WASATHA.COM, Banda Aceh - Lembaga Seuramoe Budaya bersama dengan Program Studi Sejarah
Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Ar-Raniry, dan HMI
Komisariat FAH menggelar diskusi publik dengan tema “Advokasi Terhadap
Pengelolaan Anggaran Pendapat dan Belanja Aceh (APBA) 2019”.
Acara tersebut berlangsung di Ruang Rapat Dosen FAH, UIN Ar-Raniry,
Selasa (26/2/2019).
Diskusi menghadirkan dua
narasumber yakni Taufik Abdul Rahim, Dosen Fakultas Ekonomi UNMUHA dan Hafidh, Koordinator
Bidang Advokasi Anggaran dan Kebijakan Publik Masyarakat Aceh Transparansi
Terhadap Anggaran (MATA).
Acara tersebut diikuti lebih kurang sebanyak 40 orang yang terdiri
dari mahasiswa, dosen, pegiat organisasi masyarakat sipil dan masyarakat umum.
Taufik Abdul Rahim, mengatakan
bahwa APBA 2019 yang telah disetujui DPRA pada (17/12/2018) dan diserahkan
kepada Kementerian Dalam Nageri pada (31/12/2018) menjadi persoalan tersendiri,
karena sampai dengan sekarang berkas anggaran tersebut masih berada di Jakarta.
Itu artinya, realisasi terhadap anggaran tersebut belum terlaksakan walaupun
sudah disahkan akhir Desember lalu.
Ia juga mengatakan perihal
adanya anggarang di Aceh pada tahun 2019, yang jika dijumlah total
keseluruhannya dari kabupaten/kota sampai provinsi, angaran tersebut berjumlah
90 triliun Rupiah.
“Dari 90 triliuun itu, sebanyak 35 triliun anggaran itu bocor,
sehingga tidak tahu dimana alamatnya. Dan yang paling disayangkan adalah
anggaran yang sebanyak itu tidak beredar di Aceh,” katanya.
Ia menambahkan, Masyarakat ekonomi kebawah tidak dapat menikmati
secara langsung dampak dari anggaran itu. Maka dari itu, tidak salah jika kita
masyarakat Aceh masih banyak yang miskin dan menjadi pengangguran. Karena,
semua itu tidak lepas dari pengaruh permainan politik anggaran yang dilakukan
oleh elit politik di Aceh.
Hafidh, Koordinator Bidang
Advokasi Anggaran dan Kebijakan Publik MATA, menyampaikan perihal pengolalan
dan advokasi terhadap APBA Aceh tahun 2019.
Dalam materi yang disampikannya, ia menyinggung berbagai
permasalahan APBA dari tahun ke tahun, mulai dari tahapan perencanaaan anggaran
hingga implementasinya yang dianggap tidak partisipatif.
“Sebagaimana yang sering terlihat pada proyek-proyek pembangunan
yang dibangun oleh pemerintah tidak tepat sasaran dan tepat guna, seperti
pembangunan pasar rakyat dan terminal dibeberapa daerah, setelah bangunan
tersebut dibangun, akan tetapi bangunan itu tidak digunakan sehingga mangkrak
dengan sendirinya. Ini menunjukkan salah satu tahapan perencaan yang dilakukan
tidak sesuai, bahkan ada pihak yang sering ribut persoalan anggaran setelah selesai
disahkan,” ujarnya.
Ia mengatakan, hal yang perlu digaris bawahi bersama adalah dari
17,016 triliun APBA tahun 2019 tersebut, hanya sebesar 3.8 triliun sebagai
anggaran belanja modal yang ikut diperebutkan oleh banyak pihak.
Disamping itu, Hafidh juga menambahkan,
APBA Tahun 2019 yang sudah disahkan itu tidak perlu lagi di advokasi, karena
memang sudah disahkan, dan sekarang sudah mulai direalisasi sebesar 2% dari
jumlah anggaran 17,016 Triliun, kecuali nantinya adanya perubahan yang
dilakukan oleh pemerintah Aceh dan DPRA.
Advokasi yang terpenting yang harus dilakukan adalah advokasi
terhadap anggaran Tahun 2020 yang akan di Musrembangkan dalam waktu dekat ini.
Lantas, mengapa harus di advokasi?, tanyanya.
Ia menyampaikan, bahwa selama ini DPRA tidak begitu peduli
terhadap anggaran yang menyentuh terhadap masyarakat kecil, seperti penguatan
terhadap perempuan di desa-desa, dan kekerasan terhadap anak dibawah umur yang
membutuhkan anggaran khusus.
Hafidh mengatakan, disisi lain,
berbeda halnya dengan anggaran pendidikan di Aceh yang begitu besar dan dialiri
dari beberapa lembaga lain di Aceh seperti lembaga Dayah dan MPD, tetapi mutu
pendidikan kita sangat rendah dibandingkan dengan beberapa provinsi diluar sana
yang anggarannya jauh dibawah kita.
“Hal yang terpenting terhadap penggunaan APBA adalah dengan cara
mengevaluasi terhadap program, dan kebutuhan masyarakat,”pungkas Hafidh. []