Salah satu rumah Aceh di Desa Wisata Lubok Sukon. (Foto: Meisy Handayani) |
Laporan: Meisy Handayani
WASATHA.COM, Aceh Besar - Rumah-rumah Aceh yang telah bertahun-tahun lamanya tampak
masih kokoh berdiri berdampingan di tempat ini. Pagar daun teh
yang menjadi sekat antara rumah satu dengan yang lainnya menambah keasrian desa
ini.
Nuansa perkampungan Aceh tempo dulu masih kental terasa di tengah era modernisasi.
Berlatar Bukit Barisan serta kabut yang menyelimuti, Desa Lubok Sukon kini
menjadi desa wisata yang menyuguhkan keindahahan serta kearifan lokal yang
masih terjaga.
Tak
jauh dari pusat kota, desa yang terletak di kecamatan Ingin Jaya Aceh Besar ini, telah di canangkan sebagai Desa Wisata Provinsi Aceh pada Oktober 2013 silam
dengan Rumoh Aceh sebagai ikonnya.
Sejak di resmikannya sebagai Desa Wisata,
banyak wisatawan dari dalam maupun luar negeri yang berkunjung ke desa ini
seperti wisatawan asal Malaysia dan
Eropa. Tak hanya sekedar berkunjung, para wisatawan juga bisa merasakan suasana
bermalam di Rumoh Aceh dan ikut menikmati kebiasaan serta kehidupan masyarakat setempat.
Seraya
menyusuri jalan perkampungan sambil menikmati keindahannya, kami terhenti
di Rumoh Aceh milik pasangan
pak Samaun dan ibu Sa’diah. Bangunan berwarna hitam yang di padukan dengan
warna merah, kuning dan hijau serta ukiran yang khas menambah kesan budaya yang
masih sangat kental.
Ketika
memasuki halaman kami langsung disambut oleh pak Samaun. Rumah dari keluarga ini berdiri sejak
150 tahun yang lalu dan diwariskan turun temurun hingga saat ini. Bangunannya
pun masih sangat asli dan khas, hanya saja ada sedikit penambahan seng pada
atap rumah agar atap yang terbuat dari daun rumbia tidak rusak. Di halaman depan rumah
juga terdapat sebuah guci tua yang digunakan untuk berwudhu dan mencuci kaki
ketika hendak memasuki rumah.
“Sebenarnya di dalam ada
barang-barang khas Aceh yang sudah antik, tapi semalam ada tamu yang berkunjung
dan buat acara makan-makan, jadi semua barangnya saya pindahkan dan belum di
atur kembali” kata ibu Sa’diah salah satu pemilik rumah Aceh.
Setelah
puas berbincang, kami pun
kembali menyusuri jalan dengan cuaca yang cukup terik untuk mengunjungi rumah
ibu Cut Trisia yang katanya menjadikan Rumoh Acehnya sebagai homestay. Namun sesampainya disana kami sedikit
kecewa karena pemilik rumah tidak tinggal lagi di sana, hanya saja apabila ada
wisatawan yang berkunjung harus menghubungi beliau terlebih dahulu. Rumah ini
memiliki warna merah secara keseluruhan dan telah sedikit direnovasi kurang
lebih 45 tahun yang lalu, dibagian bawah rumah telah tertata rapi meja dan
kursi serta lampu yang menyala.
“Rumah
ini didirikan tahun 1936 dan siap pada tahun 1938. Rumah ini yang paling tua
disini dan hanya dijadikan tempat tinggal tidak dijadikan tempat wisata.
Dinding-dinding rumah juga masih asli, cuma atapnya saja yang pernah diganti, dulu
atapnya dari rumbia kalau sekarang diganti seng. Ukiran-ukiran rumahnya dibuat
langung oleh orang Pidie”. Jelas pak Zaini pemilik rumah ke tiga yang kami
kunjungi.
Rumoh
Aceh di desa ini rata-rata telah direnovasi,
tetapi tidak secara keseluruhan, hanya ada
sedikit penambahan seperti ukiran, tetapi tidak merubah keasliannya.
Warga di
desa ini juga terkenal sangat ramah, terbukti dari awal perjalanan kami sampai
didesa ini, warga sangat antusias menerima kami dengan memberi arahan dan
informasi tentang keberadaan Rumoh Aceh. Sebelum
kami mengakhiri perjalanan di Desa Wisata ini, tidak lupa saya beserta rekan
mengucapkan terimakasih atas waktu dan keramah tamahannya. []