T Lembong Misbah |
KALA itu musim penghujan tiba setelah kemarau penjang mendera wilayah sekitar Lembah Sabil.
Seekor ular besar yang biasanya merendam di uram-uram dasar lembah, naik ke darat untuk berjemur.
Si ular sama sekali tidak tahu bahwa tempatnya berjemur itu adalah jalan lintasan kawanan gajah si penguasa hutan di Lembah Sabil.
Pada sore, kawanan gajah pulang. Alangkah terkejutnya mereka mendapati seekor ular besar yang menghalangi perjalanan mereka.
Lantas pimpinan rombongan gajah berkata dengan lantang, “Hai ular, jika kamu tidak mau mati, minggirlah ini jalan kami!”
Mendenagar ucapan si gajah, si ular bergeming, dalam hatinya berkata,
“Memangnya kau siapa?”
Melihat si ular tidak menunjukkan tanda-tanda bergeser, sang gajah kemudian membentak lagi dengan lebih keras.
“Kamu belum tau siapa saya ya, aku ini si raja hutan, sekali kau ku pijak remuk sekujur tubuhmu,” kata si Gajah, sambil tertawa lebar yang menggetarkan seantero Lembah Sabil.
Mendengar bentakan itu, bukannya menambah nyali ular ciut malahan dalam batinnya berkata.
“Jika berani mendekatlah, niscaya kamu akan merasakan bagaimana sakitnya patukanku yang berbisa, serta lilitanku yang keras dan mematikan!”
Bentakan demi bentakan si Gajah yang diiringi emosi tinggi tetap saja si ular tidak merasa takut.
Akhirnya kesabaran si gajah tidak terkendali lagi kemudian dengan segera ia memijak ular tersebut dengan mengeluarkan seluruh energinya.
Keadaan tersebut tentu membuat ular kesakitan dan secepat kilat pula si ular mengeluarkan jurus pamungkasnya yaitu mematuk sembari mengeluarkan racun bisa yang dipunyainya, lalu melilit gajah dengan kerasnya, sehingga gajah yang kekar itu menjerit dan lari terhuyung-huyung.
Akibat racun bisa dan lilitan keras sang ular tubuh gajah melemas, akhirnya, booom! Jatuh di antara pipihan batu gunung yang besar menindih si ular yang terus mengeratkan lilitannya.
Tubuh Gajah menjadi kaku demikian pula ular yang ditindih gajah yang berbobot besar terjepit di antara pipihan batu gunung tidak bisa menarik diri dari tindihan gajah, akhirnya kedua binatang yang merasa diri hebat tersebut mati dalam angkara murkanya.
Tragedi di lembah Sabil itu adalah pertarungan ego. Gajah yang berbadan besar, berotot kekar, dan penguasa hutan merasa dirinya unggul dan siap menghancurkan siapa saja yang menantang dan menghalangi dirinya.
Sementara ular yang memiliki kekuatan tersembunyi “racun bisa” menjadi pemicu dirinya untuk tidak mau mengalah bahkan siap menantang siapa saja.
Ternyata kedua penyakit tersebut yaitu merasa diri unggul, mau menang sendiri dan sifat tidak mau mengalah karena perasaan diri lebih dari orang lain sama-sama membawa kematian pada pengidapnya.[]
[T Lembong Misbah, adalah Ketua Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) Fak. Dakwah Dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh]