Lebaran di kampung juga cukup berkesan, umumnya semua rumah membuka pintu dan pagar hingga sore. Agar dapat dikunjungi atau saling mengunjungi satu sama lain, termasuk juga tetamu dari kota. Suasana ini beda jauh di pusat kota yang sudah mulai hidup sendiri-sendiri, di hari raya jarang terlihat pintu rumah terbuka lebar untuk siapa saja yang datang.
Arif Ramdan |
SEPULUH hari terakhir, lalu lintas di Banda mulai sepi, hilir mudik orang tak seperti biasa di awal Ramadhan. Pedagang penganan berbuka pun perlahan tutup lapak. Pamit undur dari sisi jalan trotoar jalan-jalan di Banda Aceh, Ibu Kota Pusat Provinsi Aceh.
Suasana di masjid pun demikian, shaf shalat tarawih mulai maju ke depan. Sebagian jamaah sudah mudik ke kampung asal atau menyesaki pusat-pusat belanja. Hanya masjid-masjid tertentu yang semakin hari semakin padat jamaah tarawih dan Qiyamul Lail. Di Masjid Al Makmur, Lampriek, misalnya. Jamaah semakin membludak, itikaf penuh hingga jelang waktu shubuh.
Banda Aceh, sebagian besar penduduknya merupakan warga pendatang dari berbagai kawasan di Aceh. Sudah tentu, jika hari raya datang kota ini ditinggal mudik penduduknya. Mereka yang ke pelosok Aceh Besar, Barat dan jalur Selatan sudah mulai bergerak hari ini, pun demikian pemudik dari Banda Aceh ke kawasan pesisir utara dan timur sudah bergerak meninggalkan Banda Kota Gemilang.
Tradisi mudik Idul Fitri di Aceh sama seperti daerah lain di Nusantara. Balik Kampung adalah ritual tahunan, apalagi berkaitan dengan moment spesial Hari Raya Idul Fitri. Di Indonesia secara umum aktivitas ini dikenal dengan istilah Mudik, istilah bahasa Jawa Mulih Udik, artinya Kembali atau pulang ke Udik alias kampung halaman.
Mudik dalam tradisi bangsa Indonesia, tidak lepas dari sejarah anak bangsa yang merantau ke Jakarta sebagai pusat negara yang menjanjikan kesejahteraan hidup. Orang mencari rezeki di ibu kota dan kembali ke kampung untuk memperlihatkan keberhasilan selama di Jakarta. Tidak jarang, di era 1970 an banyak lagu berkisah ibu kota dengan segala keindahan dan kemewahan yang menjanjikan rezeki.
Mudik bermetamorfosa dari hanya sekadar shilaturrahmi atau berziarah ke makan orang tua di kampung, menjadi ritual wajib tahunan dalam ajang 'pamer' kesuksesan. Tak salah jika Kota-kota besar, khususnya Jakarta sempat kelimpungan menghadapi arus balik pemudik yang kembali membawa saudara untuk mengadu nasib mencari pekerjaan layak dan bisa berhasil seperti para pendahulu mereka sebelumnya.
Untuk memenuhi hasrat pulang kampung, wo gampong, atau balik kampung, kita sudah terbiasa mengadakan yang perlu dipersiapkan dibawa ke kampung halaman. Yang tidak tersedia di kampung kita bawa dari kota untuk dapat dinikmati bersama handai tolan. Bahkan, uang pun kita rela antre untuk ditukar dengan yang baru di Bank Indonesia. Uang baru yang masih segar berkilau dan belum lepek disiapkan untuk bagi-bagi rezeki di kampung halaman.
Kampung yang kita dari sana bermula, sebagian besar di antaranya masih benar-benar kampung halaman yang indah, sederhana dan menjaga kearifan lokal. Pulang ke kampung yang belum terjamah teknologi modern dan racun hedonisme orang kota, lebih sangat berkesan dan membekas. Mandi di sungai, kepulan asap dapur dari kayu bakar saat memasak, mau apek asap di air minum, dan aneka kuliner khas kampung selalu terkenang.
Meski akan cukup alergi bagi anak-anak kita yang lahir dan tumbuh besar di Ibu Kota dengan makanan dan jajan siap saji. Tapi mereka harus dikenalkan dengan budayanya, asal muasal leluhrunya. Itulah makna sebenar dari esensi pulang kampung di Hari Raya Idul Fitri.
Lebaran di kampung juga cukup berkesan, umumnya semua rumah membuka pintu dan pagar hingga sore. Agar dapat dikunjungi atau saling mengunjungi satu sama lain, termasuk juga tetamu dari kota. Suasana ini beda jauh di pusat kota yang sudah mulai hidup sendiri-sendiri, di hari raya jarang terlihat pintu rumah terbuka lebar untuk siapa saja yang datang.
Lirik lagu dari negeri seberang ini, memicu kita untuk selalu rindu dan Balik Kampung, selamat Mudik dan selamat Hari Raya Idul Fitri yang tinggal beberapa hari lagi.
Perjalanan jauh tak ku rasa // Kerna hati ku melonjak sama, Ingin ku jumpa sanak saudara
Yang selalu bermain di mata // Nun menghijau gunung ladang dan rimba //Langit nan tinggi bertambah birunya // Deru angin turut sama berlagu // Semuanya bagaikan turut gembira
Balik Kampung! // Oh, oh, oh Balik Kampung!
Terbayang wajah //Wajah yang ku sayang // Satu- satu tersemat di kalbu// Pasti terubat rindu di hati// Menyambut kepulangan ku nanti ...
Selamat Balik Kampung, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriyah. Semoga hari raya yang berkesan dengan segala kemaaafan. []
Penulis adalah Dosen pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry,Banda Aceh. Email : arif.ramdan@ar-raniry.ac.id
BACA Artikel Lain:
Ingin Bebas
Puasa Hoak
Lailatul Qadar, Dan Angin Pun Berhenti
Lailatul Qadar di Penjara Kajhu