WASATHA.COM, Subulussalam - Kini Baina (22) dan abangya Sapudin (23) hanya tinggal berdua di rumah reot 4 x 5 meter peninggalan ayahnya. Bangunannya 20 meter dari bibir sungai Lae Souraya, Desa Belukur, Kecamatan Rundeng, Kota Subulussalam.
Saat ini Aksi Cepat Tanggap (ACT) Aceh bersama Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) Subulussalam sedang berikhtiar membangun sebuah rumah layak dan memberikan modal usaha untuk Baina.
Kepala Cabang ACT Aceh Lisdayanti, mengajak masyarakat mendukung dan mendoakan agar Baina memiliki rumah layak huni dan memberikan modal usaha kepada Baina.
“Insya Allah, uluran tangan kita sangat berarti bagi mereka,” pungkasnya, Senin, 28 Desember 2020.
Dikatakan Lisda, Bentuk dukungan berupa donasi dapat disalurkan melalui rekening Bank Aceh Syariah 01001930009205, BNI Syariah 6600011008, atau Mandiri Syariah 708978602. Konfirmasi donasi via pesan ke Instagram @act_aceh, WhatsApp 082283269008, atau telepon 0651-7315352.
Ia menjelaskan, rumah Baina jauh dari kata nyaman. Bangunan terbuat dari kayu semakin lapuk, sejumlah bagian dinding telah berlubang. Bila hujan sudah bisa dipastikan air merembes dari atap berlubang. Pondasi rumah kan bergoyang bila angin kencang menerpa.
Mesikpun rumahnya berbentuk rumah panggung, jika air sungai meluap akan merayap cepat ke dalam rumah. Baina dan abangnya pun mengungsi ke rumah bibi mereka. Peralatan di dalam rumah dibiarkan begitu saja sebab tidak ada barang berharga yang perlu diselamatkan kecuali sebuah ponsel. Angin kencang dengan mudah membuat pondasi rumah Baina bergoyang.
“Rumah Baina tanpa sekat, hanya satu ruangan menjadi semua pusat aktifitas. Rumah kayu berusia 20 tahun itu mulai difungsikan sebagai ruang makan, ruang tidur, dan ruang tamu,” lanjutnya.
Pada malam hari, rumah Baina hanya disinari 1 buah lampu penerang. Fasilitas listrik pra bayar pun dapat tersedia melalui bantuan dermawan. Terkadang rumah mereka gelap gulita. Baina tidak sanggup membeli token listrik hanya untuk menghidupkan sebuah lampu.
“Ketika ayahnya masih hidup, Baina sering tidur di rumah bibinya di samping rumah mereka. Ia risih kalau tidur bertiga dengan ayah dan abangnya,” imbuhnya.
Setelah ayanya meninggal, beberapa waktu lamanya Baina dan kakak laki-laki menetap di rumah bibinya. Namun kemudian mereka kembali lagi ke rumah asal agar tidak menjadi beban. Baina mengambil posisi sebagai kepala keluarga. Sedangkan abangnya mengalami tunagrahita atau gangguan kecerdasan akibat step waktu bayi.
Kini Baina dan abangnya tinggal di kediaman mereka. Sesekali mereka tidur di rumah pamannya karena Baina merasa risih tidur dengan abangnya sendiri dalam satu ruangan.
Tidak ada warisan peninggalan sang ayah kecuali rumah itu. Ayah Baina sendiri semasa hidup bekerja sebagai pencari belut mulai dari pukul 7 pagi sampai pukul 1 siang. Dalam 2 minggu, ia hanya bisa mendapatkan 2 hingga 4 kg yang dijual di Pasar Rundeng ketika hari pajak dengan harga per 1 kilogram Rp 35.000 – 45.000.
Beberapa kali ayah Baina mengajukan proposal pembangunan rumah ke pihak terkait. Tapi tidak ada respon apa-apa. Terakhir, mereka mendapatkan bantuan sebelum ayahnya meninggal dunia.
“Biaya hidup mereka sementara ditanggung pamannya dengan kondisi ekonomi pas-pasan. Kadang-kadang tetangga Baina ikut serta mengulurkan kepeduliannya,” pungkasnya.
Baina dikenal cerdas. Di sekolah dasarnya dulu ia selalu masuk peringkat 5 besar. Ia juga pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Akibat tak memiliki biaya pada saat usia SMA/sederajat ia melanjutkan pendidikan di SMA Rundeng. Alhamdulillah, lagi-lagi ia mengukir prestasi sehingga mendapatkan beasiswa pendidikan.
Hari-harinya usai pulang sekolah Baina bekerja di salah satu rumah. Upahnya bekerja per bulan Rp 600.000 hingga Rp 700.000 selalu diberikan kepada ayahnya. Namun, kini ia takut bekerja di luar jika harus meninggalkan abangnya sendirian di rumah.
Baina terpaksa mengakhiri pendidikannya di tingkat SMA. Ia tidak bisa melanjutkannya disebabkan sulitnya ekonomi dan harus menjaga abangnya. Abangya hilang kendali kalau ada anak-anak iseng mengganggunya sehingga dikhawatirkan lari dari kampung halaman atau melempar anak-anak penganggu dengan batu atau dengan benda lain di sekitarnya. Yang paling ditakutkan Baina adalah kalau abangnya masuk ke sungai dan terhanyut.
Ketika Matahari Kehidupan Baina Layu
Sosok ayah adalah matahari kehidupan Baina dan abangnya. Ayahnya meninggal ketika sedang tidur. Pagi itu Baina pulang ke rumah seperti biasanya karena Baina tidur di rumah bibinya. Baina membuka pintu rumah melihat ayahnya masih tidur di dalam kelambu.
“Ayah, ayah,” Baina memanggil ayahnya tapi tidak ada sautan. Baina mengira ayahnya tidur pulas karena kelelahan mencari belut. Pekerjaan yang dilakoni ayahnya sehari-hari demi menyambung hidup keluarga.
Sekitar 30 menit kemudian Baina kembali memanggil ayahnya tapi juga tak ada sautan. Akhirnya ia membuka kelambu dan melihat kepala ayahnya sudah terjatuh dari bantal. Baina mendatangi dan terus memanggil. Ia pun mengusap wajah dan memegang tangan ayahnya. Rasanya dingin. Baina terdiam menahan emosi, menyadari bahwa sosok ayah yang dicintainya sudah tiada.
Baina bangkit memanggil abangnya dengan menahan air mata, menyuruh abangnya memanggil bibi agar datang ke rumah. Abangnya lari memanggil bibi.
“Bibi, bibi. Lihat ayah. Ayah sudah mati”. Abang Baina berkali-berkali mengusap wajah dan memukul kepalanya.
Ayah Baina telah pergi. Di masa hidupnya ia tidak menikah lagi setelah istrinya meninggal dunia. Urusan rumah tangga semua dikerjakannya seorang diri. Mulai dari mencuci baju sampai memasak dilakukan oleh ayah Baina sebelum pergi mencari belut. Ia tidak ingin membebankan pekerjaan rumah kepada anaknya.
Ia pun telah pergi. Baina dan Sapudin telah kehilangan dua matahari kehidupannya.
Baina ingin bangkit dengan niat memiliki sebuah usaha kelontong, sembako, atau kios yang yang menjual jajanan anak-anak agar bisa membangun sebuah rumah impian. [ ]