SEBAIT pesan pendek masuk melalui jaringan WhatsApp Saya berisi tentang gelap gulita akibat padamnya aliran listrik dan banjir besar di Aceh dalam beberapa hari ini.
Pesan tersebut sebagai balasan dari senior Saya di Bogor, ketika Saya mengabarkan saat ini kondisi di Aceh terjadi pemadaman listrik, Saya dan kebanyakan orang terkendala termasuk dalam hal berkomunikasi.
“Alhamdulillah, sebagai bagian persiapan menghadapai kegelapan abadi yang pasti datang …"
Saya tersentak dengan jawaban
pesan tersebut dan segera sadar bahwa ini tak seberapa ketimbang suatu saat
kita akan menghadapi kegelapan itu, kelak. Pesan ini pula yang menggerakan jari
tangan Saya untuk menulis renungan ini, saat listrik menyala di pagi Jumat, 28 November 2025.
Ya, sering kali ketika aliran listrik
mati datang tiba-tiba. Listrik padam beberapa jam, kemudian membuat banyak dari
kita gelisah, kesal, dan tak sabar. Rumah terasa panas, aktivitas terhenti, dan
baterai ponsel yang tinggal beberapa persen membuat kita semakin panik. Kita
merasa kehilangan kenyamanan yang selama ini dianggap biasa, padahal itu adalah
nikmat yang jarang disadari.
Saat direnungi lebih dalam, gelap
yang seperti ini, sebenarnya adalah gelap yang penuh kemewahan. Kita masih
memiliki rumah, masih bisa menyalakan lilin, masih bisa keluar mencari terang,
dan yang paling penting, kita tahu bahwa gelap itu sementara. Kita masih dapat
jalan keluar untuk mencari cahaya, pergi ke warung kopi numpang isi daya ponsel
dengan hanya cukup membayar segelas kopi.
Sementara di belahan dunia lain,
seperti Gaza, ada saudara-saudara kita hidup dalam gelap selama bertahun-tahun.
Gelap di Gaza, bukan hanya memadamkan lampu, tetapi juga rasa aman, masa depan,
dan bahkan nyawa. Gelap mereka bukan keluhan, melainkan perjuangan. Bukan
gangguan sesaat, tetapi keadaan yang tak tahu kapan akan berakhir.
Perenungan Saya, juga mengantarkan kepada gelap lain yang tak bisa kita
hindari: gelap sunyi alam kubur, tempat setiap manusia akan singgah, cepat atau
lambat. Di sanalah kita akan benar-benar memahami apa arti gelap yang
sesungguhnya. Tak ada lampu cadangan, tak ada generator, tak ada baterai
ponsel, dan tak ada lagi jalan keluar untuk mencari cahaya.
Di tempat itu, satu-satunya
cahaya yang bisa menemani kita hanyalah cahaya amal, kebaikan, doa, dan
ketulusan yang kita kumpulkan selama hidup di dunia.
Betapa sering kita mengeluh
karena mati listrik dua jam saja,namun jarang merenung apakah cahaya amal kita
cukup menerangi gelap yang menanti. Betapa mudahnya kita marah ketika dunia
memadamkan lampunya, padahal kita belum memastikan apakah lampu hati kita
sendiri masih menyala.
Setiap kali gelap menyapa,
mungkin itu bukan sekadar gangguan. Mungkin itu peringatan lembut, bahwa hidup
ini sangat bergantung pada cahaya, cahaya yang sering kita biarkan redup karena
lupa bersyukur, lupa berbuat baik, lupa menolong sesama, lupa mendekat kepada
Tuhan.
Gelap itu guru yang sunyi, yang
mengajarkan kita bahwa terang adalah anugerah, bahwa jiwa kita pun membutuhkan
cahaya agar tidak tersesat selamanya.
Maka ketika listrik kembali
menyala, semoga hati kita juga ikut menyala dengan rasa syukur, rasa peduli,
dan kesadaran bahwa dunia bukan tempat kita selamanya. Suatu hari nanti, ketika
gelap terakhir menjemput, semoga kita tidak datang tanpa cahaya. Ini bahaya!
Gelap di dunia hanyalah tanda kecil. Tanda agar kita berhenti sejenak, menunduk, dan bertanya pada diri sendiri, jika gelap yang sebentar saja membuat kita tidak sabar, bagaimana dengan gelap yang tak bisa kita hindari kelak?
Semoga setiap padam listrik yang
kita alami menjadi pengingat, bahwa kita masih diberi kesempatan, kesempatan
untuk menyalakan cahaya, cahaya kebaikan, cahaya ibadah, cahaya hati, cahaya
yang kelak setia menemani kita ketika semua cahaya dunia tak lagi bisa menyala. []
