WASATHA.COM, Banda Aceh - Suasana haru menyelimuti gedung besar yang dipenuhi oleh mahasiswa dan
tamu undangan. Hari itu menjadi langkah akhir mereka di kampus biru,
Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Setiap wisuda memang
menjadi momen, dimana banyak air mata yang tumpah.
Melihat anaknya menyandang gelar
sarjana merupakan impian dan harapan setiap orang tua. Air mata haru melihat
putra-putri mereka mengenakan baju toga. Lebih-lebih ketika salah satunya
ternyata menjadi mahasiswa terbaik se-Universitas tempat mereka menuntut ilmu
selama ini.
Selamat Ariga misalnya, mahasiswa
asal Aceh Tengah ini merupakan mahasiswa terbaik UIN Ar-Raniry dengan IPK 3.94,
pada wisuda semester ganjil tahun akademik 2018/2019. Ia menjadi sarjana
lulusan Hukum Pidana Islam dalam waktu tiga tahun setengah.
Kisahnya untuk melanjutkan
pendidikan Strata 1 (S1) hingga menjadi mahasiswa terbaik se-UIN Ar-Raniry
tidaklah mudah. Ia bahkan sempat membohongi kedua orang tuanya hanya untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Ariga merupakan anak ke tujuh dari
tujuh bersaudara yang dibesarkan dan dididik dalam keluarga petani kopi di
daerah tempat tinggalnya.
Keadaan ekonomi tak membuatnya
patah arang dalam menuntut ilmu. Meski kedua orang tuanya tidak mengizinkan
dirinya untuk melanjutkan pendidikan S1.
"Dulu orang tua enggak kasih
saya kuliah, karena keadaan ekonomi. Orang tua takut enggak ada biaya. Orang
tua takut kalau nanti akhirnya saya kecewa karena harus putus kuliah di tengah
jalan," kata Ariga disela-sela prosesi wisuda semester ganjil TA
2018/2019, Selasa 26 Februari 2019 di Auditorium Prof Ali Hasjmy, Darussalam
Banda Aceh.
Niatnya melanjutkan pendidikan,
bahkan memaksa dirinya untuk berbohong. Ia membohongi kedua orang tuanya bahwa
telah menerima beasiswa.
"Waktu itu bohong sama orang tua. Bilang ke orang tua kalau udah
dapat beasiswa. Padahal waktu itu belum dapat. Tapi pokoknya yakin aja. Sampai
ngajak kepala sekolah untuk ikut bohongin orang tua. Saya mohon-mohon,
nangis-nangis. Pokoknya harus bisa kuliah. Awalnya kepala sekolah enggak mau.
Tapi ternyata di depan orang tua saya. Kepala sekolah bilang kalau saya memang
sudah dapat beasiswa," katanya.
Kebohongan yang ia lakukan untuk kebaikan ternyata membuahkan hasil.
Dirinya kemudian diterima di UIN Ar-Raniry melalui jalur undangan
SPAN-PTKIN. Sebenarnya ada beberapa perguruan tinggi yang juga
meluluskannya sebagai mahasiswa. Namun ia memilih UIN, dikarenakan ingin tetap
melanjutkan pendidikan yang berbasis agama. Sebelumnya ia merupakan
santri di salah satu pondok pesantren di daerah tempat tinggalnya.
Di awal perkuliahan, lagi-lagi ia harus membohongi orang tua, bahwa
beasiswa yang ia dapatkan belum keluar. Sehingga ia meminta biaya untuk kuliah
pertama dari orang tuanya.
"Saya bohongi orang tua lagi. Saya bilang, beasiswa belum keluar.
Jadi untuk biaya kuliah awal. Saya masih minta orang tua dulu. Ayah saya pun
akhirnya mendukung. Membiayai untuk kuliah awal. Pokoknya jangan sampai putus
asa," katanya.
Melakukan kebohongan nyatanya tak bisa ia lakukan dalam jangka waktu
yang lama. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk mencari perkejaan. Putra
pasangan Abd Wahab As dan Siti Kurnia ini kemudian menjadi penyiar di
salah satu radio swasta. Selain itu, ia juga menjadi guru Bimbingan Belajar
(Bimbel) sekaligus guru les private di perumahan dosen.
Di tengah perjalanan kuliah di semester awal. Ia pun mendapatkan
informasi beasiswa Bidikmisi. Niatnya agar mendapatkan beasiswa tersebut
membuat dirinya berusaha tak hanya sebatas melengkapi persyaratan penerimaan
beasiswa saja. Dalam waktu yang terbilang singkat, ia juga mengumpulkan
sertifikat-sertifikat prestasi dan juga kegiatan, yang kemudian menjadi
pertimbangan panitia penerima beasiswa.
"Pas ada info beasiswa Bidikmisi. Saya berusaha semaksimal mungkin.
Saya enggak mau cuma ngumpulin berkas yang diminta saja. Karena orang lain
pasti juga melakukan hal yang sama. Saya mau melakukan hal yang lebih dari
orang lain. Hingga dalam waktu yang singkat, saya ikut banyak kegiatan untuk
dapat sertifikatnya. Dan Alhamdulillah, saya akhirnya lulus beasiswa Bidikmisi.
Nangis, sujud syukur lama sekali. Sampai orang liatin saya. Pokoknya waktu itu
saya nggak pikir malu lagi," ujarnya.
Di mata
keluarga dan sahabat
Menjadi mahasiswa terbaik tak melulu harus menjadi seseorang yang
kemudian kurang dalam nilai sosial. Ariga merupakan sosok yang sangat mudah
bergaul di kalangan teman-temannya. Bahkan ia mengaku, awal menginjakkan kaki
ke Ibu Kota Provinsi Aceh, ia menetap di tempat tinggal salah satu sahabatnya.
"Awal saya ke Banda Aceh, saya tinggal sama sahabat saya. Maulana
namanya. Itu dari semester satu, kemana-mana dia yang selalu antar saya. Sampai
pas semester tiga saya beli sepeda hasil uang beasiswa. Baru pas semester lima
akhirnya orang tua memutuskan untuk membelikan sepeda motor. Di situ saya mulai
lebih jauh lagi beraktivitas," ujarnya.
Ariga yang sejak kecil telah menunjukkan tingkat kecerdasan yang berbeda
dari anak-anak seusianya tentu menjadi obat untuk keluarga, terlebih ibunya.
"Dari kecil udah keliatan beda, kalau diajak kemana-mana dia
pintar. Orang di kampung juga tau sifatnya," kata Siti Kurnia.
Menurutnya, dirinya sempat tidak mengizinkan Ariga melanjutkan
pendidikan tinggi bukan disebabkan ia tak mendukung pendidikan anak. Ia mengaku
dirinya tak lagi muda dan kerap sakit. Sehingga takut tidak bisa membiayai
kuliah Ariga.
"Usia saya udah tua, udah sering sakit. Nggak sanggup kerja lagi.
Karena dari dulu udah kerja berat. Apa aja saya lakuin selama halal untuk biaya
pendidikan anak. Tapi untuk kuliah, saya merasa tidak sanggup. Cuma pas tau dia
dapat beasiswa. Saya dukung, karena dia udah punya niat," katanya.
Aktifitas yang padat, kuliah, organisasi serta bekerja nyatanya tidak
membuat dirinya dijauhi oleh teman-temannya. Ariga kerap bergabung di sela
waktu kosong, atau mengisi acara yang dilakukan oleh organisasinya. Namun
demikian, di mata para sahabatnya, Ariga merupakan sosok yang sangat tertutup.
"Kalau bicara tentang Ariga, berbicara tentang sosok yang
misterius. Sebab yang pertama dia itu susah di tebak. Karena tiba-tiba saya
dapat kabar dia udah di Thailand, udah di sini, udah di sini lagi. Tau-tau udah
wisuda. Bahkan yudisiumnya kapan aja saya nggak tau. Tapi Ariga memang sosok
pekerja keras, dan sangat mudah berorganisasi," kata Abdullah yang
merupakan sahabat dekat Ariga.
Prestasi yang pernah diraih
Ariga tak hanya meraih prestasi akademik saja. Ia juga kerap meraih
prestasi non akademik. Dirinya kerap menjadi pembawa acara dalam berbagai
kegiatan baik dalam kampus maupun di luar kampus, seperti pembawa acara pada
pionir tahun 2017 sekaligus MC dan Presenter Kementerian Agama. Ia juga
merupakan Wakil Dua Duta Wisata Aceh Tengah tahun 2017.
"Alhamdulillah ada beberapa prestasi yang pernah diraih. Pernah
ikut program studi banding dari Mesjid Raya Baiturrahman, ke Malaysia,
Thailand, dan Singapura," kata Ariga.
Selain itu, ia juga kerap menjuarai debat hukum di berbagai event. Saat
ini Ariga juga telah bergabung di Kejaksaan Tinggi Aceh, sebagai Pramubhakti
bidang Pidana Khusus.
Bulan Juni mendatang, ia juga akan melakukan kunjungan ke Amerika selama
tiga bulan sebagai peserta dalam Internasional Camp Staff Program of Boys Scout
of America (ICPS).
Baginya, kuliah tetaplah nomor satu meskipun banyak melakukan kegiatan
lain. Yang terpenting adalah gemar mencari informasi, dan juga mengatur waktu
dengan baik.
"Tujuan awal tetap kuliah, jadi kita fokus kuliah. Tapi nggak
menutup kemungkinan untuk aktif di tempat lain. Saya juga bergabung di Himpunan
Mahasiswa Prodi, dan banyak organisasi lainnya. Dan saya merupakan salah satu
orang yang selalu membuat jadwal. Bahkan dari mandi, makan dan sebagainya saya
selalu tulis. Kalau sudah saya lakukan saya ceklis," ujarnya. [Penulis: Cut Salma | Sumber: uin.ar-raniry.ac.id]