Iklan

Iklan

Miris! Bedanya Niat Pemimpin Sekarang Dengan KhalifahTerdahulu

4/17/19, 22:30 WIB Last Updated 2019-04-18T01:49:02Z




WASATHA.COM, Pemilihan Umum (Pemilu) saat ini sedang hangat-hangatnya di perbincangkan oleh rakyat Indonesia. Baik di dunia nyata maupun di dunia maya atau yang sering disebut dengan media sosial (medsos). Bahkan media massa pun tak luput dari pembicaraan tentang pemilihan umum. Mulai dari acara berita formal maupun talkshow semua membicarakan tentang pemilihan umum.

Banyaknya orang yang memperebutkan bangku kekuasaan di pemerintahan semakin jelas terlihat. Seakan haus dengan kekuasaan, banyaknya yang mencalon dalam pemilihan tiap tahunnya, sudah cukup sebagai bukti nyata.

Para calon terlihat berlomba-lomba untuk lebih unggul dari calon lainnya. Tidak hanya niat, para calon juga menunjukkan kesungguhannya untuk memimpin dengan tindakan. Mulai dari turun ke lapangan langsung untuk mengambil hati rakyat, sampai menyebarkan ujaran kebencian untuk bisa menduduki bangku kepemerintahan. Seakan-akan mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kursi di pemerintahan.

Bahkan tidak sedikit calon yang melakukan hal yang melanggar hukum yang tidak diperbolehkan dalam pemilu. Seperti ‘serangan fajar’ contohnya. Serangan fajar merupakan  sogokan untuk masyarakat agar mau memilih calon yang memberikan sogokan tersebut. Serangan fajar isinya bermacam-macam, mulai dari bahan sembako, pakaian, perlengkapan ibadah bahkan tidak sedikit calon yang segan memberikan amplop yang berisikan uang. Segala upaya dilakukan agar bisa memperoleh suara untuk bisa menduduki bangku kepemerintahan.

Miris pastinya. Kenapa tidak? Sebab para calon yang mencalonkan diri kebanyakan beragama islam. Seakan lupa dengan sejarah islam yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, hal ini juga banyak menimbulkan pertanyaan bagi sebagian orang khususnya para masyarakat muslim. Seperti yang kita ketahui, belajar dari sejarah islam pada zaman Rasulullah SAW.

Menurut Marshall G. Hodgson, ahli sejarah peradaban islam, sebagaimana yang dikutip Dr. Nurkholish Madjid dalam salah satu tulisannya, bahwa kesuksesan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dalam menaklukkan manusia adalah demi membebaskan mereka dari belenggu kebodohan dan kegelapan dengan landasan cinta kasih, keimanan, dan niat.

Meskipun mendapat banyak hambatan dan rintangan, namun dakwah dan kepemimpinan beliau begitu mudah diterima oleh umat manusia. Sehingga tak heran, dalam kurun waktu tak lebih dari 23 tahun, ajaran islam dengan mudah tersebar ke penjuru dunia.(limalaras.wordpress.com)

Dari pernyataan tersebut dapat kita lihat betapa ketulusan Rasulullah SAW dapat menyentuh para pengikutnya hingga tetap setia mengikuti dan meneladani Rasulullah sampai akhir hayat beliau.

Tidak ada paksaan, sogokan ataupun ujaran kebencian yang dilakukan oleh Rasulullah dalam menjalankan dakwahnya. Tetapi hingga saat ini beliau masih melekat di hati dan ingatan para umatnya. Dari cerita tersebut kita bisa membandingkan betapa mirisnya cara-cara orang yang ingin menjadi pemimpin di pemerintahan saat ini.

Sejarah islam tentang kepemimpinan tidak hanya berhenti di kisah Rasulullah saja. Berita wafatnya Rasulullah merupakan dentuman keras bagi keluarga, sahabat-sahabat, serta ummat Rasulullah lainnya. Tapi meski demikian kepemimpinan tidak berhenti sampai disitu.

Sepeninggal Rasulullah, kepemimpinan di alihkan kepada sahabat-sahabat beliau yang sering di sebut dengan Khulafaur Rasyidin. Sebulan sebelum Rasulullah wafat, beliau telah terang-terangan menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya jadi pemimpin umat islam.

Tetapi setelah beliau wafat para sahabat dan umat pengikut Rasulullah lainnya memiliki pendapat lain. Oleh karena itu mereka pun mengadakan pertemuan dan berunding untuk menentukan pengganti Rasulullah sebagai pemimpin umat islam selanjutnya.

Dalam pertemuan di balai Bani Saidah, Madinah, kaum Anshar mencalonkan Saad bin Ubadah, pemuka Kazraj, sebagai pemimpin umat. Sedangkan, Muhajirin mendesak Abu Bakar sebagai calon mereka karena dipandang paling layak untuk menggantikan nabi.

Di pihak lain, terdapat sekelompok orang yang menghendaki Ali bin Abi Thalib, karena Nabi telah merujuk secara terang-terangan sebagai penggantinya, di samping Ali merupakan menantu dan kerabat nabi.

Masing-masing golongan merasa paling berhak menjadi penerus nabi. Namun, berkat tindakan tegas dari tiga orang, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah bin Jarrah yang dengan melakukan semacam kudeta (coup detat) terhadap kelompok, memaksa Abu Bakar sendiri sebagai deputi nabi. (Khazanah)

Perlu di garis bawahi, arti memaksa Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah untuk memimpin umat islam adalah untuk mempersingkat dan menghindari argumen lainnya yang mengedepankan emosional dalam pertemuan tersebut.

Selain itu ketidak bersediaan para sahabat untuk menjadi pemimpin juga sebagai alasan pengangkatan paksa Abu Bakar sebagai pemimpin. Di situ pasti muncul pertanyaan, kenapa para sahabat banyak yang menolak untuk jadi pemimpin, sebab para sahabat dan pengikut lainnya sangat mengerti dan paham betul  betapa beratnya tanggung jawab seorang pemimpin di hadapan Allah SWT kelak di akhirat nanti.

Dari sejarah di atas kita dapat belajar, jangankan menyogok dengan serangan fajar untuk jadi pemimpin, sebelum ditawarkan saja para sahabat sudah tolak-menolak untuk jadi pemimpin. Jelas kita bertanya-tanya kenapa di zaman ini banyak yang ingin menjadi pemimpin di pemerintahan. Sampai-sampai rela melakukan kecurangan? Apakah niat calon pemimpin zaman sekarang dengan niat tulusnya Rasulullah Saw serta para Khilafah terdahulu sudah berbeda? Adakah mereka tidak mengetahui apa yang akan mereka pertanggung jawabkan di hadapan-Nya kelak?  Hanya Allah lah yang tau.

Oleh sebab itu ada baiknya para calon yang ingin menjadi pemimpin mengetahui dan menerapkan sejarah gemilang kepemimpinan Rasulullah SAW dan bisa meniru serta meneladani niat tulus dan tujuan beliau untuk menjadi pemimpin Negara. Serta kiranya dapat diaplikasikan dan di jalankan di kehidupan sehari-hari, baik dalam berbangsa, Negara, terlebih lagi dalam beragama. Bukan untuk prihal dan kepentingan pribadi tapi untuk kepentingan dan kebaikan bersama.[Ririn]
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Miris! Bedanya Niat Pemimpin Sekarang Dengan KhalifahTerdahulu

Terkini

Topik Populer

Iklan