Abu Baka, keuchik kampung Aceh Yan, kepada Fatra Turhamun, mahasiswa KPM internasional UIN Ar-Raniry Banda Aceh, mengungkapkan kekhawatirannya akan punahnya budaya dan bahasa Aceh karena tidak ada regenerasi.
"Kami sudah tua tua dan anak anak kami pun sudah menikah dengan orang Melayu dan merantau ke luar kampung Aceh Yan," ungkap Abu Baka pada, Kamis (24/04/2025) di kawasan kampung Aceh Yan, Kedah, Malaysia.
Sebagai solusi, ia menawarkan sebidang tanah bagi anak-anak muda Aceh yang bersedia menetap dan bekerja disana.
Diketahui, kampung Aceh Yan bukanlah sekadar pemukiman biasa. Ia adalah saksi bisu dari perjuangan dan ketekunan masyarakat Aceh saat di jajah Belanda.
Dimulai pada abad ke-19, sekitar tahun 1880-an, para ulama dan petani Aceh yang terdesak oleh peperangan dan tekanan kolonial memilih Kedah sebagai tempat berlindung dan melanjutkan perjuangan mereka. Di antara mereka adalah Tengku Muhammad Arsyad, seorang ulama asal Ie Leubeu, Pidie, yang lebih dikenal dengan nama Teungku di Balee, yang menjadi pelopor pendirian Kampung Aceh Yan.
Abu Baka menjelaskan bahwa motivasi utama para ulama Aceh hijrah ke Kedah bukan semata untuk menghindari peperangan, melainkan untuk memperkuat perlawanan terhadap penjajahan.
“Asal muasal pendatang dari Aceh hijrah ke sini bukanlah semata-mata karena melarikan diri dari peperangan, melainkan ‘minggir sedikit ke sini’ untuk mencari uang guna melawan Belanda,” ungkap Abu Baka
Sebelum bermukim di lokasi yang kini dikenal sebagai Kampung Aceh Yan, para pendatang dari Aceh sempat tinggal di Merbok, tepatnya di Kampung Bukit Aceh. Namun, seiring waktu, mereka berpindah ke Kampung Road dan akhirnya menetap di Kampung Aceh Yan, yang dikenal subur dan cocok untuk pertanian.
“Di Kampung Road mereka menanam lada, bunga lawang, dan cengkeh, tapi tanahnya berpasir. Setelah itu barulah mereka pindah ke Kampung Aceh yang sekarang,” tambah Abu Baka.
Dari hasil pertanian inilah, masyarakat Kampung Aceh Yan menyumbangkan dana dan senjata untuk mendukung perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Mereka juga membangun masjid, sekolah, dan balai pengajian sebagai bentuk penguatan identitas dan peradaban.
Yang membuat kampung Aceh Yan istimewa adalah keberhasilan masyarakatnya dalam menjaga bahasa dan adat istiadat Aceh secara utuh. Menariknya, bahasa yang digunakan adalah Bahasa Aceh klasik yang bahkan tidak lagi banyak dipahami oleh generasi muda di Aceh, Indonesia.
“Contohnya kata ‘ija paweu’ untuk kain handuk dan ‘diyub’ yang berarti ‘baru’,” jelas penulis saat menyusuri kampung tersebut.
Bahkan, masyarakat Melayu yang tinggal di kampung itu pun mampu berbicara dalam Bahasa Aceh, menunjukkan bagaimana asimilasi budaya tidak menghilangkan identitas, melainkan memperkuat harmoni.
Tak jauh dari pemukiman, terdapat sebuah galeri budaya yang menjadi saksi bisu kekayaan sejarah Aceh. Di dalamnya, pengunjung dapat menemukan foto-foto tempo dulu, pelaminan adat Aceh, mushaf Al-Qur’an lama, pakaian adat, mata uang zaman dahulu, hingga gambar ikonik seperti Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Namun, Abu Baka mengingatkan bahwa tanpa regenerasi yang memadai, kampung ini berisiko kehilangan semua itu.
Upaya Abu Baka untuk menarik perhatian pemuda Aceh bukan hanya sekadar ajakan untuk kembali, tetapi juga sebuah panggilan untuk melestarikan dan mengembangkan warisan budaya.
Dengan memberikan insentif berupa tanah, ia berharap dapat menggerakkan semangat generasi muda untuk turut serta dalam menjaga kampung dan budaya Aceh di Kedah. [Fatra Turhamun]