FOTO: Kanal Aceh |
SEPEKAN
ini, di Aceh mulai ramai menjelang tengah malam. Selepas shalat isya, terdengar
pengumuman dari corong speaker masjid, mengajak anak-anak muda kampung dan
warga untuk hadir ke masjid berlatih dzikir maulid. Sesekali pengumuman itu
memakai bahasa Indonesia, seringnya memakai bahasa Aceh. Dalam benak saya,
pengumuman dalam bahasa Indonesia sepertinya agar lebih mudah dipahami mereka
yang kurang pandai berbahasa Aceh, apalagi di Aceh mulai banyak pendatang.
Sejenak
kemudian, masjid benar-benar sudah ramai. Melalui speaker masjid terdengar
dzikir maulid itu menggebu-gebu. Iramanya sesekali mendayu, sunyi senyap
bersama angin malam yang berembus. Sesekali, dzikir itu menghentak ketika
sampai pada bait-bait tertentu yang mengisahkan Nabi dan doa untuk sang
Penghulu Muhammad saw.
Bulan Rabiul Awal memang telah tiba. Di Aceh bulan ini akan menjadi sangat meriah, apalagi kalau bukan khanduri Maulid. Saya akan banyak mendapat undangan untuk hadir di khanduri itu, baik yang dilaksanakan secara pribadi di rumah-rumah, kantor maupun kelompok masyarakat. Saya juga sudah mahfum, sebentar lagi kepala lorong akan datang ke tiap-tiap rumah mengabarkan acara khanduri akbar di masjid dan dihadiri warga semukim. Lumrah adanya, setiap kepala keluarga biasa kena jatah membayar uang untuk membeli kerbau yang akan disembelih bersama.
Itulah khasnya pelaksanaan khanduri memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw yang dilakukan masyarakat Aceh. Peringatan yang orang Aceh menyebutnya Pang Ulee (penghulu alam) benar-benar sangat meriah. Di Nusantara peringatan ini memang menjadi bagian dari tradisi turun-temurun.
Di kampung
asal saya bermula, yaitu di Garut, Priangan biasa dimeriahkan dengan berbagai
lomba oleh anak-anak di pesantren dan masjid-masjid. Orang Sunda biasa
menyebutnya muludan atau maulidan. Di beberapa bagian daerah di wilayah Sunda
banyak di antaranya momen maulid digunakan untuk berziarah ke makan para sultan
dan para ulama besar. Makam Raden Papak di Di Cinunuk, Wanaraja dan tempat
ziarah di daerah Gogod yang diyakini sebagai makam Prabu Kian Santang selalu
penuh dengan peziarah menjelang bulan Maulid ini. Di Banten, orang-orang datang
ke makam Sultan Hasanuddin, ada yang berendam di kolam air berkah dekat masjid
atau membawa pulang air itu ke rumah untuk dijadikan berkah.
Di Cirebon, masyarakat Islam di sana berdatangan ke makam Sunan Gunung Jati, salah seorang Wali Sanga. Di Kraton Kasepuhan diselenggarakan upacara Panjang Jimat, yakni upacara memandikan pusaka-pusaka Kraton peninggalan Sunan Gunung Jati. Banyak orang berebut untuk memperoleh air bekas cucian tersebut karena dipercaya membawa keberuntungan. Di wilayah ini peringatan maulid lebih dikenal dengan sekaten. Kitab al-Barzanji akan dibacakan dalam momen peringatan itu, dalam langgam Sunda deresan (tadarus) kitab al-Barzanji akan dibacakan cukup syahdu. Jika memahami makna dari isi kitab itu, tak jarang mereka menangis, apalagi pada bagian-bagian sejarah Nabi. Barzanji merupakan karya seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad saw mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi Rasul. Mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad saw serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.
Di Aceh, khanduri maulid tidak hanya dilaksanakan bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad saw (tanggal 12 Rabiul Awal), tapi dilaksanakan hingga habis masa pada bulan tersebut. Adakalanya menjelang awal bulan setelah Rabiul Awal beberapa orang baru bisa memperingatinya. Masyarakat Aceh sebagai penganut agama Islam melaksanakan kenduri maulid setiap bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan Jumadil Awal.
Kenduri maulid yang dilaksanakan bulan Rabiul Awal disebut maulod awai (maulid awal). Sedangkan kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Akhir disebut maulod teungoh (maulid tengah). Selanjutnya, kenduri maulid pada bulan Jumadil Awal disebut maulod akhee (maulid akhir) dan dilaksanakan sepanjang bulan Jumadil Akhir. Pelaksanaan kenduri maulid berdasarkan rentang tiga bulan itu, tentu bertujuan agar warga masyarakat dapat melaksanakan kenduri secara keseluruhan dan merata. Maksudnya apabila pada bulan Rabiul Awal warga belum mampu melaksanakan kenduri, pada bulan Rabiul Akhir belum juga mampu, maka masih ada kesempatan pada bulan Jumadil awal.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw pertama kali diperkenalkan oleh seorang penguasa Dinasti Fatimiyah (909-117 M). Jauh sebelum al-Barzanji lahir dan menciptakan puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw. Langkah ini secara tidak langsung dimaksudkan sebagai penegasan kepada khalayak bahwa dinasti ini betul-betul keturunan Nabi Muhammad saw.
Ragam cara yang dilakukan untuk memperingati maulid Nabi Muhammad saw, seperti membawa kita untuk mendalami makna peringatan yang dilakukan orang Aceh. Muncul suatu renungan bahwa spirit maulid itu sudah sepantasnya dielaborasi dalam dunia kekinian. Artinya, spirit itu bisa menjadi media bagi gerakan kembali membangun semangat keagamaan di Aceh. Shalahuddin Al Ayubi (1138-1193) menggerakan peringatan maulid sebagai media membentuk citra dan semangat para tentara yang tengah bersiap menghadapi serangan tentara musuh di Eropa pada episode Perang Salib dan mengembalikan Palestina ke pangkuan muslimin.
Begitu juga spirit maulid di Aceh mesti menjadi media membangun kembali perabadan Aceh yang islami itu. Spirit maulid sudah saatnya digiring untuk sebuah tujuan mulia, tidak sekedar tradisi tahunan. Semangat ini sudah saatnya digiring untuk mengobati watak-watak orang di negeri ini yang mulai lupa daratan, lupa dari mana asalanya bermula. Mengobati orang-orang di negeri ini yang mulai berani memakan sesuatu yang bukan haknya.
Bukankah, setiap peringatan maulid figur Nabi Muhammad saw, sifat dan keteladanannya itu selalu diceramahkan? Maka orang Aceh dan kita yang mendiami jamrud khatulistiwa ini akan menjadi penerus teladan nabi yang sesungguhnya di negeri mayoritas muslim ini, bukan sebaliknya. Wallahu 'aklam.
[Arif Ramdan] Menulis buku; Aceh di Mata
Urang Sunda