Ustaz Dr H Abizal M Yati Lc MA |
WASATHA.COM,
BANDA ACEH – Akhlak berasal dari bahasa Arab. Ditinjau dari segi
bahasa, akhlak artinya budi pekerti. Menurut Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya
Ulumuddin, akhlak adalah suatu perangai yang menetap kuat dalam jiwa seseorang
dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya,
secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.
Hal
tersebut disampaikan Ustaz Dr H Abizal M Yati Lc MA dalam pengajian rutin
Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak,
Jeulingke, Banda Aceh, Selasa malam (22/10).
Ia
menjelaskan bahwa ulama terdahulu lebih dulu mempelajari akhlak sebelum
mempelajari ilmu pengetahuan lain. Nabi Muhammad merupakan contoh teladan bagaimana
seseorang bergaul dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah sebelum diangkat
menjadi rasul sudah digelar al-amin karena kepribadiannya.
“Misi
pertama Nabi Muhammad diutus Allah untuk memperbaiki akhlak manusia,” ujarnya
pada pengajian yang dimoderatori Humas Aksi Cepat Tanggap (ACT) Aceh Zulfurqan.
Seseorang
tidak sempurna imannya apabila tidak berakhlak baik. Di akhirat kelak orang
yang posisinya berdekatan dengan Nabi Muhammad ialah yang baik akhlaknya.
Panduan
berakhlak baik terkandung dalam Alquran dan hadis. Akhlak Rasulullah berdakwah
membuat jangkauan dakwahnya sangat luas dalam waktu singkat dan bertahan hingga
kini.
“Coba kita
tanyakan kepada diri sendiri apakah kita sudah berakhlak baik. Kalau ingin
mengajarkan akhlak kepada orang lain, maka kita harus menjadikan diri kita
sendiri sebagai contoh yang bisa diteladani akhlaknya,” ucapnya.
Ustaz
Abizal memaparkan bahwa ada lima akhlak utama harus dimiliki seseorang. Apabila
kelima akhlak tersebut melekat dalam kehidupan maka bangsa Indonesia menjadi
bangsa baik.
Pertama,
jujur. Sekarang sulit menemukan kejujuran dalam kehidupan. Padahal jujur
merupakan puncak segala kebaikan. Orang jujur bertindak sesuai dengan
perkataannya. Sementara itu, kebohongan bisa memuzaratkan orang lain.
“Satu
kebohongan bisa menimbulkan sepuluh kebohongan lain demi menutupi satu
kebohongan,” terangnya.
Kedua
adil. Adil maknanya seimbang. Pemimpin adil tidak akan merasa bimbang
melaksanakan tanggung jawabnya. Kehidupannya akan tenang tanpa bayang-bayang ketakutan.
Seperti
halnya Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Umar sosok pemimpin adil. Saking
tenangnya ia bisa tertidur pulas di tengah padang pasir tanpa pengawal. Padahal
ia seorang khalifah.
Ketiga,
amanah. Allah berfirman dalam Surat Al-Ahzab ayat 72, ”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan
amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat
itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
Jabatan sebuah
amanah berat. Umar bin Abdul Aziz mengucapkan inna lillahi wa Inna ilaihi raji’uun
dan menangis terisak-isak sebab dirinya diangkat menjadi khalifah.
“Kelak di
akhirat setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. Memegang
jabatan seperti halnya memegang bara api,” terang Ustaz Abizal.
Keempat,
mendahulukan orang lain. Akhlak manusia satu ini dapat tercermin dalam
mengenderai kenderaan di jalan. Orang berakhlak mulia senantiasa mendahulukan
orang lain yang lebih membutuhkan. Seyogianya dalam kehidupan lebih
mementingkan orang lain, baik itu terhadap keluarga, tetangga, dan sebagainya.
Kelima,
tawadu atau rendah hati. Orang tawadu tidak suka menonjolkan diri dan disanjung
berlebihan. Kebalikan dari sifat tawadu adalah sombong. Orang yang suka
meninggikan diri hidupnya tidak tenang.[]