Teuku Murdani |
SEBAGAI mahasiswa program doktor saya sempat was-was ketika mendapatkan email untuk mengikuti Orientasi Pengenalan Kampus (Ospek) ketika saya memulai kuliah beberapa waktu lalu.
Perasaan tersebut muncul karena pengalaman pribadi mengikuti Ospek ketika memulai kuliah strata satu dulu di salah satu kampus di Aceh di mana Ospek identik dengan “pelonco” yang dilakukan oleh abang letting terhadap mahasiswa baru. Pelonco yang diisi dan permintaan abang letting yang cukup aneh-aneh.
Berbagai informasi saya coba kumpulkan tentang bagaimana Ospek tersebut dan apa yang akan dilakukan dalam acara tersebut karena kalau nanti harus memakai berbagai macam atribut seperti yang pernah terjadi di Aceh ketika S1 dulu sudah tentu tidak cocok lagi dengan saya sebagai mahasiswa program doktor.
Ketika hari orientasi tiba saya mendatangi tempat yang telah diberitahukan. Alangkah terkejutnya saya ketika melihat bahwa Ospek yang dilakukan berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Indonesia pada umumnya dan di Aceh khususnya.
Ospek di Kampus Australia bak pameran pembangunan di Aceh, dimana setiap unit kerja yang ada di kampus baik dari institusi kampus sendiri maupun unit kegiatan mahasiswa mendekorasikan sebuah stand yang dilengkapi dengan berbagai prestasi yang telah mereka raih.
Mereka dengan ramah dan penuh semangat menyapa siapa saja yang datang dan memberikan informasi apa yang dapat mereka bantu jika mahasiswa baru tersebut mengalami kesulitan. Mereka memberikan kartu nama dimana pada kartu tersebut tertera email dan alamat kemana si mahasiswa baru bisa menghubungi jika nanti manghadapi masaalah.
Tergambarlah Ospek merupakan sebuah perayaan penyambutan mahasiswa baru dengan penuh keakraban serta penuh budaya dan peradaban akademis. Tidak ada aturan baju hitam putih, bawa kantong plastik sebagai tas, bawa sapu lidi dan sebagainya.
Di samping memamerkan kelebihan mereka, di stand tersebut mereka berupaya menarik perhatian mahasiswa dengan berbagai souvenir mulai dari pulpen sampai denga membakar sausages yang dimakan dengan roti seperti hotdog dibagikan secara gratis.
Mereka saling menawarkan bantuan kepada mahasiswa baru mulai dari bagaimana memulai hidup sebagai masyarakat kampus sampai dengan bagaimana meraih nilai terbaik. Dari cara belajar sampai dengan cara memasak dengan menu sederhana ala Australia karena rata-rata mahasiswa akan tinggal di kampus dengan menyewa kamar.
Politisi lokal juga tidak tinggal diam, mereka turut mendirikan tenda dan mengajak mahasiswa berdiskusi tentang apa yang dirasakan terhadap fasilitas Pendidikan yang disediakan oleh pemerintah Australia.
Apakah ada saran-saran untuk perbaikan atau semacam kritikan karena aturan yang ada tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Mereka turut menggunakan acara Ospek kampus untuk menampung aspirasi mahasiswa yang menyangkut dengan pendidikan.
Mahasiswa baru dibagi dalam unit-unit kecil 20 sampai dengan 30 orang yang dikoordinir oleh seorang pemandu. Para pemandu ini akan membawa mahasiswa keliling kampus untuk menunjukkan fasilitas apa saja yang ada di kampus tersebut dan bagaimana mendapatkan layanan dari setiap unit kerja yang ada di kampus dimaksud.
Mahasiswa baru dipersilahkan bertanya tentang apa saja dan si pemandu akan memberikan jawaban yang terbaik yang dia tahu.
Pekan penyambutan mahasiswa baru dilaksanakan selama satu minggu yang dipenuhi dengan berbagai kegiatan yang akan membantu mereka dalam belajar dan menjadi mahasiswa yang sangat jauh berbeda dengan suasana belajar di sekolah.
Tidak ada paksaan untuk belajar di perguruan tinggi yang ada hanya penilaian. Kalau serius akan sukses dan tidak serius akan gagal, tidak ada nilai negosiasi atau pemberian nilai secara adat. Semua proses dilaksanakan dengan sangat professional. []
***
Teuku Murdani adalah mahasiswa program Doktor dalam bidang International Development, Fakultas Art & Design, University of Canberra, Australia.