Suasana sebelum acara dimulai, Pengunjung sudah mulai berdatangan dan memenuhi tribun Museum, [Rizki Ananda/wasatha.com] |
WASATHA.COM, BANDA ACEH- Memperingati
15 tahun Tsunami Aceh, masyarakat mengambil kesempatan untuk melakukan berbagai
upaya muhasabah (intropeksi) diri. Diantara mereka melakukan ziarah, berdzikir,
santunan dan lainnya yang mampu membangun ketataan kepada Allah.
Tsunami di Aceh sudah berlalu
beberapa dekade, tidak terasa sudah 15 tahun. Museum Tsunami merupakan tempat
menyimpan memori penuh duka bagi rakyat Aceh pada tahun 2004 silam. Museum
Tsunami sampai saat ini masih menjadi pilihan tepat bagi masyarakat
memperingati bencana yang pernah mengguncang bumi rencong tersebut.
Tahun ini Museum Tsunami
menyungguhkan konsep dan penampilan menarik bagi masyarakat Aceh. berbeda
dengan tahun lalu. Bangunan modern itu memberi kesempatan bagi para pemuda
menampilkan bakat dan kreatifitas mereka
untuk masyarakat dalam acara Malam Renungan 15 Tahun Tsunami Aceh, Museum
Tsunami , Banda Aceh (27/12/2019).
Kegiatan diawali dengan adanya sharing
cerita dan pengalaman hidup dari Delisa, Seorang gadis Aceh yang pernah menjadi
korban amukkan Tsunami, bercerita bagaimana dia berpisah dengan sosok
tercinta, menjalani hidup baru berkeadaan disabilitas. Betapa kuat dan tegarnya
menjalani hidup walaupun merasakan duka ketika itu.
Selain itu ada juga Cut Putri,
beliau juga merupakan sosok korban yang juga selamat dari amukkan Tsunami dan
sempat merekam fenomena menakutkan itu tanpa sengaja melalui handycamnya. Dia
mengungkapkan bahwa tidak ada niat sengaja merekam Tsunami, karena awalnya ia
hanya ingin merekam acara walimah (pernikahan).
“Awalnya saya ingin mengabadikan
acara walimah, namun yang terjadi sebaliknya bukan walimah yang saya rekam tapi
Tsunami. Saya berdo’a rekaman itu bisa saya rekam agar dapat disaksikan oleh
generasi muda dan itu menjadi sebuah pelajaran”, terangnya ketika memberikan
sambutan.
Kegiatan Malam Renungan 15 tahun
Tsunami merupakan konsep berbeda yang direncanakan pihak museum dengan konsep berbeda
dan menarik berasal dari siswa-siswi SMA 2 Banda Aceh yang tergabung dalam Youth
Disaster Awareness Forum.
“Setiap tahun kita
menyelenggarakan acara, kali ini dengan konsep berbeda. Kita mengangkat anak
Aceh tangguh bencana, karena pun museum ini ada karena mereka”, ujar Hafnidar,
Kepala Museum Tsunami ketika diwawancarai.
“Tahun lalu, bukan anak-anak ini
didepan, tapi tahun ini saya tidak ikut campur, mereka yang berinisiatif
membuat konsep, desain panggung dan mereka yang membuat segalanya sampai juga
melakukan tiap hari, bahkan sebelum tampil tadi mereka masih juga latihan, kita
beri ruang untuk itu,”ujarnya kembali.
Acara bertajuk “Anak Aceh Tangguh
Bencana” menampilkan Drama kebencanaan berjudul “Ie Beuna” yang diikuti oleh beberapa
siswa siswi SMA 2 Banda Aceh dan diantara mereka ternyata volunteer (relawan) yang
pernah diutus ke Jepang.
“Mereka ini adalah volunteer
bencana internasional yang pernah dikirim ke Jepang, negara tersebut sangat
mengapresiasikan siapa mereka”, jelas Hafnidar dengan takjub.
Asyi, salah satu talent drama
mengaku bahagia menjadi kontributor dan berpartisipasi dalam acara.
“Rasanya Senang bisa berpartisipasi
dan tidak menyangka juga mengambil peran, dengan drama ini kita bisa memberi
kesan kepada orang lain bagaimana Tsunami terjadi di Aceh dulu, bisa
membuat orang menangis. peran kami disaksikan oleh pengujung tadinya
merupakan kebanggan tersendiri bagi kami semua”, ujar gadis Aceh bernama
lengkap Asy-Syifa Syaharani itu.
Penampilan siswa-siswi SMA 2 Banda Aceh menampilkan Drama berjudul "Ie Beuna" |
Kegiatan ini merupakan puncak
acara dimana dari paginya kegiatan ini diselenggarkan berbagai acara seperti
pembagian 1.500 Kopi Sanger, 1000 kue, 300 Buku dari kementrian PPPA dan baca
yasin bersama. Semua itu diselenggarakan oleh komunitas-komunitas.
Harapan besar Museum Tsunami
tetap berkontribusi memberikan yang terbaik bagi masyarakat Aceh dan menjadi
wadah pembelajaran bagi kaum millenial untuk lebih tau banyak mengenai bencana.
“harapannya, kita museum Tsunami
tidak akan berhenti mengkomunikasikan edukasi bencana sama anak-anak”, harapnya.
[]