“Saya haus, seorang anak kecil sekira 10 tahun lewat di depan kami memegang air mineral. Saya menghampiri dan memintanya. Anak itu memberikan sedikit untuk saya teguk.”
PETIKAN kalimat di atas ditulis Ali Raban, jurnalis Aceh yang memulai karir sebagai kameraman RCTI semasa konflik antara GAM dan Pemerintah Republik Indonesia.
Dalam buku berjudul Rindu tanpa Perang, Pengalaman Wartawan Meliput Konflik Aceh, yang diterbitkan Bandar Publishing, Ali berbagi kisah tentang seorang anak yang berjsa memutus rasa dahaga yang ia rasakan di siang yang panas, 3 Mei 1999. Siang di saat suara rentetan senjata menyalak, timah panas menerjang raga warga yang sejak pagi berkumpul di Simpang KKA.
Tragedi
berdarah tersebut adalah kisah pilu yang Ali Raban saksikan dengan mata
kepalanya sendiri, termasuk syahidnya seorang bocah yang memberinya minum di
siang itu, saat ia meliput. Bocah 10 tahun, didapati tergeletak bersimbah darah
menjadi salah satu korban keganasan tragedi Simpang KKA.
“Kami
bangun dan melihat sekeliling. Masya Allah, mayat bergelimpangan dan banyak
warga terluka tembak. Saya melihat seorang anak tidak jauh dari saya. Terkena
di kepalanya. Saya terenyuh, berontak dan hampir menangis. Anak itulah yang
memberikan air minum kepada saya sebelumnya. Saya tak pernah dapat melupakan
kejadian ini.”
Kisah
Lain ditulis oleh Nani Afrida, jurnalis perempuan yang dengan runut menceritakan
bagaimana ia dapat berjumpa dengan Ishak Daud, Panglima GAM Wilayah Peureulak,
Aceh Timur yang disegani itu. Kepada Nani Afrida, Ishak Daud bisa berkirim
kabar situasi terkini dan hingga minta doa untuk kemerdekaan Aceh.
“Nani, lon senang droen dalam kondisi
jroh. Meudoa ke kamoe beh. Semoga tanyo bagah merdeka. Insya Allah. [Nani, saya senang kamu dalam kondisi baik. Tolong doakan
kami ya. Semoga kita semua cepat merdeka. Insya Allah].
Kisah
Nani cukup menarik manakala ia menolak dengan halus saat harus menjadi bagian dari
kelompok wartawan Aceh yang masuk ke hutan mengikuti tentara GAM. Bagaimana Nani
menolaknya? Karena di kawasan lain pasukan TNI siap menggempur jika kesepakatan
pelepasan sandra tidak juga dilakukan GAM. Nani takut?
Nani, sempat
beralasan bahwa ia belum izin sama emaknya di Gampong saat diajak naik gunung
dalam upaya pembebasan Ersa Siregar dan Feri Santoro wartawan RCTI yang disandera
GAM.
“Lon kon ye, tapi lon gohlom peugah bak
mak, lon jak bak droun. Misal jih tekeudi na masalah, kiba? So tanggung jaweub
ke mak lon? Droun? [Saya bukan takut, tapi saya
belum bilang sama mamak saya pergi ke tempat Anda. Kalau misal terjadi apa-apa
bagaimana? Siapa yang tanggungjawab? Teungku mau?]
Alasan
Nani disampaikan kepada Ishak Daud langsung dan ia mengizinkannya. Nani lega,
ia tak jadi masuk ke markas GAM dalam situasi genting seperti itu. Kejadian ini
dijadikan bahan candaan, manakala Ishak Daud bertemu Nani di situasi lain dalam
situasi perang. “Na yang ye ke Mak”
[Ada yang takut ke mamaknya]. “Pajan-pajan
tanyoe ta meurumpok lom tapi laen watee lakee izin ilee bak mak” [Kapan-kapana
kita ketemu lagi, tapi lain kali izin dulu sama mamaknya, ya].
Berbeda dengan kisah Mukhtaruddin Yacob jrunalis Aceh yang memiliki adik kandung seorang anggota GAM. Keluarga mereka terbelah, satu jadi wartawan yang dianggap pro Republik, satu jadi anggota GAM, situasi ini menyulitkan kedua orangtua Mukhtaruddin.
Pernah, suatu ketika dalam sebuah rombongan kendaraan liputan
hampir saja dibom oleh GAM, beruntung adiknya Juliadi yang menjadi bagian dari
tentara GAM cepat melihatnya. “Karap
kamoe granat moto. Untung kamoe kalon Abang di dalam.” [Hampir saja saya
bom, mobil itu. Untung saya lihat ada abang di dalam].
Di buku ini, kisah pahit yang dialami wartawan Aceh tergambar jelas. Fitnah ‘kejam’ sempat juga dirasakan Raihan Lubis, wartawan detik.com yang dianggap sebagai informan TNI berkedok jurnalis.
Beban
ini, Raihan pikul sendiri dan entah siapa yang menfitnahnya bahwa ia bagian
dari TNI. Apa karena ia bukan orang Aceh? Dan lahir di Sumatera Utara sehingga
ia mudah disudutkan sebagai pro Republik. Di buku ini, Raihan mengulas tuntas
bahwa ia seorang wartawati yang berdedikasi kepada kebenaran jurnalistik, namun
situasi yang membuatnya tidak beruntung berada dalam pusaran konflik Aceh.
Ada kisah lucu ditulis pada buku ini, saat situasi menghendaki wartawan junior berlaku tak lazim. Seperti dialami Saiful Bahri yang harus manut para perintah senior, ia wajib memegang ikat pinggang seniornya saat masuk markas GAM.
Nyeleneh,
tetapi ternyata itu menyelamatkannya dari kecurigaan GAM pada orang-orang tak
dikenal yang masuk ke markas mereka di hutan.
Murizal Hamzah, jurnalis yang menjadi penerjemah dadakan pada situasi tak menguntungkan yang menimpa masyarakat biasa. Suatu ketika ia meliput mendapat tentara sedang menyiksa warga di sebuah kebun. Alih-alih meliput dan memotret kekasaran TNI kepada warga, Murizal Hamzah jsutru meyakikan tentara bahwa yang sedang disiksa saat itu adalah warga biasa tak ada hubungan dengan GAM.
Apa yang dilakukan
Murizal? ia meyakinkan TNI dengan cara melihat jari tangan dan betis warga yang
sedang dinterogasi sebagai bukti itu bukan tentara GAM. Tangan Yusuf, warga
yang jadi bulan-bulanan TNI bukan tangan yang biasa memegang senjata, betisnya
pun tak berotot yang menunjukan bukan orang yang bisa berlatih fisik.
TNI pun percaya, dan lepaslah lelaki tak berdosa itu. Murizal lega, setidaknya TNI menghentikan siksaan kepada warga yang dicurigai GAM. Ia juga merekam jejak kebaikan pasukan TNI dari Divisi Siliwangi yang jarang ia lihat menjadi eksekutor lapangan atau gegabah menyiksa warga tak berdosa.
Di buku ini terekam
juga bagaimana streotipe pada suku Jawa terekam sempurna. Imam Wahyudi adalah
satu dari sekian wartawan dari Jakarta yang selamat dari intimidasi dan
kecurigaan GAM bahwa ia seorang wartawan mata-mata Pemerintah. Imam selamat,
melenggang masuk ke markas GAM saat menyebut, “Saya sunda, bukan Jawa”.
Buku
ini ditulis dengan gaya narasi, dialog, dan analisis penulis dari kisah yang
dialami. Ada juga sekadar pengalaman datar tanpa suspensi menegangkan. Di buku
ini terdapat narasi dari sudut pandang wartawan. Apa dan bagaimana harus
berbuat saat berada dalam situasi
perang.
Dicurigai
sebagai intel, seperti dialami Adi Warsidi, dilakab sebagai wartawan GAM,
wartawan TNI, cuak, dan wartawan Jawa, adalah fakta yang ternarasikan di buku
ini. Membatinnnya perasaan seorang jurnalis perempuan di Aceh, seperti
dirasakan Daspriani Zamzami yang jadi korban kekerasan fisik dan todongan
senjata di leher oleh pihak GAM yang nyaris menghilangkan nyawanya, terekam
sempurna.
Untuk merawat ingatan, buku ini telah mewakili banyak kisah yang belum tereksplor tuntas bahwa menjadi wartawan di medan perang di Aceh bukan perkara mudah.
Para penulis di buku ini telah membagi kisahnya untuk dijadikan i’tibar di masa depan, apalagi di saat damai sebagian dari para pelaku sejarah baik dari GAM dan TNI masih dapat bertemu dengan wartawan penulis buku ini.[arif ramdan]