WASATHA.COM, Banda Aceh - Memanasnya suhu politik menjelang pilpres 2019, membuat banyak kalangan kuatir terhadap meningkatnya tingkat radikalisme masyarakat dalam mendukung masing-masing calon yang diusung.
Hal tersebut dikarenakan faktor-faktor munculnya radikalisme rawan dimanfaatkan sebagai bahan kampanye politik di Indonesia.
Hal ini menjadi wacana pada Diskusi Deradikalisme “Potensi Menguatnya Eksistensi Kelompok Radikal Dalam Pilpres 2019” yang dilaksanakan oleh Komunitas Panteu, Selasa (26/2/2019).
Diskusi yang menghadirkan dua narasumber; Arif Ramdan MA, dari Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Aceh dan Drs H Ampuh Devayan, Rektor Komunitas Panteu, mengupas segala persoalan radikalisme yang dihadapi oleh Indonesia dalam Pilpres 2019.
Menurut Arif Ramdan, bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang akar radikalisme, sehingga jika tidak dikelola dengan baik, akan berpotensi mengganggu kehidupan bernegara.
Faktor-faktor yang menyebabkan radikalisme seperti pemahaman agama, kemiskinan, ketidakadilan dan sebagainya sangat dekat dengan kehidupan masyarakat, sehingga berpotensi memprovakasi masyarakat menjadi radikal.
Sementara itu banyak juga kasus radikalisme yang disebabkan oleh pengaruh luar, seperti konflik timur tengah.
Menurut Arif, Media masa dan media sosial juga turut andil dalam memicu radikalisme di kalangan masyarakat, terutama terhadap pemberitaan-pemberitaan yang mendiskreditkan dan mempermalukan komunitas serta keluarga pelaku kejahatan yang terkait terorisme.
Karena itu, dewan pers telah membuat aturan yang tegas terhadap jurnalis dalam melakukan pemberitaan terkait dengan kasus-kasus terorisme seperti tidak boleh menyertakan latar belakang dari pelaku kejahatan.
Dampak negatif dari media sosial akan terjadi jika para users tidak memiliki daya tangkal yang kuat terhadap radikalisme dan aktif menyebarkan setiap konten radikalisme yang didapatnya kepada lain.
“Mulai sekarang kita harus menghentikan penyebaran setiap berita atau pernyataan yang berpotensi menjadikan masyarakat menjadi radikal, seharusnya sebuah informasi yang diterima cukup berhenti pada si penerima informasi saja," katanya.
Narasumber lainnya, Ampuh Devayan menyikapi tentang media kurang arif dalam memilah berita. Sehingga menjadi konsumsi umum dan menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat.
Menurutnya, hal tersebut tidak hanya terjadi pada media-media mainstream tapi juga media social. Contoh konkrit dapat dilihat dari menyebarnya video mesum yang terjadi baru-baru ini.
Menurut Ampuh Devayan, masyarakat harus bertanggungjawab terhadap semua aktivitas yang dilakukannya di media sosial.
Diskusi ini dihadiri lebih dari 30 peserta yang berasal dari kalangan mahasiswa, aktivis kampus, dan beberapa lainnya. []