Mau Urang Mas Malaha Sehe'
Urang Batu Malaha' Diri
Lubbi Ala Ma Kaupoh Laha Diri
Lebih Baik Hujan Batu di negeri Sendiri
Daripada Hujan Emas di Negeri Orang
Etnik Bajo adalah bagian dari masyarakat Sulawesi yang hidup di hampir seluruh pesisir pantai, komunitas mereka biasa disebut juga dengan nama To Bajo, Bajau, Sama, Bajo E, To Wajo atau Orang Laut yang tak memilik teritorial.
Dulu, mereka
adalah manusia-manusia yang telah menjadikan laut sebagai sahabat dan tempat
tinggalnya, aktivitas memasak, tidur, dan menghabiskan waktu bersama keluarga,
mereka lakukan di atas perahu dengan layar mengembang. Layak jika mereka
disebut sebagai manusia perahu. Tetapi, pemandangan seperti itu tidak nampak
lagi, karena sebagian etnis Bajo saat ini telah tinggal di daratan luas di
sepanjang pesisir laut Sulawesi.
Sulawesi Tenggara yang terkenal dengan negeri Anoa ini resmi terbentuk pada
tanggal 27 Aprl 1964 sebagai realisasi pelaksanaan Perpu Nomor 2 Jo
Undang-Undang Nomor 13 tahun 1964 tentang pembentukan provinsi daerah tingkat I
Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Dengan ibu kota Kendari, Sulawesi
Tenggara terbentuk dari bekas-bekas wilayah kesultanan Buton dan
kerajaan-kerajaan sekitarnya seperti Mekongga, Konawe, dan Kerajaan Muna di
Jazirah Tenggara Sulawesi.
Nama Sulawesi Tenggara diambil dari hasil perjanjian antara Sultan Buton La Elangi yang bergelar Dayanu Ikhsanuddin dengan utusan VOC Kapten Apllonius Scotte pada 5 Januari 1613.
Sulawesi Tenggara, memilik luas 15.019 Kilometer persegi yang terdiri dari 114.879 kilometer luas lautan (72%), 38.140 kilometer luas daratan (28%), 100 buah pulau, dua pulau berukuran besar, dan tiga gugusan kepulauan. Provinsi penghasil Kakao dan Jambu Mete tersebut, terdiri dari sepuluh kabupaten antara lain, Kabupaten Konawe, Kolaka, Buton, Muna, Kota Kendari, Kota Bau-Bau, Kota Konawe Selatan, Bombana, Wakatobi, dan Kolaka Utara.
Setiap pelancong domestik maupun luar negeri yang menginjakkan kaki di Kendari,
sudah pasti menyempatkan mencicipi Sinonggi, makanan khas sulawesi yang terbuat
dari tepung sagu. Selain itu, panorama teluk Kendari juga tidak kalah penting
dari indahnya pantai Nambok yang sering dikunjungi wisatawan.
Menempuh perjalanan sejauh 17 kilometer lebih dari Kota Kendari, Sabtu (5/8/2006) lalu. Dan menyusuri pinggiran jalan berliku dan berdebu, saya
berkesempatan mengunjungi salah satu daerah etnik Bajo yang berada di Desa
Mekar Bajo, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Etnis Bajo merupakan komunitas manusia yang pertama kali mendirikan dan
melakukan aktivitas pertama di Kota Kendari, tepatnya di kawasan Kota Lama.
Seperti disebutkan seorang ahli sejarah di Kendari, Dr Anwar Hafidz yang
melakukan penelitian khusus pada komunitas etnis Bajo sejak tahun 1987. Anwar
Hafidz adalah dosen sejarah di Universitas Halu Oleo (Unhalu).
Mengendarai sepeda motor dari pusat Kota Kendari, gumpalan awan putih cumulus nimbus menggelayut manja di langit biru Desa Bajo.
Matahari sudah menampakan diri, gelombang laut tenang tidak bergejolak,
pertanda laut sedang bersahabat dengan etnis Bajo yang sebagian diantaranya
sedang asyik menyalami jilatan gelombang kecil di pesisir Desa Mekar Bajo. Dari
kejauhan terlihat seorang nenek dengan bocah kecil menjinjing karung yang
berisi kerang laut.
Kotu yang telah 17 tahun tinggal di Desa Mekar Bajo adalah isteri dari seorang nelayan bernama Ziba (55). Bersama Kotu dan salah satu anak perempuannya, saya sempat mencicipi Kerang Lagah yang dibakar Kotu. Meski dibakar dengan perapian yang sederhana, tetapi Kerang Lagah yang dihidangkan Kotu terasa nikmat disantap, aromanya serasa menusuk hidung ketika angin menghembus di pesisir Desa Mekar Bajo.
"Ini hasil tangkapan suami saya malam tadi, ya untuk makan siang sudah cukup. Sebagian lagi saya jual," kata Kotu sambil sesekali mengiris-ngiris kerang Lagah tersebut dengan pisau dapurnya yang terlihat sedikit berkarat.
Etnis Bajo yang saya kunjungi, secara teritorial masuk ke wilayah Kabupaten Konawe. Garis ekonomi dan tingkat pendidikan suku Bajo boleh dibilang tertinggal dari suku-suku asli Sulawesi yang mendiami berbagai kabupaten dan kota. Rata-rata orang Bajo, hanya menamatkan pendidikan SD, seperti Kotu dan suaminya Ziba.
Di Sulawesi Tenggara terdapat lima etnis besar sebagai penduduk asli di
provinsi penghasil jambu mete tersebut. Diantaranya, suku Tolaki dan suku
Buton. Beberapa etnis lainnya juga hidup berdampingan, seperti Suku Bugis,
Jawa, dan suku pendatang lainya yang sudah berbaur dengan masyarakat setempat.
***
25 Juli hingga 5 Agustus 2006, saya berkesempatan mengunjungi Kendari, Sulawesi Tenggara. Berikut ini tulisan lama yang dipublish ulang. Banyak kesan tentang daerah di Indonesia Timur tersebut. Mulai dari etnik Bajo hingga kekinian Kendari.