SENIN (27/6/2016), Ramadhan hari ke-22, malam ke-23. Tadi malam, saya mengajak 2 orang jagoan kami beritikaf di Masjid an-Nur yang lokasinya tak jauh dari tempat kami tinggal.
Jarum jam di dinding menunjuk pukul 10.15 malam saat kami tiba di masjid. Suara tilawah al-Qur’an dari para peserta itikaf, sudah terdengar begitu syahdu sejak kaki kami memasuki ruang utama masjid.
Kami ambil Qur’an dan langsung membacanya. Sambil terus tilawah Qur’an, dari telinga kanan dan kiri saya, sayup-sayup terdengar lantunan al-Qur’an. Pelan, tapi sangat menyentuh qalbu. Dari sangat jelas, perlahan-lahan mulai menurun, hingga akhirnya tak lagi terdengar.
Saya hentikan tilawah sejenak, menengok ke kanan dan ke kiri. Dua jagoan saya ternyata sudah terlelap tidur dengan masih menggenggam Qur’an. Saat itu, jarum jam di dinding sudah bergeser ke 10.30 malam. Ya Rabb, jadikanlah mereka dan seluruh anak-anak seusia mereka di negeri ini para penghafal Qur’an, amin ya Rabb. Saya lanjutkan tilawah hingga kantuk benar-benar menjadi pengantar tidur itikaf malam itu.
Sebelum berangkat itikaf, saya kembali membaca ulang sepenggal kisah Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz.
Gubernur Baghdad saat itu, Yazid bin Abdurrahman mengirim surat kepada Umar di Madinah tentang melimpahnya dana zakat di Baitul Maal.
Umar kemudian memerintahkan Yazid memanfaatkan dana tersebut untuk memberikannya kepada para mujahidin yang berjuang di jalan Allah dan keluarganya. “Kami sudah memberikannya kepada semua orang yang memang berhak menerima upah, termasuk kepada pasukan kaum Muslimin dan keluarganya dan orang-orang yang ikut berjihad, tapi dana zakat masih saja banyak di Baitul Maal,” jawab Yazid.
Umar lalu menginstruksikan agar dana zakat itu diberikan kepada orang-orang yang terlilit utang untuk melunasi utangnya dan memenuhi kebutuhan sehari-harinya. “Kami sudah melunasi utang-utang mereka dan melebihkannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tapi dana zakat ini masih saja banyak di Baitul Maal,” Yazid kembali menjawab.
Umar lanjut memerintahkan Yazid mencari orang lajang yang ingin menikah agar dinikahkan dan dibayarkan maharnya dengan dana zakat. Lagi-lagi dijawab oleh Yazid, “Kami sudah menikahkan mereka, membayarkan maharnya, dan membantu permodalan untuk menjalani kehidupan berumah tangga, tapi dana zakat sepertinya belum berkurang di Baitul Maal.”
Akhirnya, Khalifah memerintahkan agar Yazid mencari orang-orang yang mempunyai usaha (bisnis), tapi kekurangan modal, lalu memberikan kepada mereka modal dari dana zakat sebagai tambahan, tanpa harus mengembalikannya. Sisa dana zakat itu akhirnya dialokasikan untuk membantu meningkatkan kinerja bisnis masyarakat yang kekurangan modal.
Maha Suci Allah, Tuhannya Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Umar tidaklah lama memegang kekuasaan, hanya sekitar 2 tahun 5 bulan. Namun, dalam waktu yang relatif singkat tersebut, ia memerintah dengan sangat adil dan bijaksana. Loyalitas bawahan didapat dari teladan profesional dan proporsional sang khalifah.
Tidak seorang penduduk pun yang merasa tersakiti, termarginalisasikan, termiskinkan dengan kepemimpinannya. Sehingga kesejahteraan pun menyebar secara merata ke seluruh penduduk. Tidak ada penduduk yang miskin, yang belum menikah, para mujahidin dan keluarganya saat itu. Kecuali seluruh kebutuhan mereka tercukupi.
Setelah dikeluarkan untuk keperluan operasional negara dan kesejahteraan rakyat, dana di baitul maal, masih sangat melimpah ruah. Bahkan, kesejahteraan tak hanya dirasakan oleh para penduduk, tapi juga hewan, seperti serigala di hutan yang tidak pernah merasa kelaparan. Subhanallah.
Pemimpin nasional dan Jakarta di negeri ini juga sudah dua tahun lebih memegang tampuk kekuasaan di negeri ini.
Namun, hasil apa yang sudah dicapai? Keadilan dan kesejahteraan apa yang sudah diberikan kepada warga? Tentang keadilan, janganlah ditanya, masih jauh panggang dari api. Bahkan, semakin dibuka semakin membuat hati teriris-iris, bak teriris pisau tajam.
Nggak percaya, tengok saja beberapa kejadian yang mencuat di negeri ini. Penguasa negeri ini terang-terangan berpihak kepada pejabat yang telah dinyatakan badan audit negara melakukan penyelewengan yang merugikan miliaran rupiah keuangan negara.
Posisi keuangan negara, tak kalah menyedihkan. Jangankan ada dana berlebih yang bisa dimanfaatkan untuk menutupi problem kemiskinan, kesenjangan sosial masyarakat. Penguasa malah menumpuk utang hingga triliunan rupiah yang bakal menjadi beban utang beberapa generasi kemudian.
Tak hanya itu, akibat kebijakan penguasa yang menggusur beberapa lokasi, banyak penduduk yang termarginalisasikan alias terpinggirkan. Sehingga, banyak pihak memprediksikan bila tingkat kemiskinan di negeri ini, bukannya menurun, malah semakin meningkat.
Tak lama lagi, negeri ini, khususnya Jakarta akan memilih pemimpinnya. Dalam konteks ini, satu pertanyaan patut kita jawab sama-sama. Tipe pemimpin yang manakah yang akan kita pilih nanti. Apakah tipe pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz atau seperti kepemimpinan saat ini?