Mohammad Haikal |
SUATU pertanyaan yang terbetik mengenai Bank Syariah adalah bagaimana cara Bank Syariah menghasilkan laba tanpa
menjalankan praktik penambahan nominal pembayaran yang dikenal dengan bunga
kepada nasabah yang meminjam uang sebagaimana apa yang dilakukan oleh bank
konvensional.
Bukankah praktik bank konvensional menunjukkan sebuah praktik yang
logis dimana pada saat mobilisasi dana dari masyarakat bank memberikan insentif bunga kepada para penabung
sebagai jasa menyimpan uangnya di bank
dan kemudian bank meminjamkan uang tersebut dengan mengambil bunga dari nasabah
pinjaman dengan jumlah bunga yang lebih besar.
Selisih bunga yang diperoleh dan dikurangi dengan biaya-biaya lain
seperti biaya karyawan, bangunan, tagihan listri dan air, menjadi keuntungan
buat bank. Begitulah, bank konvensional bekerja dan menghasilkan laba.
Bila Bank Syariah tidak
mengikuti praktik bank konvensional, bagaimana menjelaskan proses Bank Syariah
mendapatkan laba? Apakah mungkin tanpa menambahkan bunga pada pokok pinjaman
Bank Syariah bisa memperoleh keuntungan? Apakah ada acara lain untuk menghasilkan
laba tanpa melibatkan bunga? Dan sederetan pertanyaan serupa masih akan terus
bertambah.
Jawabannya, tanpa sistem bunga bank Syariah pun dapat beroperasi
dan menghasilkan laba. Bank
Syariah memiliki cara unik. Semangat yang
terkandung di dalamnya adalah semangat kewirausahaan (entrepreneurship).
Makanya ada yang mengatakan the spirit of Islamic Finance is
entrepreneurship. Mengapa?
Bank Syariah menjalankan bisnis, sesuai dengan kaidah kewirausahaan,
beroperasi laiknya jual beli (trading) atau penyertaan modal (equity
partnership). Jual beli dan penyertaan modal ini juga disebut dengan kontrak
(akad). Perdagangan adalah menjual sesuatu dengan menambah profit dari harga pokok pembelian, sedangkan
penyertaan modal adalah investasi.
Baik trading dan equity partnership memiliki aturan sendiri yang
menaungi para pihak. Pun,kedua hal tersebut dalam praktiknya tetap mengandung
resiko bagi pihak bank karenanya bisa
dikatakan profit yang diperoleh beriringan dengan risiko.
Sebagai contoh, bagaimana praktik
Bank Syariah berbeda dengan bank konvensional dapat kita lihat dalam ilustrasi
berikut.
Si Bob punya proyek membuat rumah. Dia masih butuh pendanaan
sebesar Rp 1 milyar karena uang kasnya tidak mencukupi. Bila Si Bob mendatangi
bank konvensional untuk mengajukan pembiayaan, maka di awal pemberian kredit,
bank langsung mengenakan charges atas uang yang dipinjam untuk jangka waktu
tertentu (misal 1 tahun). Katakanlah bank mengenakan 10 % untuk jangka waktu
satu tahun. Maka saat akhir jatuh tempo jumlah total yang harus dibayarkan oleh
Si Bob adalah sebesar Rp 1,1 Milyar.
Namun berbeda halnya bila si Bob mendatangi Islamic Bank. Si Bob
bisa mengajukan kerjasama dengan bank Syariah berasaskan jual beli atau
mengajak bank melakukan investasi.
Untuk akad jual beli, Si Bob meminta bank membeli barang keperlu
pembangunan rumah dan lalu bank menjualnya kepada si Bob. Katakanlah jumlah
pembelian barang Rp 1 M, bank menjual barang tesebut dengan menambah profit
sebesar 100 juta dalam jangka setahun.
Bila Si Bob bekerjasama dengan bank dalam bentuk penyertaan modal
maka bank akan mneginvestasikan uangnya, katakanlah sebesar 1 M dengan
perjanjian bila rumah tersebut sudah selesai dan dijual, keuntungannya dibagi
berdasarkan persentase tertentu (50:50 atau 60:40) sesuai kesepakatan.
Menariknya untuk akad penyertaan modal, nasabah tidak ada kewajiban
membayar bila proyek tersebut merugi. Berbeda halnya dengan akad jual beli,
nasabah tetap harus menyelesaikan kewajibannya.
Sekilas terlihat, akad jual beli dan transaksi bank konvensional
memungkinkan memiliki angka yang sama, sehingga sering disalahpahami menganggap
bank Syariah dan konvensional berlaku sama. Padahal, tidak demikian. Dalam transaksi jual beli, profit Bank Syariah diperoleh
atas barang yang dijual: Sedangkan dalam bank konvensional, atas
penambahan bunga terhadap pokok pinjaman.
Jadi, Bank Syariah mendapatkan laba dengan menjalankan bisnisnya
berdasarkan kontrak (akad) dengan nasabah dimana dalam kontrak tersebut
terdapat aturan masing-masing yang menaungi hak dan kewajiban nasabah dan bank. [Mohammad Haikal, Kadidat Magister di INCEIF, Kuala Lumpur, Malaysia]