ZUHUD
merupakan suatu sikap terpuji yang disukai Allah SWT, dimana seseorang lebih
mengutamakan cinta akhirat dan tidak terlalu mementingkan urusan dunia atau
harta kekayaan. Materi dan dunia ini hanya bersifat sementara, dan hanya
merupakan sarana atau alat saja untuk mencapai tujuan hakiki, yaitu sebagai
bekal kehidupan di akhirat kelak.
Namun demikian, zuhud bukan pula
berarti meninggalkan urusan dalam kehidupan dunia, hidup miskin tidak memiliki
harta, pangkat dan jabatan, hidup menyendiri dan terasing dari manusia dengan
sibuk beribadah saja, tapi menjadikan segala yang dimiliki dalam kehidupan
dunianya untuk keselamatan akhiratnya.
Hal itu sesuai dengan firman
Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat 77 yang artinya, "Katakanlah,
kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun".
Demikian antara lain disampaikan
Tgk. Safaini, MA (Pengajar Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kale, Siem, Aceh
Besar) saat
mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh
Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (1/11/2017) malam.
“Zuhud ini bentuk kecintaan
kepada akhirat. Zuhud terhadap dunia bukan berarti pula mengharamkan segala
yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap
dunia adalah begitu yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa
yang saat ini dimiliki di tangan manusia itu sendiri," ujar Tgk. Safaini.
Dai Kota Banda Aceh ini
menambahkan, selama ini dalam pengertian banyak orang, zuhud adalah menghindari
meninggalkan hal-hal yang bersifat keduniaan. Mereka tidak mengerti, mana
perkara-perkara duniawi yang tercela, yang harus ditinggalkan, dan mana yang
boleh didekati untuk kepentingan akhirat.
Lalu lahirlah anggapan bahwa
seseorang tidak akan selamat akhiratnya, kecuali jika meninggalkan dunia
seisinya. Kalau perlu menyendiri di suatu tempat terpencil, khusus untuk
melakukan ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Sebagian orang
menganggap, inilah zuhud yang hakiki. Persepsi semacam ini muncul lantaran
kedangkalan terhadap ilmu agama.
Orang awam yang jenuh dengan
gemerlap dunia, atau muak melihat kepalsuan serta tipu muslihat dunia dan ingin
mendapatkan ketenteraman rohani, mungkin akan mudah terperangkap dalam
pengertian zuhud tersebut. Asal sedikit berbau dunia, semuanya buruk dan
negatif serta harus dijauhi. Akhirnya akan berasumsi bahwa keselamatan akhirat
hanya dapat diraih dengan meninggalkan dunia, meningalkan pekerjaan dan
bermalas-malasan dengan dalih ibadah.
Perilaku zuhud tidak semata-mata
tidak mau memiliki harta dan tidak memikirkan urusan duniawi, tetapi zuhud
dalam arti yang sebenarnya merupakan kondisi mental seseorang yang tidak
terpengaruh oleh harta dan benda dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT.
Dengan demikian, betapapun
kayanya seseorang mereka tetap hidup dalam keadaan zuhud. Mereka tidak
terpengaruh oleh kekayaan tersebut dalam mengabdikan diri kepada Allah, mereka
juga menggunakan harta tersebut untuk mendekatkan diri dan beribadah kepada
Allah SWT.
"Zuhud itu adanya dalam
hati. Tidak terikat hati dengan dunia, meskipun di tangannya memiliki banyak harta, pangkat dan
jabatan. Ia mengeluarkan harta kekayaan dan kecintaan dunia dari dalam hatinya,
tapi di sini bukan
berarti tidak boleh rapi, penampilan lusuh dan pakaian seadanya, tidak memiliki
kendaraan dan rumah mewah," terang Tgk. Safaini yang juga Alumni Dayah
Ashabul Yamin, Bakongan ini.
Bahkan Allah SWT sendiri tidak
menyuruh kita hamba-Nya untuk memikirkan akhirat saja, tetapi dunia juga harus
kita raih dengan sebaik-baiknya. Sehingga prinsip keseimbangan dunia dan
akhirat tetap terjaga.
Sebagaimana firman Allah SWT
dalam Sutat Al Qashash ayat 77 yang artinya, "Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi"
Perilaku zuhud juga akan membawa
kehidupan seseorang hamba selalu bersyukur terhadap nikmat yang diberikan Allah
SWT kepada kita semua baik sedikit ataupun banyak.
Selalu berusaha untuk
banyak-banyak membelanjakan harta di jalan Allah SWT. Tidak bermewah-mewahan secara
berlebihan. Selalu berusaha untuk berpenampilan sederhana, dan tidak sombong
serta membanggakan diri sendiri.
Lebih mencintai Allah SWT
daripada kehidupan di dunia ini.
Kemudian, tidak membelanjakan
harta secara boros. Bekerja dan beribadah dengan giat dan sungguh-sungguh untuk
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, serta selalu menggunakan harta
dan jabatan yang dimilikinya untuk kepentingan kehidupan di akhirat kelak.