Iklan

Iklan

Ketika Kewarganegaraan Menjadi Rumah: Dialog antara Marshall dan Turner

10/12/25, 13:53 WIB Last Updated 2025-10-12T07:01:43Z
Nailatul Ula

Oleh: Nailatul Ula (Mahasiswi PPKN FKIP USK)

Di tengah hiruk pikuk dunia modern yang dipenuhi suara klakson, notifikasi media sosial, debat politik di layar kaca, dan hiruk pikuk warganet yang tak pernah tidur, kita sering lupa bertanya: apa sebenarnya arti menjadi warga negara? Apakah cukup dengan memiliki KTP, mengikuti pemilu setiap lima tahun, atau berdiri tegak saat lagu kebangsaan dikumandangkan? Kenyataannya, banyak orang merasa bahwa kewarganegaraan hanyalah status hukum sebuah identitas administratif yang menandakan “aku bagian dari negara ini”. Namun, ketika negara tak hadir sesuai harapan, kita marah. Ketika hak tak diberikan, kita menuntut. Ketika kebijakan tak adil, kita protes. Ironisnya, di saat yang sama, tidak sedikit dari kita yang enggan ikut terlibat dalam usaha memperbaiki keadaan. Kita ingin hak, tapi sering lupa bahwa ada tanggung jawab yang harus dijalankan. Inilah titik di mana konsep kewarganegaraan di Indonesia, dan bahkan di seluruh dunia, mulai diuji: apakah kewarganegaraan hanya soal menerima, atau juga memberi?

Fenomena ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari. Lihat saja bagaimana media sosial dipenuhi keluhan tentang layanan publik, korupsi, ketidakadilan, intoleransi, dan polarisasi politik. Masyarakat begitu vokal menuntut negara untuk hadir, namun tidak semua bersedia mengambil bagian dalam solusi. Banyak yang menunggu perubahan datang dari atas, seolah negara adalah entitas tunggal yang bertanggung jawab terhadap segala hal, sementara warga cukup menjadi penonton. Namun, ada pula sisi lain yang menarik: semakin banyak orang terutama generasi muda yang justru mengambil peran aktif dalam berbagai gerakan sosial. Mereka menggalang donasi saat bencana, membuat komunitas literasi untuk anak-anak pelosok, melakukan kampanye digital melawan disinformasi, hingga merawat lingkungan melalui aksi bersih-bersih. Di titik ini kita melihat paradoks: di satu sisi, kewarganegaraan sering dipersempit hanya sebagai status; di sisi lain, kewarganegaraan bisa menjadi panggilan hati untuk menciptakan perubahan. Lalu, yang mana yang benar? Mungkin keduanya. Dan justru ketegangan antara dua cara pandang inilah yang membuat pembahasan tentang kewarganegaraan menjadi sangat penting.

Dalam konteks inilah, teori T.H. Marshall muncul sebagai titik awal yang fundamental. Marshall, seorang sosiolog Inggris, memperkenalkan konsep kewarganegaraan sebagai kumpulan hak yang diberikan negara kepada warganya dalam tiga dimensi: hak sipil, hak politik, dan hak sosial. Hak sipil mencakup kebebasan berbicara, keadilan hukum, dan perlindungan individu dari penyalahgunaan kekuasaan. Hak politik memberi warga kesempatan untuk ikut menentukan arah negara melalui pemilu dan partisipasi dalam proses politik. Hak sosial memastikan bahwa warga memiliki akses terhadap kesejahteraan melalui pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial. Jika kita melihat kebijakan pemerintah Indonesia seperti program bantuan sosial, kartu Indonesia pintar, BPJS kesehatan, dan desentralisasi politik, gagasan Marshall sangat terasa hidup di dalamnya. Negara berusaha menjamin hak-hak dasar warganya agar partisipasi dan keadilan dapat tercapai. Dalam kacamata Marshall, kewarganegaraan adalah tentang bagaimana negara memenuhi kewajibannya untuk melindungi dan melayani warganya. Konsep ini penting dan menjadi fondasi bagi negara modern.

Namun, Marshall memiliki keterbatasan. Ia berbicara tentang hak, tetapi nyaris tidak menyentuh lapisan moral dan sosial dari kewarganegaraan. Apakah cukup jika warga hanya menerima hak tanpa ada dorongan untuk menggunakan hak tersebut secara bertanggung jawab? Apakah masyarakat akan ideal jika semua orang hanya menunggu negara bekerja tanpa ada inisiatif dari warga negara itu sendiri? Di sinilah muncul persoalan yang kita hadapi kini: ketimpangan antara hak yang dijamin dan tanggung jawab yang dijalankan. Negara bisa memberi pendidikan gratis, tetapi apakah warga menggunakan pendidikan itu untuk berpikir kritis atau hanya menghafal? Negara bisa memberi hak politik, tetapi apakah warga memilih dengan bijak atau karena politik uang? Negara bisa memberi kebebasan berbicara, tetapi apakah warga menggunakannya untuk menyebarkan kebaikan atau justru hoaks dan kebencian? Hak tanpa tanggung jawab bisa berubah menjadi alat perusak sosial. Dan pada titik ini, konsep Marshall terasa belum cukup menjawab kompleksitas zaman.

Pada titik inilah Bryan S. Turner menawarkan perspektif yang lebih kaya dan relevan terhadap realitas kewarganegaraan abad ke-21. Turner tidak menolak gagasan Marshall, tetapi ia merasa bahwa konsepsi kewarganegaraan tidak bisa berhenti pada dimensi hak formal saja. Menurut Turner, kewarganegaraan sejatinya adalah identitas moral dan proses sosial. Artinya, menjadi warga negara tidak hanya berarti “memiliki hak”, tetapi juga “menjadi bagian dari komunitas” dan “berperan aktif menjaga kehidupan bersama.” Turner melihat bahwa masyarakat modern menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dibanding masa Marshall. Globalisasi, digitalisasi, arus migrasi, perubahan iklim, dan krisis solidaritas memaksa warga negara untuk tidak lagi pasif menunggu perlindungan negara. Mereka harus terlibat, bertanggung jawab, peka terhadap ketidakadilan, dan berani berbicara ketika nilai kemanusiaan terancam. Dalam perspektif Turner, kewarganegaraan bukan sekadar status, melainkan komitmen moral. Di sinilah muncul ide penting: hak tanpa tanggung jawab hanya menciptakan warga yang egois; tanggung jawab tanpa hak menciptakan warga yang tertindas. Keduanya harus berjalan seimbang.

Jika Marshall menekankan “apa yang diberikan negara”, Turner menekankan “apa yang bisa dilakukan warga”. Perbedaan ini terlihat jelas ketika kita mengamati perilaku sosial masyarakat. Misalnya, saat terjadi bencana alam, masyarakat sering bergerak terlebih dahulu sebelum negara sempat turun tangan. Komunitas menggalang dana, relawan turun ke lapangan, dan warga bahu membahu tanpa menunggu instruksi resmi. Begitu pula saat muncul isu intoleransi atau kekerasan, banyak kelompok masyarakat sipil yang melakukan edukasi, kampanye damai, dan dialog lintas iman. Fenomena ini menunjukkan bahwa warga negara modern tidak ingin hanya menjadi penerima kebijakan, tetapi ingin menjadi agen perubahan sosial. Mereka tidak lagi bertanya “apa yang negara lakukan untuk kita”, tetapi “apa yang bisa kita lakukan bersama”. Inilah inti dari kewarganegaraan versi Turner: partisipasi aktif, kepedulian sosial, dan tanggung jawab moral.

Namun, bukan berarti teori Marshall dan Turner saling bertentangan. Justru keduanya saling melengkapi. Marshall memberi fondasi struktural: warga harus memiliki hak yang dijamin agar mereka bisa hidup layak dan berpartisipasi. Tanpa hak sipil, kita tidak bisa berbicara bebas. Tanpa hak politik, kita tidak bisa memilih pemimpin. Tanpa hak sosial, kita tidak bisa berkembang. Tetapi Turner menambahkan lapisan etis dan sosial: setelah hak diberikan, apa yang kita lakukan dengan hak itu? Apakah kita diam saja? Atau kita gunakan untuk membangun masyarakat yang adil dan manusiawi? Marshall membangun dasar bangunan; Turner mengisinya dengan jiwa. Marshall menjelaskan apa yang negara wajib lakukan; Turner menjelaskan apa yang warga wajib lakukan. Di sinilah lahir konsep kewarganegaraan ideal: warga negara yang dilindungi sekaligus bertanggung jawab.

Relevansi kedua teori ini sangat terasa dalam kehidupan masyarakat Indonesia hari ini. Marshall hadir dalam berbagai kebijakan negara: konstitusi yang menjamin hak setiap warga, program kesejahteraan, pendidikan, dan perlindungan hukum. Kita melihat usaha negara untuk memberikan keadilan formal. Namun, Turner tampak hidup dalam semangat gotong royong, solidaritas sosial, partisipasi komunitas, dan gerakan masyarakat sipil. Di desa maupun kota, warga sering menyelesaikan masalah secara kolektif, tidak menunggu negara sepenuhnya. Saat pandemi misalnya, masyarakat saling membantu dengan menyediakan makanan untuk tetangga, membagikan masker, dan menjaga satu sama lain. Inilah kombinasi Marshall dan Turner dalam praktik nyata: kekuatan negara dan kekuatan warga berjalan bersama.

Sayangnya, masyarakat modern juga menghadapi tantangan baru yang tidak dibayangkan Marshall. Digitalisasi melahirkan disinformasi yang merusak kepercayaan sosial. Polarisasi politik memecah belah warga berdasarkan identitas. Toleransi mulai melemah karena perbedaan pandangan dibesar-besarkan. Banyak warga aktif di dunia maya, tetapi pasif di dunia nyata. Mereka lantang di komentar media sosial, tetapi enggan turun tangan secara nyata. Di sinilah teori Turner menjadi sangat penting: kewarganegaraan modern menuntut kecerdasan moral, empati, dan keberanian sosial. Kita tidak bisa hanya menjadi penerima informasi, tetapi harus menjadi pengelola akal sehat. Kita tidak cukup hanya menuntut keadilan, tetapi harus ikut menjaga agar keadilan itu terjadi. Kita tidak cukup hanya menjadi objek kebijakan, tetapi harus menjadi subjek perubahan.

Pada akhirnya, teori T.H. Marshall dan Bryan S. Turner bukan sekadar wacana akademik, melainkan cermin yang memantulkan wajah masyarakat kita. Marshall mengingatkan bahwa tanpa hak sipil, politik, dan sosial, warga hanya menjadi penonton dalam panggung negara. Hak adalah fondasi yang memberikan rasa aman, martabat, dan kesempatan. Namun, Turner mengingatkan bahwa hak saja tidak cukup. Masyarakat bisa memiliki kebebasan berbicara, tetapi jika digunakan untuk menyebar kebencian, kebebasan itu berubah menjadi senjata. Warga bisa menggunakan hak memilih, tetapi jika suara dibeli atau dipilih tanpa kesadaran, demokrasi hanya menjadi ritual tanpa makna. Di titik ini, kita menyadari bahwa kehidupan sosial yang sehat tidak dibangun hanya oleh kekuatan negara, tetapi juga oleh karakter moral warga negara. Kita tidak bisa berharap negara menyelesaikan semua masalah sambil duduk diam. Kita juga tidak bisa meminta masyarakat bertanggung jawab jika negara tidak adil. Keduanya harus berjalan beriringan.

Jika kita bertanya: sejauh mana kedua teori ini memengaruhi kehidupan masyarakat? Jawabannya: secara sangat dalam. Ketika negara menerapkan program kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, dan perlindungan hukum, itu adalah Marshall yang bekerja. Ketika masyarakat mendirikan komunitas sosial, membentuk gerakan lingkungan, dan membangun solidaritas tanpa menunggu instruksi pemerintah, itu adalah Turner yang bergerak. Ketika warga menuntut hak dalam demonstrasi, Marshall berbicara. Ketika warga membantu tetangga tanpa kamera, Turner berbicara. Ketika undang-undang disusun, negara memakai kerangka Marshall. Ketika hati nurani bergerak, kita memakai kerangka Turner. Di sinilah kita melihat bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan. Marshall memastikan keadilan struktural. Turner mendorong keadilan moral. Marshall membangun sistem. Turner membangun kesadaran.

Namun, tantangan terbesar kita bukan memilih salah satu teori, melainkan memadukannya dalam kehidupan nyata. Indonesia sedang berada pada titik kritis dalam sejarah kewarganegaraan. Di satu sisi, negara semakin terbuka, informasi semakin mudah diakses, dan kesempatan berpartisipasi semakin lebar. Di sisi lain, intoleransi tumbuh, kepercayaan terhadap lembaga publik menurun, politik identitas menguat, dan masyarakat sering terbelah karena perbedaan pandangan. Hak-hak formal sudah ada, tetapi apakah kita sudah menggunakannya secara bertanggung jawab? Tanggung jawab moral sering digaungkan, tetapi apakah negara sudah memberikan ruang yang adil bagi warganya untuk berpartisipasi? Kita butuh kewarganegaraan yang bukan hanya dilindungi, tetapi juga hidup. Bukan hanya legal, tetapi juga etis. Bukan hanya status, tetapi juga kesadaran kolektif.

Solusinya bukan sekadar memperkuat negara atau menyalahkan masyarakat. Solusinya adalah membangun kewarganegaraan kritis dan berintegritas. Pendidikan kewarganegaraan harus lebih dari sekadar hafalan pasal dan sila. Ia harus melatih empati, logika, tanggung jawab, dan keberanian moral. Pemerintah tidak cukup hanya membuat kebijakan, tetapi juga mendengar suara warga. Media tidak hanya menyebarkan informasi, tetapi juga mendidik publik. Warga tidak cukup menjadi pengamat, tetapi harus menjadi pelaku perubahan. Generasi muda tidak cukup bangga menjadi “agent of change” di spanduk, tetapi harus benar-benar hadir di lapangan sosial. Kewarganegaraan ideal bukan sekadar “saya punya hak”, tetapi “saya peduli dan saya terlibat.”

Kesadaran ini sebenarnya sudah mulai tumbuh. Kita melihatnya dalam gerakan donasi sosial yang lahir dari masyarakat. Dalam inisiatif komunitas literasi yang membantu anak-anak kecil di pelosok. Dalam gerakan lingkungan yang merawat sungai dan menanam pohon. Dalam kampanye anti-hoaks yang melindungi akal sehat publik. Kewarganegaraan versi Turner hidup ketika warga berkata: “Saya bagian dari masalah, saya juga bagian dari solusi.” Sementara itu, hak formal versi Marshall tetap penting agar partisipasi itu tidak hanya menjadi kerja sukarela, tetapi mendapat dukungan sistemik dari negara. Ketika Marshall dan Turner menyatu, kita tidak lagi melihat kewarganegaraan sebagai dokumen, tetapi sebagai cara hidup.

Pada akhirnya, menjadi warga negara bukan hanya soal dilahirkan di suatu wilayah, memiliki KTP, atau diakui secara hukum. Menjadi warga negara adalah menerima hak dengan syukur, menjalankan tanggung jawab dengan sadar, dan ikut menjaga agar kehidupan bersama tetap adil, damai, dan manusiawi. Dunia modern menuntut kita untuk tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga peka secara moral. Kita boleh bangga menjadi warga Indonesia, tetapi rasa bangga sejati bukan diukur dari simbol, melainkan dari seberapa besar kontribusi kita bagi sesama. Di era globalisasi dan digital yang penuh tantangan, kewarganegaraan bukan lagi urusan pemerintah semata, melainkan panggilan jiwa untuk saling menjaga.

Karena pada akhirnya, menjadi warga negara bukan hanya tentang “siapa kita di atas kertas”, tetapi “siapa kita ketika dunia membutuhkan kita.”

Banda Aceh, 12 Oktober 2025

Penulis: Nailatul Ula adalah Mahasiswi PPKN FKIP USK, email nailatulula809@gmail.com

Tulisan opini menjadi tanggung jawab penulis.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Ketika Kewarganegaraan Menjadi Rumah: Dialog antara Marshall dan Turner

Terkini

Topik Populer

Iklan