SATU ibadah wajib dalam bulan Ramadhan adalah membayar zakat fitrah, yang ditunaikan pada akhir Ramadhan sebelum Hari Raya.
Tulisan ini ingin menjelaskan pemahaman ulama mengenai apa yang harus digunakan untuk membayar zakat fitrah. Untuk itu ada beberapa hadis yang terjemahannya penulis kutip sebagai berikut.
(a) Hadis riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Turmudzi, Ibnu Majah dan al-Nasa’i dari Abu Sa‘id al-Khudhri, dia berkata: Kami (para sahabat) pada masa Rasulullah, mengeluarkan zakat fitrah untuk orang yang sudah dewasa dan anak-anak, sebanyak satu sha‘ makanan (yaitu) satu sha‘ aqith (susu kering), satu sha‘ munsya‘ir (sejenis gandum), atau satu sha‘ tamar (kurma kering). Kami selalu membayar seperti itu sampai Mu‘awiyah (ketika menjadi khalifah) datang ke Madinah dalam rangka berhaji (umrah). Pada waktu itu beliau berkhutbah, “Menurut pendapatku dua mud samra’ (setengah sha‘ gandum Syam) sama dengan satu sha‘ tamar.” Lalu orang-orang beramal mengikutinya; sedang aku tetap beramal seperti masa Nabi, selama aku hidup.
(b) Hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan al-Nasa’i secara mursal dari al-Hasan, dia berkata: Rasulullah mewajibkan zakat fitrah satu sha‘ tamar, satu sha‘ sya‘ir (sejenis gandum) atau setengah sha‘ qamh (sejenis gandum; kelihatannya qamh, hanthah dan samra’ al-Syam adalah jenis gandum unggul yang harganya lebih mahal dari tamar).
(c) Sebuah hadis lain, Rasulullah menyuruh (para Sahabat) mengeluarkan zakat fitrah untuk dibagi-bagikan pada hari raya Idul Fithri. Beliau bersabda: kayakanlah (cukupkanlah keperluan) mereka, sehingga tidak pergi berkeliling meminta-minta pada hari ini (tidak harus bekerja mencari nafkah pada hari raya).
Mengenai jumlah yang harus dibayar, ada perbedaan antara satu sha‘ dan setengah sha‘. Jumhur ulama cenderung sepakat, zakat fitrah musti dibayar sebanyak satu sha‘ bahan makanan baik yang disebutkan di dalam hadis atau yang tidak disebutkan di dalam hadis (bahan makanan di suatu daerah).
Namun menurut Abu Hanifah, sekiranya dibayar dengan tamar, sya’ir, aqith dan zabib, yaitu makanan utama yang ada di Arab pada masa Rasulullah harus dibayar satu sha‘. Sedangkan kalau dibayar dengan makanan yang diimpor ke Madinah, yang kualitasnya lebih baik (qamh, hanthah dan samra’ al-Syam), cukup setengah sha‘ saja. Namun perlu dijelaskan, satu sha‘ menurut Abu Hanifah sama dengan 1,5 sha‘ menurut jumhur.
Satu sha‘ gandum menurut jumhur sama dengan 2,2 kg, sementara menurut Abu Hanifah sama dengan 3,3 kg. Satu sha‘ beras menurut ukuran jumhur ulama lebih kurang sama dengan 3,1 liter (2,5 kg), sementara menurut Abu Hanifah lebih kurang 4,7 liter.
Perbedaan pendapat
Mengenai penunaiannya dengan uang bukan dengan bahan makanan, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama cenderung mewajibkannya dengan makanan pokok di daerah tersebut, baik yang tercantum di dalam hadis ataupun tidak.
Namun sekelompok ulama, di antaranya Abu Hanifah dan al-Tsawri, dan al-Hasan al-Bashri membolehkan pembayarannya dengan uang, seharga (qimah) makanan pokok. Umar bin Abdul Aziz ketika mejadi khalifah (khalifah Bani Umayyah yang dianggap paling taat dan alim) membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang.
Beliau mengirim surat ke seluruh wilayah negara, menyebutkan jumlah setengah dirham sekiranya zakat fitrah dibayar dengan uang.
Yusuf al-Qardhawi setelah mendiskusikan masalah ini, menarik beberapa kesimpulan yang sebagiannya penulis kutip sbb: a) Masalah ini merupakan masalah ijtihadiah, karena sebagian sahabat, memberi izin membayar zakat fitrah dengan jenis makanan yang lebih sedikit takarannya dari yang ditentukan dalam hadis (cukup setengah sha‘ saja, kalau kualitasnya lebih bagus dari jenis makanan yang disebutkan di dalam hadis. b) Dalam sebuah hadis ada pernyataan, “Kayakanlah mereka...” Dari hadis ini dipahami bahwa mengayakan seorang miskin, dapat dilakukan dengan memberikan uang sebagaimana dengan makanan. Bahkan memberikan uang kepada mereka sebagai ganti makanan akan lebih lapang, karena kalau diberi makanan dalam jumlah banyak, maka sebagiannya akan mereka jual.
Sedang kalau diberi uang mereka dapat menggunakannya secara langsung. c) Membayar zakat fitrah dengan uang akan lebih maslahat untuk kaum muslimin masa sekarang, terutama di daerah industri (perkotaan), karena gaji mereka dibayar dengan uang dan juga lebih maslahat untuk orang miskin yang akan menerima zakat fitrah. Di perkotaan ada orang miskin yang setiap hari membeli makanan siap saji (sudah dimasak), karena mereka tidak mempunyai rumah (dapur) untuk memasak dan bahkan lebih murah.
Dari uraian di atas ada beberapa hal yang dapat digaris bawahi:
1) Bedasarkan hadis-hadis yang ada dan praktek yang terjadi pada masa Sahabat, dapat disimpulkan bahwa zakat fitrah bukanlah masalah yang murni ta‘abbudiah. Zakat fitrah mengandung unsur ta‘aqquliah, sehingga bisa dicarikan ‘illat-nya. Para sahabat melakukan ijtihad. Mayoritas mereka menetapkan makanan sebagai ‘illat pembayaran zakat fitrah, namun sebagian kecil menetapkan harga makanan sebagai ‘illat-nya (memberi izin membayar dengan setengah jumlah makanan yang ada dalam hadis, bahkan langsung dengan uang atau harganya).
2) Pada masa sekarang, ketika memperbincangkan pembayaran zakat fitrah dengan makanan atau uang, maka yang kita perbincangkan sebetulnya hanyalah menukar ‘illat, mencari yang lebih mengandung maslahat.
Lebih maslahatMembayar zakat fitrah dengan uang senilai harga bahan makanan dianggap lebih maslahat dan lebih lapang untuk umat. Lapang untuk orang yang akan membayar, lapang untuk panitia (amil) yang akan mengelolanya dan lapang juga untuk fakir miskin yang akan menerimanya. Kuat dugaan orang miskin lebih untung kalau diberi uang dibandingkan dengan diberi beras.
Kalau dia menerima beras lalu dijual, maka harga beras tersebut cenderung rendah, karena beras berkualitas baik sudah bercampur dengan beras berkualitas rendah. Sedang kalau dibayar dengan uang, maka mustahik akan menerima uang yang lebih besar untuk beras berkualitas bagus.
Sampai di sini barangkali dapat ditarik kesimpulan, pendapat ulama yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan jenis makanan yang tidak disebutkan di dalam hadis adalah hasil ijtihad atas nash (dengan metode lughawiah dan ta‘liliah), bukan nash itu sendiri. Begitu juga kebolehan membayar zakat fitrah dengan uang pun adalah hasil ijtihad yang sah dan memenuhi syarat (menggunakan metode ta‘liliah, tetapi pilihan ‘illat yang berbeda).
Dengan mempertimbangkan keadaan umat masa sekarang yang cenderung menyimpan uang, maka mengubah ‘illat zakat fitrah dari hanya makanan menjadi makanan atau harga makanan, menurut penulis akan lebih memberi maslahat kepada masyarakat luas.
Memberi pilihan kepada umat untuk boleh membayar zakat fitrah dengan makanan atau uang seharga makanan, akan lebih lapang dan lebih memudahkan dari membatasi pembayarannya hanya dengan makanan pokok (beras) saja.
Sebaiknya kita membuka wawasan umat bahwa membayar zakat fitrah dengan uang seharga makanan pokok, relatif sama kuat dengan membayar zakat fitrah dengan makanan (pokok) yang tidak disebutkan di dalam hadis. Wallahu a‘lam bi al-shawab wa ilayh al-marji‘ wa al-ma‘ab. [Prof.Alyasa' Abubakar, email: yasa.abubakar@gmail.com, sumber: Serambi Indonesia]