Jabatan Itu Amanah
Oleh
Bahron Ansori*
Konstelasi politik
di negeri ini semakin memanas saja. Satu kubu dengan kubu lainnya berusaha memengaruhi
publik dengan mengklaim kalau calon dari merekalah yang layak dipilih. Situasi semakin
keruh dengan bermunculannya berbagai stigma negatif yang saling menyudutkan
satu sama lain. Bahkan, acap kali satu kelompok menganggap calon pemimpin dari kelompoknyalah
yang pantas layak dan pantas menjadi pemimpin.
Dalam Islam,
konsep kepemimpinan itu sangat jelas aturan mainnya. Jika seseorang berambisi
menjadi pemimpin, maka sejatinya dialah orang yang tidak layak dipilih menjadi
pemimpin. Sebab bisa jadi orang yang berambisi menjadi pemimpin, besar kemungkinan
dia bukan orang yang amanah, bahkan akan berbuat zalim kepada orang-orang yang
dipimpinnya kelak jika terpilih.
Karena
kepemimpinan itu amanah, maka tidak mudah untuk memikulnya. Bahkan, sahabat
bernama Abu Dzar saja ditolak secara halus oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam saat ia mengajukan dirinya untuk menempati posisi dalam jabatan
tertentu.
Dalam salah satu riwayat salah
seorang sahabat yang meminta jabatan adalah Utsman bin Abu Al ’Ash r.a, ia
berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, jadikanlah aku
sebagai seorang pemimpin bagi kaumku.” Pada saat itu Rasulullah bersabda, “Engkau adalah pemimpin bagi mereka,
perhatikanlah orang yang lemah di antara mereka, dan angkatlah seorang muadzin
dan jangan upah dia karena adzannya.” (HR. Abu Daud)
Namun, hal itu berbeda ketika yang
meminta jabatan itu adalah Abu Dzar al Ghifari. Di mana dalam salah satu
riwayat, disebutkan bahwa suatu ketika Abu Dzar sengaja mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam, untuk
meminta sebuah jabatan bagi dirinya sendiri. Pada saat itu, Abu Dzar berkata, “Wahai
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, tidakkah
Anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat),” ungkapnya.
Mendengar pernyataan dan permintaan
dari Abu Dzar tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tersenyum sembari menepuk-nepuk
pundaknya. Katanya, “Wahai Abu Dzar,
sesungguhnya engkau seorang yang lemah dan sesungguhnya jabatan itu adalah
suatu amanah, ia (amanah, red.) adalah kehinaan dan penyesalan di hari kiamat
kecuali yang menjalankannya dengan baik dan melaksanakan tanggungjawabnya.”
(HR. Muslim).
Mendengar jawaban dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam, tidak
sedikit pun terbersit rasa kecewa dalam diri Abu Dzar. Ia justru merasa sangat
beruntung karena telah diselamatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam, dari jerat
jabatan yang dipenuhi dengan tipu muslihat bagi siapa pun yang tidak mampu
menjalankannya dengan amanah. Sejak itu kecintaan Abu Dzar kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam semakin
bertambah.
Pelajaran bagi Kita
Setidaknya ada beberapa hal yang
bisa dipetik dari kisah Abu Dzar di atas melalui sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, antara lain sebagai berikut.
Pertama, Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam sangat mengetahui sifat para sahabatnya. Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak ingin mengikuti apa yang menjadi permintaan sahabatnya berupa
jabatan. Bahkan, saat Abu Dzar ingin meminta amanah sebagai pejabat pun Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam tidak mengizinkan. Padahal sebagaimana yang tercatat dalam
sejarah, Abu Dzar adalah salah satu sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang punya andil besar di masa awal kebangkitan Islam. Tentu sangat berbeda
dengan sahabat Utsman bin Abu Al
’Ash r.a dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga sangat mengetahui
karakter sahabatnya itu.
Kedua, jabatan itu amanah. Menurut al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah
membawakan beberapa perkataan dari sahabat dan tabi’in tentang makna amanah
ini. Ketika menafsirkan surat al Ahzab ayat 72, al Hafizh Ibnu Katsir
membawakan beberapa perkataan sahabat dan tabi’in tentang makna amanah dengan
menyatakan, makna amanah adalah ketaatan, kewajiban-kewajiban,
(perintah-perintah) agama, dan batasan-batasan hukum.[Tafsir al Qur’an al
‘Azhim (6/488-489).
Sementara, menurut Asy Syaikh al Mubarakfuri rahimahullah penulis Sirah Nabawiyah yang berjudul asli Ar Rahiq Al Makhtum, atau Bukti Kenabian berkata, “(Amanah) adalah segala sesuatu yang mewajibkan engkau untuk menunaikannya.”
Ketiga, amanah adalah penyesalan dan kehinaan di hari kiamat kecuali bagi orang yang bisa melaksanakannya dengan baik dan penuh tanggung jawab. Ini artinya, tak sedikit orang yang menjadi pemimpin akan menyesal dengan berkata, “Mengapa dulu saat menjabat saya tidak berbuat begini dan begitu.” Dan sederet penyesalan lainnya.
Bukan hanya menjadi penyesalan di dunia,
tapi juga menjadi kehinaan duni akhirat. Bila seorang pemimpin tidak bisa adil,
bijaksana dalam memimpin, maka bersiap-siaplah ia akan turun dengan penuh
kehinaan. Hina karena di masa kepemimpinannya begitu banyak orang yang
dizaliminya. Lalu kelak di akhirat, ia akan menghadap Allah Ta’ala dengan
kehinaan yang tiada terkira.
Sementara, seorang pemimpin yang tidak
menjalankan amanah berarti dia telah berlaku khianat. Khianat kepada semua
orang yang sudah memberinya kepercayaan untuk memimpin mereka. Tentang khianat
ini, Allah Ta’ala mengingatkan setiap muslim dalam firman-Nya di surat al
Anfal/8 ayat 27 yang artinya, “Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan
(juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu,
sedang kamu mengetahui.”
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “… Dan khianat, mencakup
seluruh perbuatan dosa, baik yang kecil maupun yang besar, baik (dosanya)
terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.”
Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas, (tentang firman-Nya)
وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ , amanah adalah seluruh perbuatan yang telah Allah
bebankan kepada hamba-hamba-Nya (agar mereka menunaikannya, red.), yaitu
(berupa) kewajiban-kewajiban. Dan maksud “janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat” adalah, janganlah kamu menggugurkannya. Dalam sebuah riwayat,
‘Ibnu Abbas menjelaskan maksud firman-Nya: لاَ تَخُونُواْ اللهَ وَالرَّسُولَ ,
(janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul), dengan cara meninggalkan sunnah
Nabi dan melakukan maksiat kepada Nabi.” [Tafsir al
Qur’an al ‘Azhim (4/41)].
Bagi seorang Muslim tentulah tidak pantas untuk
meminta amanah, apalagi jika amanah itu berupa jabatan. Sebaliknya, pantang
bagi seorang Muslim untuk menjadi pengkhianat amanah, selama ia masih bisa
menjalankannya dengan penuh tanggung jawab, wallahua’lam.
*Penulis adalah pemerhati masalah sosial agama. Menetap
di Majalengka Jabar. Bisa dihubungi melalui email bahrsky80@gmail.com