Fajrina
Oleh: Fajrina (Mahasiswi PPKN FKIP USK)
Menjadi warga negara sering kali dipahami secara sederhana cukup dengan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), membayar pajak, dan menggunakan hak pilih dalam pemilu. Namun, apakah kewarganegaraan hanya sebatas status administratif? Realitas sosial di Indonesia menunjukkan bahwa kepemilikan KTP belum tentu menjamin terpenuhinya hak dasar warga negara. Banyak masyarakat di daerah tertinggal masih kesulitan memperoleh layanan pendidikan, kesehatan, atau keadilan hukum yang layak. Ketimpangan pembangunan dan akses sosial-ekonomi yang timpang memperlihatkan bahwa sebagian warga masih berada di pinggiran hak kewarganegaraan.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah negara telah menjalankan fungsinya untuk memastikan setiap warga memperoleh hak yang setara? Di sisi lain, apakah warga negara juga telah menunaikan tanggung jawab sosial dan politiknya untuk menjaga keadilan bersama? Dua teori klasik—T.H. Marshall dan Bryan S. Turner—dapat menjadi lensa untuk menilai kembali makna dan praktik kewarganegaraan di Indonesia saat ini.
Bagaimana Marshall Melihat Kewarganegaraan sebagai Jalan Menuju Keadilan Sosial?
T.H. Marshall, seorang sosiolog asal Inggris, memperkenalkan konsep kewarganegaraan yang berakar pada tiga dimensi utama: hak sipil, hak politik, dan hak sosial.Hak sipil melindungi kebebasan individu di hadapan hukum, seperti kebebasan berpendapat, beragama, dan memiliki properti. Hak politik memberi kesempatan bagi warga untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan, seperti memilih pemimpin atau membentuk organisasi politik. Sedangkan hak sosial menjamin akses terhadap kesejahteraan, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Menurut Marshall, ketiga dimensi ini membentuk proses evolutif menuju kesetaraan sosial. Negara, dalam pandangan ini, memiliki kewajiban moral untuk menjamin hak-hak tersebut agar setiap warga dapat hidup bermartabat. Di Indonesia, pandangan ini menemukan relevansinya ketika kita melihat masih adanya kesenjangan sosial yang tajam antara kota dan desa, antara kelompok kaya dan miskin, atau antara masyarakat di pusat dan di pinggiran.
Misalnya, akses pendidikan di perkotaan jauh lebih baik dibandingkan daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Padahal, secara hukum, seluruh warga negara memiliki hak yang sama atas pendidikan. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa keadilan sosial yang menjadi cita-cita konstitusi masih belum sepenuhnya terwujud.
Dari kerangka Marshall, kita belajar bahwa kewarganegaraan sejati bukan hanya soal identitas hukum, tetapi juga tanggung jawab negara dalam menjamin kesejahteraan warganya. Negara tidak cukup hanya memberikan KTP, tetapi harus hadir melalui pelayanan publik yang merata dan kebijakan yang berpihak kepada kelompok rentan.
Mengapa Turner Menilai Kewarganegaraan Sering Kali Bersifat Elitis?
Bryan S. Turner, seorang sosiolog kontemporer, memberikan kritik tajam terhadap teori Marshall. Baginya, konsep Marshall terlalu ideal dan cenderung mengabaikan realitas ketimpangan sosial dan politik yang nyata di masyarakat. Turner menilai bahwa dalam praktiknya, kewarganegaraan sering kali menjadi privilege bagi kelompok menengah ke atas, sementara kelompok miskin, minoritas, dan migran sering kali tersisih dari akses terhadap hak-hak yang dijanjikan.
Turner menambahkan bahwa kewarganegaraan bukanlah kondisi pasif yang diberikan oleh negara, melainkan arena perjuangan sosial. Hak-hak warga tidak otomatis hadir, tetapi harus diperjuangkan melalui partisipasi politik, gerakan sosial, dan kesadaran kolektif.
Dalam konteks Indonesia, pandangan ini tampak nyata ketika masyarakat sipil menuntut keadilan bagi kelompok-kelompok yang termarjinalkan—seperti petani yang kehilangan lahan akibat proyek pembangunan, atau masyarakat adat yang memperjuangkan hak atas tanah mereka.
Kritik Turner menegaskan bahwa kewarganegaraan sejati adalah proses dinamis—bukan sekadar status hukum, melainkan hasil dari partisipasi aktif warga untuk memastikan negara memenuhi tanggung jawabnya. Dengan kata lain, warga negara yang pasif hanya akan menjadi penerima kebijakan, sedangkan warga negara yang aktif menjadi subjek perubahan sosial.
Bagaimana Kewarganegaraan Modern Diuji di Era Digital dan Globalisasi?
Jika Marshall menekankan struktur hak dan Turner menyoroti perjuangan sosial, maka keduanya dapat disinergikan untuk membangun konsep kewarganegaraan yang lebih utuh: adil secara sosial, aktif secara politik, dan sadar secara moral.
Kewarganegaraan bukan sekadar tentang hak, tetapi juga tanggung jawab. Di era globalisasi dan digital saat ini, tantangan kewarganegaraan semakin kompleks. Arus informasi yang cepat membawa perubahan dalam cara warga berpartisipasi, namun juga menimbulkan persoalan baru: disinformasi, ujaran kebencian, dan polarisasi politik di media sosial.
Dalam konteks ini, kewarganegaraan digital menjadi bagian penting dari kewarganegaraan modern. Warga negara tidak hanya perlu memahami hak-haknya di dunia nyata, tetapi juga bertanggung jawab menjaga etika dan solidaritas di ruang maya. Kewarganegaraan kini melampaui batas geografis; ia menuntut kesadaran baru akan solidaritas global, toleransi antarbudaya, dan tanggung jawab ekologis. Namun, semua perubahan ini tetap berpangkal pada prinsip dasar: kewarganegaraan harus berpihak pada keadilan sosial. Tanpa keadilan sosial, kewarganegaraan hanya menjadi simbol tanpa makna substantif. Negara harus memastikan pemerataan akses dan perlindungan hukum, sementara warga harus aktif mengawasi, mengkritisi, dan berpartisipasi dalam membangun kebijakan publik.
Kewarganegaraan sejati tidak berhenti pada kepemilikan KTP atau partisipasi di bilik suara. Ia adalah hubungan timbal balik antara negara dan warga yang berlandaskan keadilan, partisipasi, dan tanggung jawab. Marshall mengingatkan kita akan pentingnya struktur hak yang menjamin kesetaraan; Turner mengingatkan bahwa hak itu tidak akan berarti tanpa perjuangan. Soekarno, Hatta, dan Gus Dur kemudian menegaskan bahwa keadilan sosial, kesadaran, dan solidaritas adalah inti dari kebangsaan.
Indonesia memerlukan warga negara yang tidak hanya menuntut hak, tetapi juga sadar akan tanggung jawab sosialnya. Karena setiap hak yang kita nikmati lahir dari perjuangan, dan setiap kewajiban yang kita jalankan adalah bentuk cinta kepada negeri.Sebagaimana dikatakan Turner, “Kewarganegaraan adalah perjuangan tanpa akhir untuk kesetaraan.”Maka, perjuangan itu kini ada di tangan kita para warga yang sadar, kritis, dan peduli untuk menjaga makna keadilan sosial di bumi Indonesia.