ETNIK Bajo atau Bajau memang khas. Mereka lahir, besar dan kembali ke Sang
Khalik kala dalam pelukan lautan. Deru nafas mereka juga saling berlomba dengan
debur ombak kecil yang berlari menuju tepian. Laut adalah sebuah masa lalu,
kekinian dan harapan masa mendatang.
Lalu dari mana asal usul ektik Bajo? Dr Anwar Hafidz Mpd ahli sejarah di
Universitas Halu Oleo (Unhalu) Kendari yang ditemui di kampus tersebut,
membeberkan dengan rinci asal muasal etnik Bajo. Menurutnya, terdapat beberapa
versi tentang asal muasal etnik putera-putera lautan itu. Satu versi menyatakan
etnik Bajo berasal dari Johor Malaysia dan kemudian menyebar ke seluruh kawasan
timur Indonesia. "Ada juga yang mengatakan suku Bajo merupakan campuran
Cina Selatan dan Kalimantan Timur. Namun, semuanya sama, menekankan bahwa suku
Bajo hidup di laut," sebut Anwar Hafidz.
Versi ini, didasarkan pada mitos dan
cerita rakyat yang berkembang pada masyarakat Bajo. Suatu ketika di masa silam,
raja di Johor Malaysia kehilangan putrinya yang sedang bertamasnya mengarungi
lautan Nusantara. Dikabarkan, putri raja tersebut tenggelam di lautan lepas.
Atas kejadian itu, Kerajaan Malaka memerintahkan seluruh prajuritnya untuk
mencari putri raja. Dan mereka tidak diperbolehkan kembali, sebelum berhasil
mendapatkan putri sang raja.
Di sinilah dimulai sebuah perantauan tak berujung. Karena tidak berhasil
menemukan putri raja yang tenggelam, maka para prajurit kerajaan Malaka
memutuskan tidak kembali ke kerajaan dan berlayar kemana saja mengikuti arah
angin. "Mereka itulah cikal bakal etnis Bajo yang kemudian tinggal di atas
perahu dan berpindah-pindah. Sampai akhirnya mereka tersebar di berbagai
pesisir Sulawesi," kata Anwar Hafidz.
Sementara, versi lain menyatakan, mereka berasal dari Vietnam dan Filipina. Hal
tersebut didasarkan pada bahasa yang hampir mirip dengan masyarakat pesisir
yang ada di Filipina dan Vietnam. "Seluruh etnik Bajo di pantai manapun
berada, mereka tetap menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Bajo,"
sebut Anwar.
Dilihat dari segi aspek budaya, menurut Anwar Hafidz, asal usul etnis Bajo
lebih dekat kepada etnis Melayu. Hal tersebut dilihat dari kebiasaan mereka
berpantun. "Orang Bajo dalam hitungan detik mampu merangkai pantun yang
menarik," katanya.
Suku Bajo, umumnya beragama Islam dan memiliki seni berpantun yang sangat
indah. Dalam kancah penyebaran Islam, Suku Bajo menurut Anwar Hafidz mempunyai
kontribusi besar terhadap penyebaran agama Islam di Sulawesi bahkan di
Nusantara. Tercatat, Imam Masjid pertama di Kota Kendari adalah ulama dari
etnis Bajo. Bisa jadi, suku Bajo dalam menyebarkan Islam ada kaitannya dengan
Syaikh Abdul Wahid, seorang ulama dari Arab yang sebelum ke Nusantara, terlebih
dahulu menyebarkan Islam di Johor Semenanjung Malaysia, dimana etnis Bajo
berasal.
Literatur lain yang dikatakan Anwar Hafidz, adalah adanya satu kisah tentang
prajurit Malaka yang menyebar menghindari tekanan Portugis ketika menyerang
Malaka. "Ketika Portugis menguasai Malaka yang notabene basis kerajaan
Islam Melayu, para prajurit Malaka yang tidak mau menerima kehadiran Portugis
tersebut menyebar ke kawasan Timur Nusantara, dan inilah yang dalam salah satu
versi kemudian membentuk komunitas etnis Bajo yang hidup di laut," sebut
Anwar Hafidz.
Bahkan dikatakan Anwar Hafidz, dalam salah satu naskah Lontar Bajo yang
ditelitinya, etnis Bajo juga ada yang berasal dari Makasar. Saat ini, setelah
sebagian dari mereka memilih daratan untuk tempat tinggal seperti di Desa Bajo,
Kecamatan Soropia, etnis Bajo masih saja tertinggal dan hidup apa adanya di
pesisir pantai Sulawesi.
Anak-anak dari suku Bajo jarang yang bisa mengenyam
pendidikan sampai universitas. Rata-rata diantara mereka hanya menamatkan SD,
paling tinggi tamatan SMA. Riwayat melek pendidikan bagi etnis Bajo baru saja
muncul tahun 1990, saat itu sudah banyak anak-anak Bajo masuk sekolah walaupun
hanya tamat SD. Penelitian yang dilakukan La Ode Muharram, seorang praktisi
pendidikan dari Universitas Haluoleo (Unhalu) papa tahun 2001 di Kecamatan
Soropia, menyimpulkan, sebanyak 96 persen anak suku Bajo drop out sekolah , 4
persen diantaranya bisa tamat SMA dan perguruan tinggi.
Lalu mengapa etnis Bajo terkesan tertinggal dari suku lain yang ada di Sulawesi
Tenggara? Padahal mereka memiliki peran penting saat merintis berdirinya Kota
Kendari. Anwar Hafidz mengatakan, penyebab ketertinggalan bidang pendidikan bagi
etnis Bajo adalah tidak mendekatnya pendidikan formal ke kawasan suku Bajo.
"Keadaan tersebut membuat etnis Bajo sama sekali tidak tertarik dengan
pendidikan dan enggan pergi sekolah," kataya.
Pemerintah dalam hal ini, menurut Anwar Hafidz belum memaksimalkan pendidikan
di kawasan tersebut. Saat ini, baru ada sekolah Dasar yang jaraknya lumayan dan
ditempuh dengan berjalan kaki. "Untuk memajukan etnis Bajo agar sejajar
dengan komunitas lainnya di Sulawesi, maka perlu mendekatkan lokasi pendidikan
formal ke kawasan pemukiman masyarakat Bajo," kata Anwar.
Bagi etnik Bajo, laut adalah segalanya, laut adalah kehidupanya, laut adalah
ombok lao, atau raja laut. Etnis Bajo, dalam menempatkan orang membaginya ke
dalam dua kelompok. Sama' dan Bagai. Sama' adalah sebutan bagi mereka yang
masih termasuk ke dalam suku Bajo sementara Bagai adalah suku di luar Bajo.
"Orang Bajo sangat hati-hati dalam menerima orang baru. Mereka tidak mudah
percaya sama pendatang baru," katanya.
Etnis Bajo, yang biasa memanggil laki-laki
dengan sebutan Lilla dan perempuan dengan sebutan Dinda tersebut, memilik
kemampuan mendiagnosa jenis penyakit yang diderita salah satu ikan di laut.
"Orang Bajo bisa tahu ikan yang sakit dan tidak, ini menunjukan sebenarnya
dasar-dasar ilmiah sudah mereka miliki, " sebut Anwar.
Tingkat sosial masyarakat Bajo dalam menyokong kehidupan beragama juga
tergolong tinggi, seperti disebutkan Anwar Hafidz di Desa Mekar Bajo sebuah
masjid di Desa tersebut dibangun hanya oleh satu orang dari suku Bajo.
Meski sebagian etnis Bajo tidak lagi hidup dalam perahu-perahu yang mengapung
di samudera lepas, saat ini etnis Bajo yang mendiami seluruh pesisir Sulawesi
masih hidup dengan hanya mengandalkan sektor air. Bagi mereka, laut dan
hasilnya adalah tempat untuk meniti kehidupan dan mempertahankan diri sambil
terus mewariskan budaya leluhur suku Bajo.
Etnis Bajo, memiliki keyakinan penuh atas sebuah ungkapan, bahwa Tuhan telah
memberikan bumi dengan segala isinya untuk manusia. Keyakinan tersebut tertuang
dalam satu Falsafah hidup masyarakat Bajo yaitu, 'Papu Manak Ita Lino Bake
isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana', artinya
Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, kita saja manusia yang
memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya.
Ya...itulah pesan
bijak dari anak-anak dalam pelukan lautan.(arif ramdan)
BACA:
Aroma Kerang Laga di Mekar Bajo
Ilustrsi Suku Bajo [portalsepekan.com]