Iklan

Iklan

Catatan Traveling Para Wanita Beransel di Pulau Aceh

5/14/17, 07:36 WIB Last Updated 2020-06-27T10:55:58Z

Foto: Nurmalasari
SIANG Itu Jumat, 05 Mei 2017. Tepat di mana kami fasil serta relawan pustaka ransel akan berkunjung ke Pulau Aceh. Menjalankan misi besar untuk bangsa ini. Impian terbesar yang mungkin tidak bisa aku lukiskan dengan ribuan kata terbaik. Bersyukur, di tahun ini Allah berikan izin untuk bisa berbagi ilmu sekaligus melanjutkan mimpi terbesar yang menjadi aset serta target untuk di capai.

Rintik hujan tak terhenti oleh waktu. Ia datang bagaikan tamu tak di undang. Di persimpang jalan, kereta terus melaju, jam terus berputar. Hampir saja aku terlambat dan ketinggalan bot. Saat itu, merasa bahagia tiada tara. Tiga orang teman yang mengantar hingga ke dermaga kuliner Ulee Lhee melambaikan tangan perjuangan, tanda pelepasan atas kepergianku. Lagi, lagi aku bergumam di dalam hati, “Oh...Allah,,,thanks for all, I feel happy.”

Pelepasan tujuh wanita Aceh yang akan mengarungi lautan yang luas ini sungguh mengagumkan. Kami pergi dengan kerelaan hati yang tulus dan ikhlas, hanya untuk berbagi bersama anak-anak Aceh di seberang pulau sana. Pergi dengan harapan membawa hasil yang terbaik. Tak peduli, apakah akan diterima oleh warga atau tidak. Satu hal yang mungkin menjadi tantangan berat. Hidup di tanah orang.

Di pertengahan laut , perlahan dataran Banda Aceh mulai tak terlihat. Hilang lenyap ditelan kejauhan. Aku yang saat itu duduk di samping kak Ima, berkata “sebenarnya Ayi sedih kak, dan bahagia juga.” “kok gitu?” jawab kak ima. “ Ya, soalnya inda ndak bisa ikut, karena ketinggalan bot. Di satu sisi bahagia, karena akan bertemu anak-anak pulau, dan berbagi ilmu bersama mereka.” “Ya sudah. Habis mau gimana, uda terlanjur telat inda nya.” (Kak Ima mencoba menghilangkan rasa sedih di dalam diri ini). Rayyan terus menatap ku.

Kemudian kesedihan itu perlahan pergi, saat melihat luasnya lautan biru, lautan yang tak pernah aku lihat sebelunya. Pulau-pulau kecil tak berpenghuni menancap dahsyat tak pernah runtuh. Pepohonan yang rindang dan sedap dipandang. Pasir putih mulai terlihat, deburan ombak lautan menepis lengah yang saat itu sengaja ku hulurkan di bawah bot berlayar.




Tepat pukul 15.45 kami tiba di dermaga Duedap. Semua orang berbondong-bondong untuk keluar dari dalam bot. Dan aku masih saja melihat pemandangan yang sungguh menakjubkan. “Ini separuh syurga yang dirindukan, air laut yang berwana hijau toska, pasir putih yang menjalar hingga ke ujung pulau itu. Oh Allah...this is a reality..amaizing,” bisik ku pada hati.

Tiba-tiba tersentak oleh sahutan panjang dari arah kanan “kak Ayi, ayo turun.” Setelah turun dari bot, kami menunggu jemputan yang akan membawa kami menuju desa kandang. Desa tempat di mana kami akan berjuang untuk melanjutkan misi yang telah terancang jauh-jauh hari. Sembari menunggu jemputan, kami melaksanakan shalat ashar di desa deudap. Masjid yang indah, terletak cukup strategis dari rumah warga. Tanaman indah dan subur yang masih alami tanpa terkontaminasi oleh apapun itu berhasil mencuri hati. Terbayang kampung halaman yang jauh dari pandangan.

Waktu terus berputar, setelah shalat ashar, kami kembali menunggu jemputan. Masih belum terlihat juga jemputan itu. Dan tak lama kemudian, sebuah mobil pick up melaju ke sebuah dermaga tempat kami menanti. Dan akhirnya jemputan tiba. Di sepanjang perjalan wajah-wajah wanita Aceh ini terlihat bahagia, senyuman lebar itu menandakan akan keikhlasan mereka. Sayup-sayup angin menemani sore itu. Kami tiba di desa Kandang hampir magrib. Dan setelah bertemu dengan geuchik desa Kandang dan wakil kepala sekolah SDN Kandang, kami beristirahat, melepas lelah dan kepenatan diri.

Selesai magrib menjelang isya, kami duduk bersama orang penting Desa Kandang, seperti Geuchik dan petuah-peutuah gampong Kandang dan ditemani oleh ibu Guchik dan dua orang anaknya. Saat itu, kami menginap di rumah Pak geuchik. Setelah rapat pertemuan itu, kami di sambut dengan sambutan yang baik. Langkah awal dari niat yang tulus.

Malam, lepas pertemuan dengan warga gampong. Kami brefing, membahas program apa saja yang akan dilaksanakan. Mata-mata ngantuk itu mulai menguasai jiwa-jiwa wanita Aceh. Sebagian sudah terlelap oleh malam dan hanya kami berlima yang masih terjaga, Ayi, kak Ima, Dinda, kak ani, dan Rayyan.

Subuh pun tiba, malam pertama di Desa Kandang sudah terlewatkan. Terdengar jelas hantaman ombak di tepi lautan yang berposisi di belakang tempat kami tidur. Suara jangkrik mulai lenyap seketika. Matahari perlahan mulai terlihat, aroma pagi yang semerbak menyelinap di sela hidung ku. Lagi dan lagi, sungguh pagi yang indah. Sudah lama aku merindukan suasana indah seperti ini.


Bersiap-siap untuk menuju SDN Kandang, nyanyian lagu “Tanah  Air ku Tak akan Ku Lupakan” nyanyian menemani pagi dengan kicauan burung yang ikut bersenandung. Embun pagi sedikit menggelitik diri ini. Sejuk dan nyaman. Sabtu pagi, kami berkunjung ke SDN Kandang. Terlihat bocah-bocah hebat generasi penerus bangsa yang berkualitas itu tersenyum saat kedatangan kami ke sana. Tugas ku yang saat itu mengambil vidoe tak ingin terlewatkan. Semua momen terbaik ku dokumentasikan lewat hp. Pukul 08.45 semua murid dan para guru telah tiba. Acara segera di mulai. Pembukaan itu di awali dengan perkenalan diri dari satu persatu siswa/i SDN Kandang. Ada yang malu-malu dan ada juga yang berani. Lepas perkenalan diri, dilanjutkan dengan posisi bari berbaris yang di komandai langsung oleh seorang tentara yang bertugas di Desa Kandang. Selanjutkan senam pun di mulai, mereka terlihat menikmati senam unik itu, salah satunya senam pinguin.





Akhirnya  acara yang ditunggu-tunggu tiba, acara membaca. Di bagi 2 grup saat itu. 1 grup untuk anak yang belum bisa membaca dan 1 grup untuk anak yang sudah bisa membaca. Nah, bagi mereka yang belum bisa membaca akan di dongengkan oleh relawan pustaka ransel, dan bagi mereka yang sudah bisa membaca akan diberi waktu untuk menuntaskan satu buku bacaan dan menark pesan dari apa yang dibaca. Acara ini pun berakhir. Dan lanjut ke acara selanjutnya, yaitu menyanyikan lagu kebangsaaan Indonesia Raya dan Tanah Air Ku tak akan ku lupakan serta Indonesia Tanah Air Beta.

Memasuki ruangan kelas, mata ku tertuju kepada lukisan hebat yang berjejeran di dinding kelas. Sebuah karya anak bangsa yang luar biasa. Potensi mereka tersembunyi lewat lukisan-lukisan yang sederhana namun mengandung makna yang dalam. Hal ini membawa ku kedua belas tahun yang silam, saat aku masih berada di bangku SD, seperti mereka. Semangat mereka terbayarkan oleh letihnya perjalanan kami. Malaikat-malaikat kecil itu sungguh luar biasa. Dan paling hebat lagi, mereka mampu menyanyikan 2 lagu perjuanagan bangsa indonesia dalam waktu 15 menit. Yang pada awalnya mereka tak pernah mendengar sekali pun. Lagi, lagi dan lagi potensi diri yang masih tersembunyi di balik pulau kecil ini. Banyak cerita yang tersembunyi di SD ini.

Tepat pukul 10.00 acara pagi pun berakhir, kami kembali dan mereka melanjutkan aktivitas seperti biasa di sekolah. Tak lupa kami mengabadikan momen terbaik itu dalam bidikan lensa sang penjelajah.




Selesai menyantap makanan siang dan shalat dzuhur, kami berkeliling pulau nasi. Di jemput dengan mobil pick up jauh lebih mewah dari hari pertama. Senandung nyanyian siang itu mengalahkan panasnya terik matahari yang menjulang tinggi. Lepas keliling pulau, istirahat di salah satu warung yang adem banget, di bawah pohon besar kami mulai bercerita. Sebuah tanah yang berhasil kami jelajah ini.

Tepat pukul 16.30 kami sudah tiba di tempat penginapan. Tanpa banyak kata kami melaksanakan shalat ashar dan bergegas untuk kembali lagi ke SDN Kandang. Sore hari acara dibuka oleh penampilan tarian likok pulau oleh siswa SDN Kandang. Semilir angin mulai terasa, di tambah dengan bunyi alunan musik tradisional yang memikat hati dan pikiran. Seorang teman mulai mengangkat suara “Luar biasa mereka.” Aku hanya terdiam tanpa kata yang terlontarkan. Di lanjutkan dengan tarian ranup rampuan, dinding marinding, dan di akhir dengan pembacaan puisi yang luar biasa.

Hingga tibalah pada acara puncak, yaitu nonton bareng bersama warga dan adik-adik SDN Kandang di sekolah. Nonton bareng diadakan ba’dah isya, saat mereka sudah pulang ngaji. Wow...mereka sudah lebih awal berkumpul dari pada kami. Terlihat wajah-wajah yang antusias untuk menyaksikan film rahasia yang kami berikan untuk mereka. “Lima Elang.” 

Jarum jam menunjukkan pukul 23.00 mereka terlihat sangat mengahayati filmnya, belum ada tanda-tanda yang menunjukkan mereka terlihat jenuh dan merasa bosan. Selain nonton bareng, mereka juga mengulang kembali tarian likok pulau di hadapan para warga. Semua mata tersorot ke arah bocah-bocah kecil itu, anak-anak bangsa yang memiliki kualitas yang luar biasa. Nyanyian “Tanah Air ku tak kan kulupakan dan Indonesia tanah air beta, “siap untuk mereka nyanyikan. Suara dahsyat penuh kekompakkan itu memecahkan kesunyian malam. Melawan cerahnya cahaya rembulan di langit desa Kandang.

Acara usai, dan mereka kembali pulang ke rumah masing-masing. Suatu anugrah terbaik bisa bertemu mereka, melihat potensi-potensi anak pulau yang tak tampak. Kini aku melihat langsung, bagaimana perkembangan mereka. Sebuah pesan yang selalu kami tanamkan di dalam diri mereka ialah “Dek, jika suatu saat nanti kamu menjadi orang sukses, kembalilah ke kampung halaman mu. Bangun desa ini, jangan tinggalkan ia. Desa ini butuh kalian. Jangan lupakan tanah air ini, tempat dimana kalian lahir, dibesarkan, bermain dengan teman-teman.”

Wajah-wajah polos itu menunduk dengan penuh penghayatan. Dan salam rinduku untuk kalian, wahai malaikat-malaikat kecil yang mampu menghilangkan keletihan dan kelelahan diri ini. Suatu saat kakak dan para relawan yang lainnya akan kembali mengunjungi kalian, Insya Allah.

Pagi minggu, kami bersiap-siap untuk kembali ke Banda Aceh. Masih teringang-ingang di telinga ku, suara keras dari seorang lelaki yang sore itu ikut pulang bersama kami. 

Ia berkata “Kakak masih lama di sini?” “nggak dek, besok kakak dan teman-teman akan kembali ke Banda Aceh,” jawab ku. “Cepat kali kak.” Jawab Reza kepada ku. “Iya, soalnya tujuan kami sudah selesai, kami harus kembali ke tanah perantauan, tempat kami menimba ilmu. Tapi, kalian harus tetap rajin belajar, jangan lupa kembali ke sini saat sukses nanti ya.”

Ada rindu dan kebahagian yang tidak bisa ku lukiskan dengan kata-kata. Desa Kandang telah membuka mata ku, bahwa ada manusia-manusia hebat di seberang pulau sana. Alamnya yang masih indah. Aku bersyukur kepada Allah, telah mengizinkan ku pergi jauh dan kembali dengan selamat.[Nurmala Sari]/Rzk

***
Paytren memudahkan transaksi Anda, Yuk Bergabung Di Sini



Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Catatan Traveling Para Wanita Beransel di Pulau Aceh

Terkini

Topik Populer

Iklan