Foto : Google |
ISLAM adalah
agama yang penuh dengan lemah lembut dan kasih sayang. Siapapun yang berada di
dalamnya akan mendapatkan ketenangan yang luar biasa yang tidak semua orang
bisa merasakan, kecuali orang-orang yang Allah ridhoi di dalam dunia ini. Salah
satu manusia yang telah memperoleh kasih sayang dan keridhoan itu ialah Bilal
Ibn Rabbah. Allah telah menakdirkan beliau untuk menjadi satu dari ribuan
hingga jutaan bahkan miliyaran manusia di dunia ini sebagai wujud keajaiban
iman dan kebenaran Islam yang agung.
Sesiapapun yang mendengar namanya
mereka akan menjawab Bilal Ibn Rabbah ialah muazin Rasulullah. Ia adalah
seorang budak yang disiksa oleh tuannya dengan batu panas agar mau meninggalkan
agamanya, Islam, tetapi ia tetap teguh terhadap hati serta lisannya sampai kata
“Ahad...Ahad...” itu tak terputus.
Keteguhan hati dan lisannya yang
luarbiasa cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya adalah bukti nyata dari wujud
iman dan Islam yang sempurna. Ketahuilah, sebelum ia masuk Islam, Bilal ini
tidak lebih hanya seorang budak atau hamba sahaya yang kesehariannya
mengembalakan unta milik tuannya di bawah pohon-pohon kurma, tidak ada satu
hari pun yang istimewa baginya dan tidak ada satu harapan yang ia cita-citakan
untuk hari esok. Sungguh jelas baginya andai bukan karena Islam, niscaya ia
tetap menjadi budak gelandangan di tengah persaingan hidup hingga maut datang
merenggutnya dan lambat laun orang-orang akan melupakan dirinya.
Namun, apa yang terjadi? Ternyata
keteguhan imannya dan keagungan agama yang ia imani telah memberikan sebuah
tempat yang tinggi di antara para pembesar dan tokoh Islam. Banyak orang-orang
terhormat dan berkedudukan yang
memiliki, baik pengaruh maupun kekayaan, tetapi tidak akan bisa mencapai
sepuluh persen saja dari keabadian dan keharuman nama yang diperoleh oleh
Bilal, si budak Habasyah ini.
Hitamnya warna kulit, rendahnya
kedudukan dan nasab, serta kehinaan dirinya sebagai hamba sahaya tak sedikit
pun menjadi penghalang baginya untuk menempati kedudukan tinggi yang pantas ia
raih karena kesungguhan, keyakinan, kesucian, dan kegigihannya setelah ia
memilih Islam sebagai agamanya. Semua itu sama sekali tak diperhitungkan dalam
timbangan penilaian dan penghormatan orang-orang kepadanya dikarenakan
penilaian manusia hanyalah tertuju pada kedudukan tinggi yang bukan pada
tempatnya.
Orang-orang mengira bahwa ia
hanya seorang budak biasa yang memiliki asal usul tidak jelas, tidak memiliki
keahlian dan tidak mempunyai keluarga, serta tidak memiliki sesuatu pun dalam
hidupnya. Bahkan seorang budak seperti dirinya hanyalah milik tuannya yang telah
membeli dirinya dengan uang dan hidupnya hanya di tengah hewan ternak,
mengurusi unta dan kuda tuannya. Mereka menganggap bahwa makhluk seperti ini
tidak mungkin bisa melakukan sesuatu atau menjadi sesuatu yang berarti bahkan
lebih.
Namun, ternyata Bilal membuktikan
kesalahan semua dugaan terhadap dirinya yang banyak orang perkirakan. Ia mampu
mencapai derajat keimanan yang sungguh sulit untuk dicapai oleh orang lain. Ia
menjadi muazin bagi Rasulullah dan Islam yang pertama.
Suatu amal yang begitu diharapkan
oleh setiap pembesar Quraisy yang telah masuk Islam dan menjadi pengikut
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Bilal dimerdekankan oleh seorang
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yaitu Abu Bakar As-Siddiq.
Bilal melanjutkan hidupnya bersama
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan turut menyaksikan seluruh peristiwa
bersama beliau. Ia tetap mengumandangkan azan, menghidupkan dan melindungi
syiar agama yang agung ini dan telah membawanya keluar dari kegelapan menuju
cahaya, dari perbudakan menjadi merdeka.
Islam pun berkibar dan
kedudukannya semakin tinggi. Begitu juga dengan kaum Muslimin, derajat dan
kedudukan mereka turut meningkat. Semakin lama Bilal semakin dekat di hati
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hingga beliau pernah menyebutnya
sebagai seorang laki-laki penduduk surga.
Namun, Bilal tetaplah Bilal. Ia
tetap seperti sebelumnya, seorang laki-laki mulia dan rendah hati yang selalu
memandang dirinya tidak lebih dari seorang Habasyah yang sebelumnya hanyalah
seorang budak.
Singkat cerita, Bilal telah
mempersembahkan sisa hidup dan umurnya untuk berjuang di jalan Islam. Ia
bertekad untuk menghadap Allah dan Rasul-Nya dalam keadaan dirinya sedang
melakukan amal yang paling dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Suaranya yang
merdu, lembut dan menyentuh itu tidak lagi mengumandangkan azan seperti biasa.
Hal itu karena setiap kali ia azan dan mengucapkan kalimat “Asyhadu anna
Muhammadarrasulullah” maka bangkitlah ingatannya kepada Rasulullah hingga
suaranya tenggelam dalam tekanan kesedihan yang membuat air matanya bercucuran
mengenang kisah perjalanan hidup bersama manusia mulia yang memiliki akhlak
yang luar biasa, beliau adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Junjungan
terbaik bagi seluruh alam, salam rindu dan cinta ku untuk mu Nabi tercinta.
Azan terakhir yang Bilal
kumandangkan adalah ketika Amirul Mukminin Umar berkunjung ke Syam. Ketika itu
kaum Muslimin meminta Umar agar membujuk Bilal untuk sekali saja
mengumandangkan azan bagi mereka. Amirul Mukminin pun memanggil Bilal ketika
waktu shalat telah tiba. Umar berharap kepada Bilal agar dirinya mau
mengumandangkan azan.
Bilal segera naik dan
mengumandangkan azan. Saat Bilal mengumandangkan azan, para sahabat yang pernah
melihat Rasulullah ketika Bilal menjadi muazinnya turut menangis, mencucurkan
air mata. Mereka menangis seolah tidak pernah menangis seperti itu sebelumnya
dan Umar adalah orang yang paling keras tangisannya di antara mereka.
Bilal wafat di Syam sebagai
seorang pejuang di jalan Allah, seperti yang ia inginkan. Kini di bawah bumi
Damaskus terpendam jasad salah seorang pribadi yang agung di antara manusia,
yang paling teguh dan tangguh dalam memperjuangkan aqidah dan keyakinan.
[Nurmalasari]