaan masyarakat Aceh terhadap berita di media sosial (medsos) yang belum tentu benar, juga merupakan suatu hal yang harus menjadi kekhawatiran semua pihak.


 

Akibat terlalu mempercayai medsos (internet), muncullah inisiatif untuk melakukan plagiarisme atau plagiat dikalangan generasi muda Aceh, dan dampaknya sangat fatal apabila budaya plagiat marak dikalangan generasi muda ini.

 


Plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, atau dengan kata sindirannya adalah jiplakan.


 

Bayangkan jika budaya plagiat ini berkembang dikalangan generasi muda Aceh, apa yang akan terjadi? Yang pasti penyakit rasa malas akan mengakar ketika di suruh analisis dan menyelesaikan suatu masalah.


 

Padahal di dalam agama islam manusia sangat di tuntut untuk membaca, bukti nyatanya terdapat dalam QS. Al-Alaq ayat 1-3, dan makna yang terkandung dalam surah ini yaitu Allah SWT menyuruh kepada manusia untuk membaca, dapat disimpulkan bahwa membaca itu sangat penting bagi manusia.


 

Membaca bukan hanya mencerdaskan diri seseorang, tetapi dengan membaca negarapun ikut maju dan dikenal oleh negara lain. Generasi muda adalah kunci yang harus selalu dijaga agar suatu negara tetap maju.


 

Bagaimana cara meningkatkan minat literasi di kalangan anak muda Aceh adalah tugas kita bersama, berangkat dari itu semua yang perlu millennial dan generasi Z ketahui ternyata orang Aceh memiliki cara tersendiri untuk meningkatkan kualitas intelektual dalam dirinya. Hal tersebut di tuliskan oleh seorang pemikir dari Aceh Kamaruzzaman Bustamam Ahmad atau orang-orang sering memanggilnya dengan singkatan KBA.


 

KBA menyebutkan orang Aceh bisa meningkatkan kualitas pemikirannya melalui Tradisi Intelektual Aceh (TIA), narasi TIA sendiri lahir dari amatan fenomenologis dan semantik KBA terhadap cara berfikir orang Aceh. Jika mengacu pada pemikiran KBA mengenai Tradisi Intelektual di Aceh, maka akan terlihat tiga elemen yang menjadi pokok penting dalam meningkatkan kualitas pemikiran atau kecerdasan seseorang, pertama melalui seumike, kedua, melalui meugure dan ketiga, melalui teumuleh.


 

Seumike, menurut KBA cara berfikir orang Aceh sangat dipengaruhi oleh tingkatan-tingkatan spritual dan pemahaman mereka terhadap konsep alam (kosmologi). Sehingga seumike atau kegiatan berfikir lebih diarahkan kepada bagaimana menyeimbangkan aspek-aspek kosmologi seumike, yakni seperti adanya Tuhan, Alam, Manusia baru Seumike, artinya bahwa kegiatan berfikir dalam masyarakat Aceh adalah kegiatan berfikir kontemplatif dan filosofi demi tujuan untuk menyeimbangkan hubungan antara ketiga elemen kosmik ini. Sehingga jika terjadi ketidakseimbangan, tugas seumike adalah mencari cara atau petunjuk bagaimana supaya ketiga elemen tersebut kembali berjalan seimbang. Inilah yang disebut oleh KBA sebagai berfikir untuk mencari keseimbangan dan keselarasan kosmologi. Kegiatan seumike ini kemudian menjadi ciri khas keilmuan Aceh dimana para ulama berusaha mencari pemikiran yang konseptual dan hakiki.


 

Meugure, tradisi meugure menjadi satu nafas bagi kehidupan masyarakat Aceh. Karena seseorang akan sangat merasa manfaatnya bagi masyarakat ketika dia telah pernah meugure pada seorang ulama atau guru, baik di dayah maupun madrasah. Tradisi ini tentu bukan saja terjadi di Aceh tetapi juga di wilayah lain di nusantara. Seorang santri akan dibekali dengan ilmu-ilmu lahir dan ilmu-ilmu batin. Faktanya seorang santri tidak hanya diajarkan ilmu burhani dan bayani, kepada mereka juga diajarkan ilmu ma’rifah atau irfani. Sehingga ketika menyelesaikan pendidikan di pesantren, mereka telah mampu menjadi pengawal bagi kehidupan masyarakat.


 

Teumuleh, aspek ketiga dari Tradisi Intelektual Aceh kemudian adalah menulis atau teumuleh, dalam hal ini, buku menjadi salah satu instrument dalam mengukur tingkat intelektualitas suatu bangsa, begitupun Aceh.


 

Ketiga tradisi ini lah yang harus di tanamkan oleh orang Aceh agar bisa meningkatkan kualitas pemikiran atau kecerdasan di dalam dirinya, untuk generasi millennial dan generasi Z sudah sepatutnya memunculkan kembali tradisi positif ini di dalam jiwanya, jika tradisi ini di bangkitkan kembali penulis yakin kekuatan literasi orang Aceh akan kembali meningkat.



Oleh karena itu ada beberapa saran agar minat membaca tertanam dibenak generasi millineal:


Pertama: Orang tua harus memainkan perannya. Dalam artian orang tua harus lebih cerdas mendidik anak, kebanyakan orang tua sekarang salah dalam mendidik anak, dengan hadirnya teknologi sekarang para orang tua dengan mudahnya mengenalkan anak-anaknya dengan hal-hal yang bisa merusak masa depan anaknya sendiri, seperti membelikan smartphone ke pada anak-anaknya yang masih dibawah umur otomatis si anak akan lalai dengan dunianya sendiri dan minat membacapun akan hilang, semestinya orang tua harus mengenalkan buku kepada anak-anaknya, setelah mengenalkan buku orang tua juga harus mengajari dan mendampingi si anak agar anak-anak serius dalam mempelajari buku-buku yang dikenalkan.


 

Kedua: Menyediakan perpustakaan keliling. Dalam hal ini pemerintah harus dilibatkan, sepatutnya Gubernur, Wali Kota, harus menyediakan jasa perpustakaan keliling ke seluruh pelosok Aceh. Karena banyak di pelosok-pelosok Aceh yang belum mempunyai tempat untuk berliterasi, permasalahan ini harus menjadi perhatian serius bagi lembaga pemerintah.

 


Ketiga: Membatasi diri agar tidak terlalu candu dengan smartphone. Realitasnya generasi millineal sangat candu terhadap HP, akibat kecanduan mereka tidak bisa lagi memanjemenkan waktu untuk belajar dan berliterasi, ini juga harus menjadi perhatian serius bagi pribadi seseorang, jangan sampai teknologi memperbudak kita, sepatutnya kita yang memperbudak teknologi untuk kebutuhan dan sarana yang mendukung memperkaya wawasan kita.

 


Jika ketiga poin diatas mampu dijalankan, negara Indonesia akan bisa menanggulangi krisis minat membaca. Dan juga bisa membenahi generasi millineal ke arah yang lebih baik lagi guna untuk memajukan bangsa.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Mengenal TIA Pemikiran KBA dalam Buku Acehnologi, Seni Meningkatkan Literasi dari Aceh

Terkini

Topik Populer

Iklan