Iklan

Iklan

Unimal Bedah Titik Kritis Pemilu 2019

Mabrur Muhammad
2/21/19, 12:30 WIB Last Updated 2019-02-21T05:30:05Z



WASATHA.COM, Lhokseumawe - Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh, gelar diskusi publik mengenai titik kritis pemilu 2019 di gedung Cut Meutia Kampus Bukit Indah, Lhokseumawe, Rabu (20/2/2019).

Diskusi publik tersebut menghadirkan tiga pemateri, yaitu mantan Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Aceh, Ridwan Hadi, Direktur Jaringan Survei Inisiatif, Aryos Nivada dan Dosen Antropologi Fisip Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya. Adapun yang bertindak sebagai moderator diskusi, Ayi Jufridar, mantan anggota KIP Aceh Utara.

Pada sambutannya, sekretaris UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Unimal, Riyandi Praza, menyatakan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari tanggung jawab Unimal terhadap problem kebangsaan, salah satunya adalah momen demokrasi elektoral seperti Pemilu. Acara dibuka oleh pembantu Rektor Bidang Kerjasama Luar, Dr. Juli Mursyida dan dihadiri oleh dosen, aktivis LSM, Relawan Demokrasi, aktivis mahasiswa, serta para jurnalis.

Dalam kesempatan itu, Teuku Kemal menyebutkan Indonesia berada pada fase transisi demokrasi yang tidak terlalu mengembirakan.

Hoax dan black campaign yang menguat selama ini menyerang aspek sentimentil dan primordial pemilih. Isu SARA dieksploitasi sedemikian rupa sehingga memengaruhi pandangan masyarakat awam.

Di sisi lain para penyelenggara pemilu masih terperangkap pada isu-isu yang bisa memperkeruh hubungan.

“KPU dan Bawaslu masih sering berseteru dalam penafsiran tentang UU Pemilu, sehingga tidak sehat sebagai proses penyelenggaraan pemilu yang seharusnya konstruktif,” kata Kemal tentang hubungan Bawaslu dan KPU yang kerap tidak sejalan.

“Siapapun presidennya Isu-isu krusial tetap masih terjadi. seperti penangangan masalah kejahatan masa lalu, rekonsolidasi aktor-aktor demokrasi, politik agraria yang belum menyejahterakan petani dan nelayan, masa depan energi, reindustrialisasi 4.0, politik ekonomi terutama di sektor riil dan ekstraktif dan isu keutuhan NKRI, pluralisme, dan multikulturalisme," jelasnya di akhir presentasi.

Sementara Ridwan Hadi, yang sekarang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Provinsi Aceh tersebut melihat pemilu 2019 dari perspektif hukum dan perundang-undangan.

Menurutnya ada empat potensi pelanggaran hukum Jika DPT bermasalah dan terabaikan akan memegaruhi pada hak konstitusional warga negara.

“Negara akan rugi karena hasil kerja yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan dan akan mengarah kepada kemerosotan demokrasi,” ungkap Ridwan.

Sementara di titik kritis tahapan pendistribusian logistik dan kekurangan surat suara juga bisa menjadi masalah lainnya. Problem ini mulai menguat pada momen pemilu kali ini dan diperlukan pola antisipasi yang tepat.

Aryos Nivada pada kesempatan itu membahas titik kritis kepemiluan dari perspektif keamanan dan politik, yang berpotensi menimbulkan gangguan keamanan, ketertiban, penegakan hukum dan ketentraman masyarakat. Pengaruh gejolak politik nasional di Pilpres 2019 bisa berpotensi memengaruhi politik lokal Aceh.

"Logika rasionalnya, jika caleg maupun elite partai pengusung kedua kubu kandidat presiden memainkan isu SARA, bisa menyebabkan keamanan terganggu dan membahayakan keselamatan bangsa,” terangnya.

Tingkat kriminalitas setiap menjelang pemilu di Aceh cenderung meningkat yang mempengaruhi situasional keamanan. Mencermati kemungkinan kriminalitas yang terjadi di tahun politik lebih diwarnai intimidasi, tindakan kekerasan fisik, perusakan alat peraga, penyebaran kampanye hitam, dan lain-lain.

Dari hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2018, menemukan tiga daerah yang tingkat penyebaran informasi bohong atau hoaxs sangat tinggi yaitu Aceh, Jawa Barat, dan Banten. Dari total 116,034,389 penduduk berdasarkan data BPS tahun 2010, LIPI mengambil sampel 1800 responden (200 orang di setiap provinsi) dengan kelompok usia mulai dari 17 hingga 64 tahun, dan menemukan kegawatan ternyata terjadi di ujung pulau Sumatera.

"Dari hasil riset Jaringan Survei Inisiatif pada 2018, ditemukan fakta bahwa 52% pemuda kesulitan dalam membedakan antara berita hoax dan bukan. Alasan mengapa kesulitan membedakan hoax 49% menjawab karena mendapatkan berita dari sumber yang tidak terpercaya dan 40% menganggap berita tersebut bermanfaat padahal berita palsu," pungkasnya dalam materi seminar tersebut.[]

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Unimal Bedah Titik Kritis Pemilu 2019

Terkini

Topik Populer

Iklan