SEPASANG suami-istri
dipersatukan oleh ikatan pernikahan atas nama Allah. Sebuah ikatan kokoh yang
Allah sebut dengan “miitsaaqan ghaliidhaa” (Surat An-Nisa ayat 21).
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,
padahal sebagian kamu telah bergaul [bercampur] dengan yang lain sebagai suami-istri.
Dan mereka [istri-istrimu] telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.
(Q.S. An-Nisa [4]: 21).
Karena itu, sepasang suami-istri dalam berinteraksi di rumah
tangganya sepatutnya melandasi hubungan mereka dengan semangat mencari
keseimbangan, menegakkan keadilan, menebar kasih sayang, dan mendahulukan
menunaikan kewajiban daripada menuntut hak. Bergaul dengan baik dan saling
bersabar atas pasangannya.
“Hai orang-orang beriman, tidak halal bagi
kamu mewarisi wanita dengan cara paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan
bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai
mereka maka bersabarlah, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S. An-Nisa [4]: 19).
Mereka berdua suami-istri yang memang beda jenis, karakter, hobi
dan lainnya, menyatu untuk mendapatkan ketenteraman, cinta dan kasih sayang
secara timbal balik. Itulah hakikat pernikahan seperti Allah sebutkan di dalam
ayat:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir”. (Q.S. Ar-Ruum [30]: 21).
Kewajiban seorang istri terhadap suaminya adalah menthaati
suami, selama dalam kebenaran, menjaga kehormatan dirinya, suami, dan harta
keluarga, mengatur rumah, mendidik anak-anak serta berbuat baik kepada keluarga
suami.
Sedangkan kewajiban seorang suami kepada istrinya adalah
membayar mahar (mas kawin) dengan sempurna, memberi nafkah lahir dan batin,
mempergauli dengan baik, memberi perlindungan, serta mengarahkan untuk ibadah
kepada Allah.
Jangan
Sakiti
Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Quranul Adzim menjelaskan makna “muasyarah
bil ma’ruf” (bergaullah
dengan mereka secara patut) adalah perbaikilah ucapan, perbuatan, penampilan
sesuai dengan kemampuanmu sebagaimana kamu menginginkan dari mereka
(pasanganmu), maka lakukanlah untuk mereka.
Imam Al-Qurthubi menambahkan, dengan kalimat, “Pergaulilah istri
kalian sebagaimana perintah Allah, dengan cara yang baik, yaitu dengan memenuhi
hak-haknya berupa mahar dan nafkah, tidak bermuka masam tanpa sebab, baik dalam
ucapan, tidak kasar, maupun tidak cenderung dengan istri-istri yang lain (jika
lebih dari satu istri).”
Adapun Tafsir Al-Manar menerangkan bahwa wajib atas orang
beriman berbuat baik terhadap istri mereka, menggauli dengan cara yang baik,
memberi mahar, dan tidak menyakiti baik ucapan maupun perbuatan, serta tidak
bermuka masam dalam setiap perjumpaan, karena semua itu bertentangan dalam
pergaulan yang baik dalam keluarga.
Hikmah Allah mewajibkan seorang suami berbuat baik kepada istrinya
adalah agar pasangan suami-istri itu mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan
dalam hidup. Karena itu, berbuat baik terhadap istri merupakan kewajiban yang
harus dilakukan oleh para suami agar mendapatkan kebaikan dalam rumah tangga.
Karena itu, para suami yang mendambakan kebaikan dalam rumah
tangganya perlu mendalami tabiat dan watak istrinya dengan sabar, khusus dan
penuh perhtian. Jika menemukan ada sesuatu yang dibenci dalam diri istrinya,
maka demi kebaikan keluarga, pasti akan ditemukan lebih banyak kebaikan-kebaikannya.
Jangan pernah ada tindakan mencelakakan istri dengan kekerasan, baik secara
fisik maupun mental, seperti membentak, menghardik, apalagi sampai menampar dan
memukul hingga melukainya.
Ini seperti disebutkan, ketika seorang sahabat bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,” Apa hak istri terhadap suaminya?”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Memberi makan apa yang kamu
makan, memberi pakaian apa yang kamu pakai, tidak menampar mukanya, tidak
membencinya serta tidak boleh memboikotnya.”
Dan memang, jika seorang suami menyakiti istrinya sendiri, maka
sebenarnya dia sedang menyakiti dirinya sendiri, akan menyusahkan diri dan
berdampak buruk bagi dirinya serta rumah tangganya.
Di antara dampak buruk menyakiti istri adalah akan timbul sakit
hati, kecewa, dan memendam perasaan. Lama-lama akan semakin membesar dan
berpengaruh kepada seluruh keluarga, termasuk sikap terhadap suaminya sendiri.
Perasaan buruk itu akan menunda rezeki yang akan datang.
Dampak lainnya adalah istri bisa jadi tidak akan melayani
suaminya dengan baik. Sebab akan susah bagi istri yang hatinya terluka akan
membuka senyum ceria di hadapan suaminya. Ujung-ujungnya pekerjaan dan kegiatan
suami tidak akan didukung istrinya dan berpengaruh pada situasi kegembiran
anak-anak.
Ini tentu yang lebih menyakitkan, bagaimana rezeki anak yang
shalih akan didapat jika berkubang dalam situasi menyakitkan. Inilah alasan
mengapa istri yang tersakiti bisa membuat rezeki menjadi seret.
Begitulah ini karena memang besarnya tugas seorang istri dalam
perannya di rumah tangga. Ketika ia mencintai suaminya, maka ia akan
mengutamakan yang dicintainya itu. Cinta seorang istri kepada suami adalah
dengan mengutamakan suaminya dalam segala hal. Menjaga diri dan harta suaminya
selama suami pergi, menjaga amanah berupa anak-anak yang dititipkan padanya dan
menjadi tempat bersandar bagi suami yang kelelahan mencari nafkah. Karenanya,
para suami janganlah sakiti istri, dampak sakitnya itu akan sampai pada suami
juga.
Pepatah “rumput tetangga tampak lebih hijau”, wanita lain
kelihatan lebih menyenangkan, itu adalah bisikan nafsu belaka. Apalagi itu
dilakukan di luar sepengetahuan istrinya, walau dengan alasan pekerjaan dan
katanya menolong. Namun, dengan melanggar batas-batas syariat.
Mengapakah seorang suami lebih senang tertawa dan bercanda ria
dengan wanita yang bukan istrinya? Sementara dengan istrinya yang sudah semakin
menua karena telah melahirkan anak-anak dan mengurus tetek bengek rumah tangga.
Hanya mendapat waktu sisa bercengkerama dan bercanda ria.
“Cemburu buta” memang tidak dibenarkan juga. Tetapi istri mana
yak tak memiliki rasa cemburu jika suaminya bergaul dengan wanita lain yang
bukan mahramnya, berduaan (khalwat), saling tatap muka, senyum dan ledek,
saling kirim pesan (sms, wa, chatting, fb) sambil senyum-senyum sendiri.
Dalam kaitan ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
mengingatkan dengan tegas:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir maka janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahram
wanita tersebut, karena syaitan menjadi orang ketiga di antara mereka berdua.”
(H.R. Ahmad dari Jabir Radhiyallahu ‘Anhu).
Sementara membiarkan adanya kemaksiatan dan kemungkaran tanpa
rasa cemburu juga keliru, dan itu dikategorikan ke dalam perbuatan “dayyuts”
(membiarkan kemaksiatan). Na’udzubillah.
Jadi, lebih baik bercengkerama, bercanda ria, memegang tangan istri
tercinta, dan tertawa ria bertamasya dengan anak-anak kita, dan itu berpahala.
Daripada dengan yang bukan mahram, dan itu berdosa. Sebab kalau begitu, bagi istri
tentu “sakitnya tuh di sini”. (sumber: mirajnews.com)