WASATHA.COM,
Lhokseumawe - Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kehumasan dan
Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh, gelar diskusi publik mengenai
titik kritis pemilu 2019 di gedung Cut Meutia Kampus Bukit Indah, Lhokseumawe, Rabu
(20/2/2019).
Diskusi publik tersebut menghadirkan tiga pemateri,
yaitu mantan Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Aceh, Ridwan
Hadi, Direktur Jaringan Survei Inisiatif, Aryos Nivada dan Dosen Antropologi
Fisip Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya. Adapun yang bertindak
sebagai moderator diskusi, Ayi Jufridar, mantan anggota KIP Aceh Utara.
Pada sambutannya, sekretaris UPT Kehumasan dan
Hubungan Eksternal Unimal, Riyandi Praza, menyatakan bahwa kegiatan ini adalah
bagian dari tanggung jawab Unimal terhadap problem kebangsaan, salah satunya adalah
momen demokrasi elektoral seperti Pemilu. Acara dibuka oleh pembantu Rektor
Bidang Kerjasama Luar, Dr. Juli Mursyida dan dihadiri oleh dosen, aktivis LSM,
Relawan Demokrasi, aktivis mahasiswa, serta para jurnalis.
Dalam kesempatan itu, Teuku Kemal menyebutkan Indonesia
berada pada fase transisi demokrasi yang tidak terlalu mengembirakan.
Hoax dan black campaign yang menguat selama ini
menyerang aspek sentimentil dan primordial pemilih. Isu SARA dieksploitasi
sedemikian rupa sehingga memengaruhi pandangan masyarakat awam.
Di sisi lain para penyelenggara pemilu masih
terperangkap pada isu-isu yang bisa memperkeruh hubungan.
“KPU dan Bawaslu masih sering berseteru dalam
penafsiran tentang UU Pemilu, sehingga tidak sehat sebagai proses
penyelenggaraan pemilu yang seharusnya konstruktif,” kata Kemal tentang
hubungan Bawaslu dan KPU yang kerap tidak sejalan.
“Siapapun presidennya Isu-isu krusial tetap masih
terjadi. seperti penangangan masalah kejahatan masa lalu, rekonsolidasi
aktor-aktor demokrasi, politik agraria yang belum menyejahterakan petani dan
nelayan, masa depan energi, reindustrialisasi 4.0, politik ekonomi terutama di
sektor riil dan ekstraktif dan isu keutuhan NKRI, pluralisme, dan
multikulturalisme," jelasnya di akhir presentasi.
Sementara Ridwan Hadi, yang sekarang menjabat sebagai
Direktur Eksekutif Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Provinsi Aceh tersebut
melihat pemilu 2019 dari perspektif hukum dan perundang-undangan.
Menurutnya ada empat potensi pelanggaran hukum Jika
DPT bermasalah dan terabaikan akan memegaruhi pada hak konstitusional warga
negara.
“Negara akan rugi karena hasil kerja yang tidak dapat
dipertanggung-jawabkan dan akan mengarah kepada kemerosotan demokrasi,” ungkap Ridwan.
Sementara di titik kritis tahapan pendistribusian
logistik dan kekurangan surat suara juga bisa menjadi masalah lainnya. Problem
ini mulai menguat pada momen pemilu kali ini dan diperlukan pola antisipasi
yang tepat.
Aryos Nivada pada kesempatan itu membahas titik kritis
kepemiluan dari perspektif keamanan dan politik, yang berpotensi menimbulkan
gangguan keamanan, ketertiban, penegakan hukum dan ketentraman masyarakat.
Pengaruh gejolak politik nasional di Pilpres 2019 bisa berpotensi memengaruhi
politik lokal Aceh.
"Logika rasionalnya, jika caleg maupun elite
partai pengusung kedua kubu kandidat presiden memainkan isu SARA, bisa menyebabkan
keamanan terganggu dan membahayakan keselamatan bangsa,” terangnya.
Tingkat kriminalitas setiap menjelang pemilu di Aceh
cenderung meningkat yang mempengaruhi situasional keamanan. Mencermati
kemungkinan kriminalitas yang terjadi di tahun politik lebih diwarnai intimidasi,
tindakan kekerasan fisik, perusakan alat peraga, penyebaran kampanye hitam, dan
lain-lain.
Dari hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) tahun 2018, menemukan tiga daerah yang tingkat penyebaran informasi
bohong atau hoaxs sangat tinggi yaitu Aceh, Jawa Barat, dan Banten. Dari total
116,034,389 penduduk berdasarkan data BPS tahun 2010, LIPI mengambil sampel
1800 responden (200 orang di setiap provinsi) dengan kelompok usia mulai dari
17 hingga 64 tahun, dan menemukan kegawatan ternyata terjadi di ujung pulau
Sumatera.
"Dari hasil riset Jaringan Survei Inisiatif pada
2018, ditemukan fakta bahwa 52% pemuda kesulitan dalam membedakan antara berita
hoax dan bukan. Alasan mengapa kesulitan membedakan hoax 49% menjawab karena
mendapatkan berita dari sumber yang tidak terpercaya dan 40% menganggap berita
tersebut bermanfaat padahal berita palsu," pungkasnya dalam materi seminar
tersebut.[]