Kehadiran Ramadhan tahun ini di antara peristiwa besar Pilpres 2019 diharapkan dapat meredakan sebaran hoaks di masyarakat dan kita tidak menjadi bagian manusia yang terpapar berita bohong sehingga sebulan ke depan kita terbebas dari segala prasangka yang ditimbulkan dari kabar bohong tersebut.
RAMADHAN tahun kita berada pada rangkaian peristiwa besar, pesta demokrasi, lima tahunan di Indonesia. Hingga akhir Mei nanti, setidaknya kita masih akan menanti kabar siapa pemenang yang akan memimpin negeri ini selanjutnya.
Setiap tahapan Pilpres masih terus berlangsung, proses penghitungan belum berhenti dengan beragam dinamika informasi yang mengikutinya. Informasi benar, kurang benar, hingga informasi bohong berseliweran menghampiri kita setiap hari.
Pilpres 2019 memang diwarnai dengan hadirnya berita palsu yang memapar rakyat Indonesia, tidak jarang kita menjadi bagian penyebar kepalsuan berita tersebut karena latah, dan tidak mendapat akses ke sumber informasi utama. Informasi tiada sumber jelas beredar di jagat sosial media terutama jejaring grup WhatsApp, tempat di mana hoaks mendapat potensi tersebar dalam waktu tidak lama.
Berita bohong adalah malicious deception atau perbuatan yang buat untuk tujuan jahat. Momentum Pilpres menjadi ruang bagi terjadinya perbuatan ini. Kita kerap menerima kabar dua pasangan calon presiden dengan ragam perspektif yang disajikan si pembuat konten. Tak jarang kita lupa, yang sedang disasar dalam kontens hoaks itu adalah empat saudara kita, empat orang muslim, putra terbaik bangsa Indonesia.
Pondasi yang dibangun dalam ujaran kebohongan itu, kerap kita dapat pada isu-isu agama, budaya,komunisme, hingga urusan pribadi yang sejatinya tidak tersentuh ke wilayah publik. Tidak heran, jika peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakir merilis data yang cukup mengejutkan di mana survei tahun 2018 menempatkan Aceh, Banten dan Jawa Barat menjadi wilayah dengan tingkat penerimaan hoaks yang sangat tinggi.
Trend itu belum turun, percepatan sebaran hoaks belum mereda hingga saat ini, apalagi momentum Pilpres sangat memungkinkan terus terproduksinya berita bohong di sekitar kita.
Kehadiran Ramadhan tahun ini di antara peristiwa besar Pilpres 2019 diharapkan dapat meredakan sebaran hoaks di masyarakat dan kita tidak menjadi bagian manusia yang terpapar berita bohong sehingga sebulan ke depan kita terbebas dari segala prasangka yang ditimbulkan dari kabar bohong tersebut.
Puasa secara bahasa diartikan sebagai kegiatan menahan, al imsak. Menahan dari segala hal yang dapat membatalkan puasa, makan dan minum hendaknya ditahan mulai terbit fajar hingga terbenam matahari saat tibanya waktu Magrhib.
Saat puasa, kita juga dianjurkan menahan diri dari berbagai perkara yang dapat membatalkan ibadah ini, seperti berkata bohong (az-zuur). Saat puasa, sejatinya kita juga menahan diri terviralkannya berita bohong di sekitar kita.
Berkata dusta dilarang, memviralkan dan menyebarkan kedustaan dari informasi yang berkembang juga perbuatan yang tercela dan dapat mengurangi pahala kita dalam berpuasa. Apalagi kita mengetahui informasi itu sesat, tetapi menyebarkannya kembali (mengamalkan kebohongan) karena ada kepentingan di sebalik berita hoaks itu.
Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Salam telah mengingatkan kita dalam satu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, berbunyi: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.”
Ramadhan memberi ruang kepada kita untuk menahan dan tidak menjadi bagian dari tersebarnya kabar bohong kepada banyak orang. Amaran atau perintah agar tidak melakukan hal itu telah jelas disabdakan Nabi kita. Jika puasa ini ingin berbobot dan mendapat kesempurnaan ibadah, maka tahanlah diri kita dari berbuat dan menyebarkan kebohongan alias hoaks.
Mari berlatih menahan, sebagaimana puasa mengajarkan kita menahan diri dari larangan yang dapat membatalkan puasa. Berpuasa berbuat dusta, memproduksi berita bohong, menyebar kedustaan, menviralkan kabar tanpa sumber jelas, dapat mengantar kita menggapai tingakatan puasa yang dikehendaki dan berujung kepada derajat taqwa. Semoga!
* Penulis adalah Dosen pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry,Banda Aceh. Email : arif.ramdan@ar-raniry.ac.id