RASANYA bila ada orang yang tidak ingin bahagia. Sebab dengan merasa
bahagia hidup terasa penuh makna. Semangat tetap terpacu dan kinerja semakin
terarah serta fokus.
Begitulah pentingnya kebahagiaan sehingga banyak orang
menghalalkan berbagai cara untuk merasa dan mendapatkannya. Meski sebenarnya
cara-cara untuk mendapatkan kebahagiaan hakiki itu hanya bisa ditempuh dengan
cara-cara yang telah dianjurkan oleh Allah dan RasulNya.
Dalam Al Quran surat Al ‘Ashr di atas, jelas-jelas Allah Subhanahu Wa
Ta’ala bersumpah bahwa seluruh manusia di dunia ini benar-benar berada dalam
kerugian siapa pun dia, mau orang kaya maupun orang miskin, pandai maupun
jahil, mulia ataukah rendah, laki-laki maupun perempuan, bangsawan ataukah
bukan.
Semuanya merugi dunia dan akhirat kecuali orang yang mengisi waktunya
dengan empat perkara yang disebutkan dalam ayat tersebut, yang dengannya akan
memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Berikut adalah empat (4) syarat
agar seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan bukan hanya di dunia fana ini, tapi
juga di akhirat kelak.
Pertama, Beriman | Iman mencakup setiap
perkara yang mendekatkan seseorang kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Iman yang
tidak bercampur dengan keraguan. Iman yang hanif lagi terjaga dari segala
bentuk kemusyrikan.
Iman yang tidak ada keraguan dengan perkara yang dijelaskan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika ditanya malaikat Jibril tentang
iman, yaitu mengimani tentang Allah, malaikat–malaikatNya, kitab-kitabNya,
rasul–rasulNya, hari akhir dan beriman kepada taqdir yang baik dan buruk.
Meski iman menjadi salah satu syarat untuk mencapai dan merasakan
kebahagiaan, namaun pada kenyataannya, iman manusia terbagi menjadi tiga; pertama,
orang yang beriman yang murni imannya, tak tercampur dengan racun kemusyrikan
sedikitpun. Kedua, orang yang kufur mengingkari dan menentang
adanya kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ketiga, orang yang ragu antara apakah beriman atau tidak. Dari ketika jenis iman
manusia itu, maka yang selamat adalah golongan yang pertama, orang yang beriman
dan senantiasa berupaya terus memurnikan imannya. Anjuran beriman berarti
didalamnya terkandung perintah untuk menuntut ilmu. Karena tidak akan terwujud
keimanan yang benar kecuali memiliki ilmu terhadap perkara yang harus
diimaninya. Ilmu sebelum iman, menjadi hal utama yang mesti dimiliki seorang.
Bagaimana mungkin seorang hamba bisa mengenal siapa Tuhannya bila ia
sendiri tak punya ilmu untuk mengenal Tuhannya. Bohong bila ada orang yang
mengatakan telah beriman, tapi ilmu tentang keimanannya sendiri ia tak faham.
Syaikh Abdurrahman As Sa`di rahimahullahu berkata, “Tidaklah terwujud iman
tanpa ilmu, maka ilmu adalah cabang dari iman, tidaklah sempurna iman tanpa
ilmu.” (Tafsir As Sa`di).
Kedua, Beramal Shaleh
| Amalan shaleh adalah setiap amalan yang terkumpul padanya dua perkara
yaitu: ikhlas karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan mencontoh tuntunan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sebagaimana perkataan Fudhail bin
`Iyyad rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapa
yang paling baik amalannya.” (Qs. Al Mulk : 2).
Ia juga mengatakan, “Yang paling ikhlas dan paling benar, sesungguhnya
amalan bila ikhlas akan tetapi tidak benar tidak diterima dan bila benar akan
tetapi tidak ikhlas tidak diterima pula sampai amalan tersebut ikhlas dan
benar. Amalan disebut ikhlas bila karena Allah dan benar bila mencotoh sunnah
(tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam).”
Tidak setiap orang yang beramal baik, akan mendapatkan balasan dari Allah
Ta’ala sampai amalan itu dikerjakan dengan penuh keikhlasan dan sesuai sunnah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah, “Apakah akan Kami
beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Qs. Al
Kahfi : 103-104).
Al Hafidz Ibnu Katsir menjelaskan maksud ayat di atas, katanya, “Ayat ini
umum mencakup setiap yang beribadah kepada Allah tidak di atas jalan yang
diridhai dalam keadaan ia menyangka benar dan diterima amalannya. Padahal ia
salah dan tertolak amalannya, seperti firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Banyak wajah pada hari itu tunduk terhina bekerja keras lagi kepayahan,
memasuki api yang sangat panas.” (Qs. Al Ghasyiyah: 2-4).
Ibnu `Abbas radhiallahu‘anhu menafsirkan ayat di atas, katanya, “Bahwa
wajah–wajah tertunduk dan tidak bermanfaat amalannya.”
Bila keadaan orang yang beramal tidak sesuai dengan syariat saja dimasukkan
ke dalam neraka, lalu bagaimana keadaan orang yang tidak beramal sama sekali?
Hidup seperti binatang yang pikirannya hanya diisi untuk makan, minum, dan
memuaskan hawa nafsunya belaka. Shalat tak mau, zakat enggan dan tak menjaga
diri dari yang haram serta bermaksiat. Semoga Allah Ta’ala senantiasa
memudahkan setiap hambaNya untuk istiqomah mengamalkan syariatNya, aamiin.
Ketiga, Memberi
Nasihat kepada Kebenaran | Seorang hamba, tidak cukup hidup hanya dengan berilmu
dan beramal shaleh serta memperbaiki dirinya sendiri saja. Tetapi, seharusnya
ia juga berupaya untuk memperbaiki orang lain, agar dirinya menjadi mukmin
sejati.
Menshalehkan diri itu wajib. Tapi, menshaleh-kan diri orang lain juga
menjadi hal yang tak kalah pentingnya. Apa artinya jika ada seorang shaleh yang
berada di sebuah lingkungan tidak shaleh namun ia tak mampu atau tak peduli
untuk menshalehkan orang lain yang ada di depan matanya?
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tidaklah beriman salah
seorang kalian sampai ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya
sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mencintai saudara, atau manusia lain dan berusaha menyeru mereka kepada
kebaikan adalah bentuk kesempurnaan iman. Karena dia berusaha mengajak orang
lain agar selamat dari azab Allah Ta’ala.
Dia sadar betul betapa ia tak ingin
masuk surga sendiri sementara orang-orang yang ada disekitarnya masuk ke dalam
neraka.
Saking pentingnya memberi nasihat dan menyeru manusia kepada kebenaran ini,
sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaih Wasallam bersabda, “Sesungguhnya
jika manusia melihat kemungkaran dan ia tidak merubahnya hampir-hampir Allah
meratakan azab dari sisinya kepada mereka.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi
disahihkan Al Albani rahimahullahu).
Sekali lagi, jangan merasa menjadi orang baik dulu bila kita belum mampu
mengajak orang lain disekitar kita untuk menjadi baik seperti halnya diri kita.
Menjalankan ketaatan adalah sebuah kewajiban. Tapi menyeru dan mengarahkan
orang lain untuk menjalankan ketaatan yang sama seperti yang kita lakukan juga
tak kalah penting.
Bila kita merasa bahagia karena bisa mentaati Allah Ta’ala dengan
menjalankan perintahNya, meninggalkan laranganNya serta menghidupkan sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka sebaliknya pandanglah orang-orang
disekitar kita, jangan-jangan mereka masih asyik dengan aneka macam kemaksiatan
yang dilakukan.
Menangislah, sebab jangan-jangan karena keti-dakpeduliaan kita pada mereka
justeru bisa membawa kita ke neraka kelak.
Karena kita tak pernah berusaha
mengajak dan menyampaikan kepada mereka mana yang hak (benar) dan mana yang
bathil (buruk) dalam menjalani kehidupan dunia ini. Menangislah dan jangan
merasa puas, sebab Allah Ta’ala kelak akan menuntut kita ketika karena tak mau
perduli dengan orang-orang disekitar yang gemar melakukan dosa.
Keempat, Bersabar | Sabar yaitu menahan
diri diatas ketaatan kepada Allah, menahan diri untuk tidak bermaksiat
kepadaNya, serta sabar terhadap ketetapan Allah berupa cobaan dan ujian dalam
kehidupan dunia fana ini.
Inilah tiga macam bentuk kesabaran yang dituntut ada
pada diri seseorang.
Sabar begitu penting. Orang yang menuntut ilmu, beramal shaleh, berkarya
membutuhkan keistiqomahan. Dalam bab selanjutnya akan dibahas secara khusus
tentang kekuatan istiqomah (power of Istiqomah).
Begitu juga seorang dai butuh untuk bersabar dalam menghadapi ujian dan
cobaan dari Allah Ta’ala. Ujian dan cobaan merupakan perkara yang pasti akan
dialami setiap orang dengan kadar yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat iman
yang ada padanya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman yang artinya, “Tidaklah suatu
bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian melainkan
telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfuzh) sebelum kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Qs. Al Hadiid : 22).
Sabar itu pahit dan berat. Namun, sabar akan menjadi senjata ampuh untuk
bangkit bila kita sendiri tahu bagaimana cara menggunakan kesabaran itu. Sabar
itu ada mestinya diletakkan pada tiga tempat; sabar dalam menjalankan ketaatan,
sabar dalam menerima ujian dan sabar dalam meninggalkan hal-hal yang dilarang
oleh Allah Ta’ala.
Ketika sabar bisa diletakkan pada tiga tempat tadi, insya Allah apa pun
yang kita jalani dalam kehidupan ini akan terasa nikmat. Nikmat karena tak ada
beban berat yang dirasa. Nikmat karena proses menuju kesuksesan itu bisa dinikmati
dengan suka cita.
Tak ada kekuatan yang mampu mengalahkan kesabaran. Sabar laksana pedang
tajam mengkilap yang mampu mengalahkan segala penderitaan. Sabar adalah obat
mujarab bagi siapa saja yang sedang menderita kepahitan hidup. Sabar adalah
ujung tombak dalam mewujudkan mimpi meraih kesuksesan.
Sabar akan bermakna bila kesabaran itu tidak sekedar diucapkan oleh lisan
tapi juga dilaksanakan oleh segenap jiwa raga. Bersabarlah dalam meraih
kesuksesan. Sebab dengan bersabar segala wujud kesuksesan akan mudah
diraih.
Semoga kita dapat meraih tangga-tangga kebahagiaan itu. Amin. (Bahron Ansori | Mirajnews.com]