![]() |
Mallikatul Hanin, dkk |
Oleh: Mallikatul Hanin (Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry)
Di tengah derap reformasi dan tuntutan zaman yang kian mendesak akan keadilan sosial, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) kembali memainkan peran strategisnya dalam menentukan arah pembangunan lima tahun ke depan. Agenda besar itu bernama Rapat Paripurna DPR Aceh, yang pada hari itu memuat dua naskah penting: Rancangan Qanun Aceh tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2025–2029 dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBA Tahun Anggaran 2024.
Saya, bersama rekan-rekan mahasiswa dari Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry, berkesempatan hadir langsung di ruang sidang. Sebuah momentum langka dan penuh makna menyaksikan proses demokrasi yang berjalan, bukan dari tayangan layar atau halaman berita, tetapi dari jarak yang begitu dekat. Sebagai generasi muda yang kelak akan mengisi dan mewarisi Aceh, saya merasa bahwa partisipasi sekecil apa pun memiliki makna yang mendalam. Apalagi ketika menyangkut masa depan kita semua.
RPJMA: Bukan Sekadar Rencana, Tapi Janji Moral Pemerintah
Dokumen RPJMA yang disampaikan oleh Plt. Sekretaris Daerah Aceh, M. Nasir, bukan hanya berisi tabel, angka, atau peta proyek. Lebih dari itu, ia memuat tekad—tebalnya lebih dari ratusan halaman namun semangatnya satu: membawa Aceh menuju Islamic, Inclusive, Prosperous Society.
Dalam sambutannya, M. Nasir menegaskan bahwa RPJMA 2025–2029 merupakan peta jalan strategis, bersumber dari visi besar “Aceh Islami, Maju, Bermartabat, dan Berkelanjutan”. Enam prioritas yang ditetapkan pemerintah tidak berdiri di ruang hampa: penguatan syariat, transformasi ekonomi lokal, peningkatan kualitas SDM, reformasi birokrasi, pemerataan pembangunan, serta ketahanan sosial-lingkungan.
Itu semua bukan sekadar jargon. Di baliknya, tersembunyi harapan orang tua kami yang menginginkan anak-anaknya bisa bersekolah tanpa harus pindah ke luar provinsi. Tersembunyi pula impian nelayan, petani, dan pelaku UMKM agar hasil jerih payahnya dihargai, bukan dipermainkan pasar.
Banggar: Ketika Anggaran Bicara Keadilan
Usai penyampaian RPJMA, giliran Badan Anggaran (Banggar) DPR Aceh mengambil peran. Melalui pidato yang lantang dan sarat makna, Tgk. H. Anwar Ramli menjelaskan pertanggungjawaban APBA 2024. Sorotan terhadap capaian anggaran tidak sekadar angka-angka. Lebih dari itu, ia menyuarakan keberpihakan terhadap rakyat.
“Kami tidak hanya menghitung angka, tetapi menakar keadilan dan kemanfaatannya bagi rakyat Aceh,” ujarnya.
Ada rasa bangga, ada pula getir. Bangga karena ada pengembalian empat pulau ke Aceh, karena pertumbuhan ekonomi yang naik 5,17% pada triwulan III 2024, karena IPM yang naik menjadi 75,36. Namun getir karena kemiskinan masih mencengkeram desa, karena pengangguran masih lebih tinggi dari rata-rata nasional. Dan lebih getir lagi karena masih banyak ketidakpastian fiskal dalam kategori "pendapatan daerah yang sah" yang anjlok hingga 47,72%.
Aceh, tampaknya, masih berada dalam dilema antara capaian dan tantangan.
Rakyat dan Aset: Kedaulatan Tak Bisa Ditawar
Salah satu bagian yang paling menyentuh bagi saya adalah isu Blang Padang. Sebidang tanah di jantung kota yang bagi sebagian orang hanyalah ruang terbuka hijau, tapi bagi sejarah dan syariat Islam adalah tanah wakaf Sultan Iskandar Muda untuk Masjid Raya Baiturrahman.
“Presiden harus segera mengembalikannya ke Nazir Wakaf,” tegas Banggar dalam pendapatnya.
Ini bukan sekadar isu pertanahan. Ini soal jati diri. Ketika negara lalai mengembalikan sesuatu yang bukan miliknya, maka hilanglah makna keadilan substantif dalam kehidupan berbangsa.
Di sisi lain, Banggar juga menyuarakan pentingnya Dana Otsus agar tidak lagi bersifat sementara. Ini bukan soal uang semata, tapi soal kedaulatan fiskal Aceh untuk mengatur dirinya sendiri demi mengurangi kemiskinan ekstrem yang selama ini tertinggal di pedalaman.
Pendidikan, Kesehatan, dan Ekonomi Syariah: Harapan Tak Boleh Layu
Rekomendasi Banggar membuka satu per satu borok dan harapan. Di sektor pendidikan, mereka mendorong peningkatan mutu guru, beasiswa, dan pemerataan fasilitas. Di bidang kesehatan, penyelesaian konflik RSUZA dan pembangunan rumah sakit regional menjadi prioritas. Di ranah ekonomi syariah, penguatan UMKM, akses pembiayaan mikro, hingga distribusi zakat secara adil menjadi agenda yang tak bisa ditunda.
Semua ini menunjukkan bahwa pembangunan tidak bisa berdiri hanya di satu kaki. Ia harus menopang seluruh dimensi kehidupan masyarakat Aceh dari ilmu, iman, hingga pangan.
Audit dan Akuntabilitas: Kunci Menuju Pemerintahan Bersih
Rapat paripurna juga memberikan syarat tegas: audit ulang 22 paket kegiatan yang dinilai bermasalah. Ini penting untuk menjaga kepercayaan publik. Sebab sekali saja rakyat merasa ditipu oleh penguasa, maka legitimasi bisa runtuh tak bersisa.
Dan itulah kenapa transparansi dan partisipasi harus menjadi dua sayap dari setiap kebijakan publik. Tanpa itu, pembangunan hanya akan menjadi menara gading, jauh dari jangkauan rakyat.
Refleksi Mahasiswa: Belajar dari Paripurna, Menyusun Masa Depan
Sebagai mahasiswa, kehadiran saya dalam forum ini bukan sekadar “magang” atau memenuhi daftar hadir. Saya belajar bagaimana demokrasi bekerja dengan pidato, debat, dan tanggung jawab. Saya belajar bahwa pembangunan bukan hanya kerja pemerintah, tapi tugas kolektif semua warga, termasuk kami generasi muda.
Saya pulang dari gedung dewan dengan catatan yang tidak hanya tersimpan dalam buku, tapi juga dalam hati. Bahwa Aceh punya potensi besar untuk bangkit. Tapi itu hanya bisa dicapai jika suara rakyat didengar, dan janji politik tidak dilupakan.
Aceh dan Masa Depannya: Ditulis Dengan Tinta Rakyat
Rapat paripurna ini bukan sekadar peristiwa rutin tahunan. Ia adalah upaya menulis masa depan Aceh dengan tinta harapan, tinta akuntabilitas, dan tinta keberpihakan kepada rakyat.
Dan kami, mahasiswa, punya tanggung jawab moral untuk menjadi penjaga mimpi itu. Mimpi tentang Aceh yang Islami, maju, bermartabat, dan berkelanjutan. Mimpi yang tak boleh mati, walau tantangan menghadang. [Mallikatul Hanin]
Tulisan opini menjadi tanggung jawab penulis