Foto Google
ADA kegiatan massal
serentak, aksi turun ke jalan, diikuti oleh puluhan juta orang, melebihi aksi
411 dan 212. Aksi akhir bulan Ramadhan menjelang Idul Fitri, tidak lain mudik
lebaran setahun sekali.
Puluhan juta jiwa yang memiliki kampung halaman, dianggap
‘wajib’ hukumnya pulang kampung pada momentan Lebaran Idul Fitri. Walaupun
tidak tahu ‘kampung’-nya ada di halaman berapa. Sementara sebagian kecil
lainnya lebih memilih pulang kota berlapang- adalah lapang daripada pulang
kampung berdesak-desakan.
Ada yang sudah memesan tiket tiga bulan sebelum Ramadhan tiba.
Ada yang sewa kendaraan jutaan rupiah. Ada pula yang nekad sekeluarga naik
motor menempuh jarak ratusan kilometer. Demi ‘pulkam’.
Angkot pun jadi, naik kendaraan terbuka oke, asal jangan
odong-odong saja. Itu semua karena dorongan kuat arus mudik yang tak
terelakkan.
Tak peduli ternyata berdampak pada berkurangnya tadarus Al-Quran
dan shalat tarawih di masjid. Hingga terbengkalainya shalat shubuh berjamaah di
Masjid.
Memang menurut ahli rukyat, tanda-tanda akhir Ramadhan sudah
terlihat, dengan tampaknya orang-orang di mall-mall, dan mulai berkurangnya
jamaah di masjid-masjid.
Astaghfirullaah.
Padahal ada momen terbaik pada akhir-akhir Ramadhan yakni
melaksanakan i’tikaf. Di mana kaum Muslimin berbondong-bondong memasuki
masjid-masjid Allah, menambah amal ibadah sampai menjelang Idul Fitri. Di
Kashmir saja, Muslim minoritas di sana, ribuan pemuda mengikuti I’tikaf di
masjid-masjid setempat.
Di beberapa masjid, memang masih ada yang tetap istiqamah dengan
adanya kaum Muslimin yang melaksanakan i’tikaf di dalamnya. Ini tetap patut
kita syukuri. Walau tidak sebanyak jamaah shalat fardhu.
Sungguh ironi bagi sebagian Muslim memang, Ramadhan dengan
berbagai kemuliaan dan keutamaannya, ternyata belum cukup memberikan daya
dorong umat untuk meraihnya. Terutama di penghujung akhir Ramadhan ini.
Dalam sebuah puisi, yang kemudian Penulis edit dan gubah lagi
dalam judul “Saudaraku, sebentar lagi aku akan pergi” disebutkan:
Sudah hampir setengah bulan aku bertamu,
Namun seringkali aku ditinggal sendirian.
Walau aku sering dikatakan istimewa,
Namun perlakuanmu tak luar biasa terhadapku.
Oleh-olehku nyaris tak kau sentuh…
Al-Quran hanya dibaca sekilas,
kalah dengan update status di media sosial.
Shalatmu pun sudah mulai tak khusyu,
kalah bersaing dengan ingatan akan lebaran, baju baru, dan
mudik,…..
Kamu juga tak terlalu banyak minta ampunan kepada Allah,
karena sibuk menumpuk harta demi THR dan shopping.
Malam dan siangmu pun tak banyak dipakai berbuat kebajikan,
kalah dengan bisnis yang sedang panen saat Ramadhan.
Tak pula banyak kau bershadaqah,
karena khawatir tak cukup buat mudik dan liburan.
Saudaraku, aku seperti tamu yang tak diharapkan.
Hingga, sepertinya kau tak kan menyesal kutinggalkan.
Padahal aku datang dengan kemuliaan,
seharusnya tak pulang dengan kesia-siaan.
Aku sebentar lagi pergi dan belum tentu kan kembali datang
padamu.
Sehingga seharusnya kau menyesal telah menelantarkanku.
Semoga kau sadar sebelum aku benar-benar pergi…
Karena umurmu hanyalah cerita singkat yang akan
dipertanggungjawabkan dengan panjang.
Ramadhanmu.
Mari tetap aktif, optimis dan istiqamah meraih keutamaan
Ramadhan secara maksimal dan paripurna, pada detik-detik Lailatul Qadar turun
membawa berkah, di ujung final Ramadhan.
Mari kita menjadi juara di bulan Ramadhan, dan meraih tropi
‘Taqwallah’. Aamiin. [Ali Farkhan Tsani/Mirajnews.com]
Baca Juga: