Iklan

Iklan

Pluralisme dalam Pandangan Gus Dur

12/23/22, 20:15 WIB Last Updated 2022-12-23T13:26:37Z


Oleh: 
Syalva Witria

WASATHA.COM - Era pasca Orde Baru adalah sebuah era yang ditandai dengan mengerasnya paham dan sikap yang mengarah pada bentuk radikalisme agama. Kasus pelarangan pendirian rumah ibadah dan juga persekusi terhadap kaum minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah adalah beberapa contoh menguatnya radikalisme tersebut.



Terjadinya radikalisme agama tentu tak dapat dipisahkan dari adanya kelatahan masyarakat menerjemahkan arti kebebasan ditambah dengan adanya ketidaksiapan mental dalam menerima perbedaan. Kehadiran paham dan ideologi keagamaan yang bersifat transnasional yang menekankan pada purifikasi dan pembacaan yang rigid dan tekstual terhadap kitab suci serta alergi terhadap keragaman, juga ikut mewarnai makin menguatnya proses radikalisasi tersebut.



Dengan adanya fakta tentang radikalisme agama yang semakin menguat, maka gagasan Gus Dur menjadi relevan untuk diperbincangkan dan digali lebih jauh. Sejauh ini, Gus Dur dikenal sebagai bapak pluralisme Indonesia, yang Pemikiran Pluralisme Gusdur (Taufani) 199 dalam hidupnya getol memperjuangkan nilai-nilai kebhinekaan, hak asasi manusia, dan kesetaraan hak warga negara. Reputasinya dalam bidang tersebut telah diakui baik secara nasional maupun internasional. Tulisan ini hadir untuk mendiskusikan konsep, landasan, wujud, serta proses yang melatarbelakangi munculnya gagasan pluralisme Gusdur.


Biografi Intelektual Gus Dur (Abdurrahman Wahid)



Abdurrahman Wahid atau lebih sering disapa dengan Gus Dur adalah seorang tokoh nasional yang lahir di Jombang pada tahun 1940. Ia merupakan cucu dari pendiri Nadhlatul Ulama (NU), yakni K.H. Hasyim Ashari dan K.H. Bisri Syansuri. Ayah Gus Dur adalah Wahid Hasyim, mantan petinggi Masyumi dan NU, dan juga Menteri Agama RI. Gus Dur berhasil mewarisi trah kakek dan orang tuanya menjadi seorang ulama yang berhasil memimpin dan mengantar NU menjadi ormas Islam modern yang disegani dunia.



Pada tahun 1964, Gus Dur melanjutkan studinya di Mesir, tepatnya di fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo. Disana, ia mengisi hari-harinya dengan berbagai aktivitas, seperti menonton film Amerika dan Eropa, menonton sepakbola, ikut serta dalam diskusi-diskusi di kedai-kedai kopi, dan juga mempelajari tentang nasionalisme Arab, suatu ideologi yang sangat populer di Mesir kala itu. Gus Dur juga sangat menikmati hobinya membaca buku di perpustakaan-perpustakaan besar ketika berada di Mesir. Salah satu buku yang sangat menarik perhatiannya adalah karya milik cendekiawan muslim kontroversial Ali Abd al-Razik yang berjudul al-Islam wa Usul al-Ahkam (Islam and the Fundamentals of Governments) di mana buku tersebut sangat mempengaruhi pandangan Gus Dur dalam hubungan antara Islam dan negara.



Semasa di Mesir, Gus Dur terlibat aktif dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis di majalah perhimpunan tersebut. Selain itu, ia juga terlibat aktif dalam berbagai kelompok studi yang akhirnya mempertemukan dirinya dengan beberapa intelektual Mesir, seperti Zakki Naquib Mahmoud, 1Muhammad Ali, Islam and the Indonesian Nation-State: the Religio-Political Thought of Abdurahman Wahid, Paper tidak diterbitkan, h. 9. Jurnal Tabligh Volume 19 No 2, Desember 2018 :198 – 217 200 Soheir al-Qalamawi, Hassan Hanafi, Syauqi Deif, and Saad Eddin Ibrahim. Sayangnya, di tengah jalan, Gus Dur memutuskan untuk tidak menyelesaikan studinya di Mesir karena ia kecewa dengan metode pembelajaran yang didapatkan di kampus. Gus Dur kecewa karena hampir seluruh pelajaran yang diajarkan di kampus telah ia pelajari sebelumnya ketika masih menjadi santri di pesantren.



Ada satu momen penting yang menandai lompatan pemikiran Gus Dur sebagaimana yang pernah dituliskan oleh salah satu orang terdekatnya, Mahfud MD, yakni kunjungannya ke sebuah perpustakaan di Maroko. Dikisahkan bahwa pada tahun 1970-an, Gus Dur berkunjung ke sebuah perpustakaan di kota Fes, Maroko untuk menikmati hobinya membaca buku. Setelah hampir seharian membaca sebuah buku di perpustakaan tersebut, Gus Dur menangis terisak-isak sampai menarik perhatian pegawai perpustakaan. Pegawai perpustakaan tersebut kemudian menanyakan apakah Gus Dur sakit dan membutuhkan bantuan.



Lanjut Mahfud, bahwa menurut penjelasan Gus Dur, ia menangis terisakisak di perpustakaan itu karena merasa takjub setelah membaca karya filosof Yunani Aristoteles yang berjudul Etika Nikomakean. Dari buku itu, Gus Dur menemukan filsafat yang sangat tinggi tentang manusia, masyarakat, dan negara, yang dasar-dasarnya telah terdapat di dalam Al-Qur‟an dan Sunah Nabi. Di buku itu, Gus Dur menemukan tentang asal-muasal manusia, perbedaannya, hingga tuntutan etika yang harus dilakukan oleh manusia dalam menjalani kehidupan.



Lompatan pemikiran Gus Dur lainnya juga lahir dari adanya persinggungan dirinya dengan aktivitas NGO Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada tahun 1970-an. Di lembaga tersebut, Gus Dur berkenalan dengan kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat, seperti Adi Sasono, Aswab Mahasin, Dawam Rahardjo dan beberapa tokoh lainnya.



Setelah mengambil bagian dalam usaha pembangunan pesantren yang dilaksanakan di LP3ES, pada tahun 1980-an, Gus Dur kemudian melanjutkan programnya tersebut melalui Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di mana beberapa pendirinya juga terlibat dalam proyek LP3ES. Adanya kontribusi Gus Dur dalam membangun pesantren telah berhasil menciptakan berbagai kemajuan di dalam tubuh pesantren. Hasilnya, pesantren dewasa ini tumbuh menjadi suatu institusi pendidikan yang berhasil mencetak para lulusan yang memiliki kualitas yang handal dan profesional, sehingga mampu bersaing dalam dunia intelektual dan birokrasi. Pengalaman di LP3ES dan P3M telah membuka mata Gusdur bahwa pengembangan suatu institusi atau pranata keagamaan dapat meminjam berbagai konsep sekuler (non-agama) dan juga pandangan agama-agama lain.



Persentuhan Gus Dur dengan berbagai tradisi, yang dimulai dari tradisionalisme pesantren, islamisme, nasionalisme dan sosialisme Arab, filsafat Timur dan Islam, dan juga filsafat dan ilmu sosial Barat, telah banyak mempengaruhi dan membentuk watak eklektik pada pemikiran Gus Dur. Adanya kekayaan tradisi yang telah bersinggungan dengannya pada akhirnya membuat Gus Dur sangat menghargai adanya pluralisme sosial, agama, dan budaya. Dan dapat dikatakan, bahwa sepanjang hidupnya, Gus Dur sangat gigih dan konsisten memperjuangkan pluralisme melalui gerbong NU yang selama ini telah membesarkan namanya.

 

 

 

Gusdur Semasa hidupnya, Gus Dur dikenal sebagai seorang tokoh yang komplit dan kompeten di berbagai bidang. Karena kemampuannya itu, oleh masyarakat, ia disematkan berbagai macam predikat, seperti ulama, aktivis, penulis, intelektual, politisi, budayawan, dan juga pengamat sepakbola. Predikat tersebut tentu tak layak Gus Dur dapatkan bila saja ia tak memiliki kedalaman ilmu dan juga keteladanan dalam sikap.



Nama besar Gus Dur tak hanya dikenal di Indonesia, ia juga sangat populer di dunia internasional, jauh sebelum ia menduduki kursi kepresidenan. Di Jurnal Tabligh Volume 19 No 2, Desember 2018 :198 – 217 202 mata internasional, sosok Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang mendukung Islam progresif, yakni Islam yang inklusif, demokratis, pluralis, dan toleran.



Di mata Gus Dur, pluralisme adalah sebuah pandangan yang menghargai dan mengakui adanya keragaman identitas, seperti suku, agama, budaya, ras, dll. Pluralisme bukanlah ide yang ingin menyamakan semua agama sebagaimana yang selama ini sering dituduhkan, karena setiap agama tentu memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing. Pluralisme, demikian Gus Dur, tidak seharusnya menjadi sumber konflik, melainkan seharusnya menjadi sarana bagi manusia untuk memahami anugerah Tuhan agar tercipta toleransi dan harmoni di tengah kehidupan.



Gus Dur sering menganalogikan konsep pluralisme yang ia miliki ibarat sebuah rumah besar yang terdiri atas banyak kamar dan setiap orang memiliki kamarnya sendiri-sendiri. Saat di dalam kamar, setiap orang dapat merawat dan menggunakan kamarnya serta berhak melakukan apapun di dalam kamarnya. Namun ketika berada di ruang tamu atau ruang keluarga, maka setiap penghuni kamar wajib melebur untuk menjaga kepentingan rumah bersama.



Semua penghuni kamar wajib bekerjasama merawat, menjaga, dan melindungi keseluruhan bagian rumah tersebut. Ketika terjadi serangan dari luar, maka mereka -tanpa mempermasalahkan asal kamar- harus bersatu melawan para penyerang yang ingin merusak keberadaan rumah tersebut. Bila dihubungkan dalam konteks negara, maka seluruh warga negara yang menjadi penghuni rumah NKRI wajib merawat, menjaga, dan melindungi rumah besar NKRI yang telah dibangun di atas fondasi Pancasila dan keragaman identitas primordial.



Sejauh ini, ada banyak umat Islam yang menjadi alergi ketika mendengar istilah pluralisme, khususnya setelah keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme karena dianggap sebagai sesuatu yang asing dalam Islam, untuk tidak mengatakan sebagai produk pemikiran Barat.



Namun Gus Dur membantah hal tersebut, karena baginya pluralisme adalah sebuah sunnatullah atau keniscayaan yang bisa dielakkan. Lanjutnya, pluralisme adalah sebuah desain Tuhan agar manusia dapat saling mengenal dan saling belajar satu sama lain agar dapat saling melengkapi dan menyempurnakan. Dengan kata lain, siapapun yang mengutuk pluralisme, maka sama saja ia telah mengutuk Tuhan, sang pencipta keragaman di muka bumi ini.



Untuk memperkuat gagasan pluralisme-nya, Gus Dur sering mengutip salah satu ayat dari Al-Quran sebagai landasan teologisnya, yakni Surat AlHujuraat [49]: 13: “Wahai manusia, sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling kenal-mengenal…” (QS. Al-Hujuraat/49: 13). Gus Dur tak sekedar memaknai ayat tersebut secara tekstual, namun ia melangkah lebih maju dengan mengelaborasi pemaknaan ayat tersebut. Menurutnya, redaksi ayat tersebut tidak hanya ditujukan kepada kaum muslim, melainkan juga ditujukan secara tegas kepada seluruh umat manusia agar mereka dapat menjunjung tinggi kesetaraan dan mengedepankan dimensi kemanusiaan dalam segala urusan.9 Gus Dur meyakini bahwa ajaran yang dibawa oleh Islam adalah ajaran yang sempurna, dalam arti bahwa Islam telah menetapkan berbagai prinsip umum secara lengkap dan komprehensif agar dapat menjadi acuan dan panduan bagi manusia dalam menjalankan seluruh aktivitas kehidupan.



Gus Dur juga meyakini bahwa Islam adalah sebuah agama atau ajaran yang memuat nilai-nilai luhur dan universal yang selalu cocok dengan berbagai situasi dan kondisi. Untuk itu, dalam setiap kesempatan, Gus Dur selalu menekankan pada umat Islam agar tidak menjadikan perbedaan sebagai bencana, melainkan sebagai sebuah anugerah dan kekuatan yang harus disyukuri untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Menurutnya, perbedaan bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama, Yang dilarang oleh agama adalah lahirnya perpecahan dan perselisihan akibat adanya perbedaan.10 Untuk memperkuat pandangannya, Gus Dur sering mengutip QS.Ali Imran [3]: 103 yang ia terjemahkan: “berpeganglah kalian kepada tali Tuhan dan secara keseluruhan serta jangan terpecah-pecah dan saling berselisih.”



Selain mengutip ajaran Al-Quran dalam menyebarkan gagasan pluralisme, Gus Dur juga menggunakan Pancasila sebagai landasan filosofis terhadap gagasannya tersebut. Menurutnya, Pancasila tak seharusnya dipertentangkan dengan Islam karena isi Pancasila sangat sejalan dengan nilai-nilai luhur Islam. Dengan kata lain, Pancasila adalah bentuk pembumian ajaran Islam (pribumisasi Islam) dalam konteks keindonesiaan. Pancasila di mata Gus Dur adalah sebuah ikhtiar politik yang sangat visioner oleh para pendiri bangsa karena orientasinya sangat jauh ke depan. Pancasila adalah suatu jalan tengah (kompromi) antara sekularisme dan formalisme agama (Islam).



Gus Dur sendiri adalah tokoh yang anti terhadap sekularisme, yang dipahami sebagai paham yang menolak keberadaan agama, karena ia merupakan individu yang sangat mencintai keyakinan dan tradisi agamanya. Di sisi lain, ia juga konsisten menolak bentuk formalisme agama karena hal tersebut akan mereduksi makna agama hanya sebatas kepentingan ideologis dan platform politik yang sifatnya sempit. Selain itu, formalisme agama juga rentan terhadap praktik diskriminasi yang menempatkan kaum non-muslim sebagai warga kelas dua, sehingga akan bertentangan dengan prinsip persamaan yang dijunjung tinggi oleh ajaran Islam.



Selain melandaskan gagasan pluralismenya pada Al-Qur‟an dan Pancasila, Gus Dur juga menggunakan konstitusi sebagai landasan legal-formal terhadap gagasannya tersebut. Menurutnya, sudah saatnya hukum menjadi panglima dalam setiap pengambilan keputusan karena Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Hukum seharusnya berfungsi sebagai pelindung bagi seluruh warga negara tanpa pandang bulu. Untuk itulah Gus Dur kerap mengkritik berbagai pihak yang sering melegalkan aksi kekerasan atas nama agama karena bersandarkan pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).



Fatwa MUI, demikian Gus Dur, bukanlah sesuatu yang bersifat legal dan mengikat karena lembaga ini bukanlah lembaga hukum. Oleh karena itu, hendaknya fatwa yang dikeluarkan MUI, cukup sekedar menjadi pendapat internal kelembagaan agama saja dan tak lebih dari itu. Menjadikan fatwa sebagai dasar hukum untuk menghakimi suatu kelompok tidaklah relevan di Indonesia karena negara ini bukanlah negara yang berlandaskan pada hukum agama tertentu (baca: bukan negara Islam).



 

Metode Penafsiran

Di tengah maraknya politisasi agama yang cenderung mereduksi agama dan menjadikannya hanya sebagai stempel untuk melegalisasi kekerasan, Gus Dur –dengan segala kemampuannya- tampil menjadi garda terdepan melawan adanya kecenderungan tersebut. Gus Dur memilih menyebarkan „Islam ramah‟ yang pro terhadap pluralisme sebagai antitesis terhadap „Islam marah‟ yang anti terhadap pluralisme. Sebagai bentuk komitmen untuk mewujudkan gagasan pluralisme, maka sejak tahun 1970-an, Gus Dur telah giat menyebarkan berbagai gagasannya melalui seminar, dialog dan juga tulisan yang tersebar di majalah, surat kabar, buku, dan jurnal akademik.



Dengan kharismanya sebagai salah satu tokoh penting di NU, Gus Dur berhasil memecah kebekuan dan mentransformasi wajah NU dari organisasi „kaum sarungan‟ menjadi organisasi modern. Di era kepemimpinannya, Gusdur memperkenalkan gagasan modern, seperti demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia (HAM), khususnya di kalangan anak muda NU. Di Era kepemimpinan Gus Dur, NU berhasil mengalami booming intelektual di tahun 90-an. NU juga tumbuh menjadi salah satu gerakan masyarakat sipil yang aktif mempromosikan dan memperjuangkan demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia.



Mengapa Gus Dur memiliki semangat yang tinggi untuk menyebarkan gagasan modern dalam tubuh umat Islam, khususnya di tubuh NU? Gus Dur berpendapat bahwa Islam bukanlah agama yang sempit, melainkan agama fleksibel dan adaptif terhadap berbagai gagasan dan perkembangan modern, karena sesungguhnya, Islam adalah ajaran yang kosmopolit. Menurutnya, sejarah telah merekam bahwa watak kosmopolitanisme Islam -yang ditandai dengan keterbukaan- lahir karena adanya ruang ekspresi yang bebas untuk melakukan dialog yang dialektis antar berbagai ragam pemikiran.



Selain itu, kosmopolitanisme Islam juga lahir dari adanya proses serap-menyerap yang dilakukan kaum Muslim terhadap peradaban lain yang telah maju dan mapan, seperti peradaban Yunani, sehingga Islam di masa lalu berhasil meraih puncak peradaban tertinggi. Semasa hidupnya, Gus Dur telah menunjukkan pada kita bahwa ia bukan hanya intelektual yang talk only, namun ia berhasil menunjukkannya dalam aksi dan laku. Dalam perilakunya yang diakui oleh banyak kalangan, Gus Dur dikenal sebagai sosok yang terbuka dan egaliter, dengan pergaulan lintas etnis, suku, agama, dan ras.



Di zaman Orde Baru, ia dikenal sebagai salah satu tokoh pengkritik kebijakan Soeharto. Gus Dur sama sekali tak pernah gentar melakukan kritik pada penguasa Orde Baru yang dikenal anti-kritik, meskipun ia sudah tahu konsekuensi yang akan diperoleh akibat tindakannya tersebut. Meskipun berlatar belakang santri dan juga keturunan K.H. Hasyim Ashari dan K.H. Bisri Syansuri yang keduanya adalah ulama pendiri NU, Gus Dur tetap konsisten untuk tidak menyetujui adanya konsep negara Islam. Gus Dur dikenal cukup berani dan tak segan-segan „menelanjangi‟ kelemahan konsep negara Islam yang diajukan oleh para kaum Islam formalis yang pro terhadap pendirian negara Islam.



Menurutnya, Islam tidak mengenal konsep yang jelas tentang negara. Ia mengambil contoh bahwa suksesi kepemimpinan khalifah pasca meninggalnya Nabi Muhammad cenderung selalu berubah-ubah. Abu Bakar diangkat melalui baiat oleh para pimpinan suku-suku. Umar diangkat melalui wasiat Abu Bakar. Usman dipilih oleh dewan formatur yang dibentuk oleh Umar sesaat sebelum ia meninggal. Setelah itu, Utsman diganti oleh Ali. Setelah Ali, pemerintahan Islam –yang diawali oleh dinasti Umayyah Utsmaniyah- lebih bercorak kerajaan (dinasti) di mana kekhalifahan diwariskan berdasarkan garis keturunan.



Ia menambahkan bahwa besarnya ukuran negara juga tidak ditetapkan secara formal oleh Islam karena Nabi sendiri meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan bentuk. Setelah itu, di masa Umar daerah kekuasaan Islam menjadi sangat luas, yang membentang dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Hal tersebut makin menimbulkan ketidakjelasan bentuk negara, apakah sebuah negara Islam harus berbentuk negara bangsa (nation-state) atau negara kota (citystate)?17 Adanya ketidakjelasan konsep membuat Gus Dur tak menyetujui adanya gagasan pendirian negara Islam karena baginya, pembelaan terhadap suatu konsepsi yang belum jelas adalah sebuah bentuk tindakan yang gegabah dan sembrono.



Di mata Gus Dur, pendirian negara Islam bukanlah menjadi suatu kewajiban bagi kaum muslim. Yang menjadi kewajiban adalah mendirikan negara yang dapat menegakkan keadilan dan menciptakan kemakmuran. Gus Dur menulis bahwa:



“Islam tidak mengenal doktrin tentang negara an sich. Doktrin Islam tentang negara adalah doktrin tentang keadilan dan kemakmuran. Dalam pembukaan UUD 45 terdapat doktrin tentang keadilan dan kemakmuran. Saya yakin doktrin itu berasal dari pemimpin-pemimpin Islam yang ikut menyusun Muqaddimah konstitusi negara kita. Selama pemerintah bisa mencapai dan mewujudkan keadilan dan kemakmuran, hal itu sudah merupakan kemuan Islam. saya kira tidak diperlukan doktrin Islam tentang negara harus bentuk formalisasi negara Islam…”



Untuk menunjukkan kelemahan konsep negara Islam, Gus Dur sering mengkritik pemaknaan ayat-ayat yang sering dikutip oleh mereka yang pro terhadap pendirian negara Islam. Menurutnya, ada dua ayat yang sering menjadi landasan mereka.



Pertama, yakni QS Al-Baqarah [2]: 208: “Masukilah Islam/kedamaian secara keseluruhan (udkhulu fi al-silmi kaffah).” Bagi kalangan yang mendukung pendirian negara Islam, kata al-silmi sering diartikan secara politis dengan kata islami. Itu sebabnya, mereka menganggap bahwa pendirian sebuah sistem Islam yang dapat mewakili aspirasi kaum muslim menjadi suatu hal yang mutlak. Namun, Gusdur mengkritik penafsiran tersebut karena hal tersebut cenderung bersifat parsial dan mereduksi kekayaan kandungan Al-Quran secara keseluruhan.



Menurutnya, ada banyak ayat dalam Al-Quran yang menolak mengkhususkan suatu kelompok dari kelompok lainnya, misalnya QS. AlMu‟minun [23]: 53: “Tiap kelompok sangat bangga dengan apa yang dimilikinya.“ Oleh karena itu, ia meyakini bahwa ketika suatu kelompok lebih mementingkan kepentingan kelompoknya sendiri, maka secara otomatis, ia telah memungkiri kandungan ayat lain dalam Al-Quran yang merupakan prinsip mulia dalam Islam, yakni QS Al-Anbiya [21]: 107 yang menyatakan, bahwa “Dan tiadalah Ku-utus Engkau Ya Muhammad, kecuali sebagai pembawa persaudaraan bagi umat manusia.” Bagi Gus Dur, ayat tersebut mengandung suatu prinsip mulia yang menjunjung tinggi prinsip persamaan dan persaudaraan, namun sayangnya kebanyakan umat Islam sering mengabaikan prinsip tersebut.



Kedua, yakni QS. Al-Maidah [5]: 3: “Hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian, Ku tuntaskan bagi kalian pemberian nikmat-Ku dan Kurelakan bagi kalian Islam sebagai agama.” Di mata para kaum Islam formalis yang pro terhadap pendirian negara Islam, ayat ini dianggap merujuk pada pentingnya sebuah sistem kenegaraan yang bercorak agama karena tanpa negara, Islam tak dapat diwujudkan dengan sempurna.



Namun Gusdur membantahnya bahwa dengan menafsirkan ayat tersebut semata-mata hanya merujuk pada pentingnya mendirikan sistem kenegaraan Islam, maka kita sama saja telah memungkiri keberadaan ayat-ayat lain yang juga tak kalah pentingnya, yakni (QS. Al-Baqarah [2]: 256) yang menyatakan bahwa “tidak ada paksaan dalam beragama, karena telah jelas mana yang lurus dan mana yang palsu” dan (QS. Al-Kafirun [109]: 6) yang menyatakan bahwa “bagi kalian agama kalian, bagi-ku agama-ku.” Dari kutipan ayat tersebut, Gus Dur berpendapat bahwa AlQur‟an sama sekali tak memerintahkan pada umat Islam untuk membentuk suatu lembaga formal yang berfungsi untuk menunjukkan superioritas Islam terhadap agama lain. Baginya, pencarian bentuk negara dan persoalan teknis di dalamnya cukup diserahkan pada hasil ijtihad manusia.



Gus Dur cenderung menolak pendirian negara Islam karena menurutnya Indonesia telah ditakdirkan oleh Tuhan menjadi negara yang penuh dengan keragaman, sehingga keragaman tersebut harus terus dipupuk dan dirawat -bukan untuk dihancurkan- demi tetap menjaga indahnya taman kebhinekaan kita. Lanjutnya, dalam konteks Indonesia, Islam tak seharusnya menjadi satu-satunya alternatif, melainkan ia harus menjadi salah satu elemen yang dapat memperkaya dan memberi warna pada keindonesiaan. Menjadikan Islam sebagai satu-satunya alternatif kebenaran terhadap yang lain berarti ia telah menjadi ekslusif. 23 Penerapan Syariat Islam, demikian Gus Dur, tidak seharusnya dipaksakan oleh negara, karena persoalan agama adalah urusan privat masing-masing pemeluk agama. Negara tak berkewajiban untuk menghukum para individu yang melanggar ajaran agamanya, sebaliknya pelanggaran terhadap ajaran agama seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi antara para penganut agama dengan Tuhan.



Di mata Gus Dur, untuk menjadi muslim yang baik, seseorang tak perlu ikut berjuang mendirikan negara Islam. Menurutnya, ada lima syarat menjadi muslim yang baik berdasarkan ayat-ayat suci dalam Al-Quran yang apabila diperjuangkan, maka seseorang sudah dapat digolongkan sebagai muslim yang baik dan taat, meskipun tak ikut mendukung pendirian negara Islam. Syaratsyarat tersebut antara lain: menerima prinsip-prinsip keimanan, melaksanakan rukun Islam secara utuh, menolong mereka yang membutuhkan pertolongan, menegakkan profesionalisme, dan juga bersikap sabar dalam menghadapi berbagai cobaan.



 Pada dasarnya, benih-benih penolakan Gus Dur terhadap konsep negara Islam telah ia gaungkan sejak awal tahun 1980-an, ketika ia menulis sebuah artikel di Koran Tempo yang berjudul Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?26 Gus Dur mengutip pendapat seorang tokoh kontroversial dari Mesir, Ali Abd AlRaziq, yang pemikirannya sangat memengaruhi pandangan Gus Dur. Gus Dur mengutip tiga argumentasi yang diajukan Raziq (yang pada waktu itu berbeda dengan pandangan Al-Azhar) untuk menolak adanya negara Islam, yakni pertama, Al- Quran tidak mengenal sesuatu yang sifatnya doktrin. Kedua, Nabi Muhammad tidak memperlihatkan watak dan kecenderungan yang politis. Ketiga, Nabi Muhammad tak pernah merumuskan mekanisme formal pergantian pejabat. Namun penolakan terhadap konsep negara Islam semakin intens Gus Dur lakukan pada awal tahun 2000-an sebagai respon atas menguatnya desakan terhadap pendirian negara Islam pasca jatuhnya rezim Orde Baru yang dilakukan oleh kalangan Islam formalis yang cenderung berorientasi radikal.



Gus Dur dikenal sebagai salah satu tokoh yang selalu berani dan nekad melawan arogansi kalangan Islam radikal. Menurut pendapat para ahli, Islam radikal memiliki karakteristik, yakni pertama, mereka berpendapat bahwa Islam bukan hanya agama (din), melainkan juga negara (daulah) dan dunia (dunya), sehingga mereka menganggap bahwa Islam yang kaffah belum terwujud bila kekhalifahan Islam belum didirikan. Mereka menolak dengan tegas dasar negara Pancasila sebagai landasan ideologi negara.



Kedua, mereka cenderung menafsirkan teks agama secara literal dan legal-ekslusif berdasarkan kepentingan ideologis dan platform politik mereka. Siapapun yang berbeda dengan penafsiran mereka, maka akan dimusuhi dan dianggap sebagai sesat dan kafir.



Ketiga, mereka cenderung menjadikan masa lalu sebagai zaman yang ideal dan juga menjadikan kaum salaf terdahulu sebagai referensi utama dalam berislam.



Keempat, kalangan Islam radikal cenderung sangat anti terhadap pluralisme dan juga anti terhadap berbagai gagasan modern yang dianggap tidak islami.



Kelima, mereka cenderung memaksakan apa yang mereka yakini dan dalam batas tertentu, mereka tak segan-segan menempuh jalan kekerasan demi menegakkan keyakinan mereka, termasuk pada sesama kaum muslim.



Gus Dur kerap memasang badan melawan arogansi kalangan Islam radikal karena dalam banyak kasus, mereka sering melakukan berbagai aksi kekerasan terhadap kalangan minoritas, salah satunya adalah kaum Ahmadiyah. Aksi kekerasan pada kaum Ahmadiyah oleh kalangan Islam radikal terjadi karena didorong oleh adanya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dalam Islam. Akibatnya, berbagai fasilitas masjid, sekolah, dan rumah milik kaum Ahmadiyah dibakar dan dirusak oleh kalangan Islam radikal yang dimotori oleh Front Pembela Islam (FPI). Celakanya, pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung warganya, hanya tinggal diam, untuk tidak mengatakan melakukan pembiaran terhadap aksi vandalis tersebut.



Melihat kejadian tersebut, Gus Dur tak tinggal diam. Ia mengecam keras FPI dan juga berbagai elemen Islam radikal lainnya karena telah membatasi kebebasan beragama suatu kelompok yang telah dijamin oleh undang-undang dan juga telah mencabik-cabik kebhinekaan negeri ini. Sebagai bentuk perlindungannya terhadap kaum Ahmadiyah, ia menawarkan rumahnya di Ciganjur sebagai tempat berlindung bila negara tak mampu lagi melindungi mereka. Di kesempatan lain, ia berpesan kepada ratusan anggota Anshor, sayap kepemudaan NU, agar tetap konsisten membela dan melindungi hak-hak kaum minoritas. Karena pembelaannya yang konsisten terhadap hak-hak kaum minoritas, maka tak ayal, Gus Dur sering menjadi target pengkafiran oleh kalangan Islam radikal. Namun dengan slogan hidupnya „gitu aja kok repot‟, Gus Dur tetap jalan terus menegakkan pendiriannya membela kalangan minoritas. Gusdur meyakini bahwa pandangan kaum Islam radikal bukanlah pandangan mayoritas umat Islam Indonesia.



Baginya, mayoritas umat Islam Indonesia adalah umat yang sangat moderat, toleran, dan lebih memilih menjadi silent majority, yang terwakili dalam ormas NU dan Muhammadiyah. Sebaliknya, kalangan Islam radikal adalah kelompok yang minoritas, hanya saja mereka hobinya teriak-teriak menjual dan mengatasnamakan umat Islam.



Selain mengkritik Islam radikal, Gus Dur juga sangat vokal mengkritik MUI karena ia dianggap sebagai dalang dibalik munculnya berbagai aksi kekerasan oleh kalangan Islam radikal. Menurutnya, MUI saat ini tidak lagi berfungsi sebagai alat kontrol pemerintah terhadap umat Islam, melainkan telah menjadi bunker para kaum Islam radikal untuk mendikte pemerintah. Gus Dur berpendapat demikian karena selama ini ia melihat bahwa MUI telah memberikan ruang yang cukup besar pada keberadaan organisasi Islam radikal, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam struktur kepengurusannya. Bagi Gus Dur, HTI tak layak mengambil bagian di dalam tubuh MUI -yang merupakan lembaga yang dibiayai oleh negara- karena HTI jelas-jelas mencita-citakan Khilafah Islam transnasional yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.



Di era pasca Orde Baru, HTI dan beberapa kelompok Islam radikal lainnya yang bercorak Salafi-Wahabi tumbuh dengan pesat bak jamur di musim hujan. Di zaman Orde Baru, mereka lebih memilih berdakwah secara sembunyisembunyi dengan mengkamuflase kegiatannya seolah-olah sebagai kegiatan yang murni yang bersifat keagamaan. Namun, setelah terjadinya era demokratisasi yang ditandai dengan munculnya kebebasan berekspresi dan berpendapat, kelompok-kelompok ini makin menunjukkan taring serta nafsu kekuasaanya dengan mengusung agenda Islamisasi negara sebagai alternatif terhadap krisis sosial-politik.



Dalam menyebarkan agenda ideologisnya, para kelompok Islam radikal kerap bersembunyi di balik dalih tarbiyah dan jargon amar maruf nahi mungkar, sehingga banyak orang menjadi tertipu dengan modus mereka, terlebih mereka sering menjual dan mengobral simbol-simbol keagamaan di ruang publik. Kelompok Islam radikal sering mengatasnamakan NU/Muhammadiyah dua ormas Islam terbesar di Indonesia yang dikenal sebagai gerbong Islam moderatdalam dakwahnya. Dakwah mereka sedikit banyaknya dapat mengelabui sebagian umat Islam karena beberapa dari mereka sering memiliki dual membership dalam keanggotaan ormas Islam, yakni di satu sisi mengaku sebagai anggota NU atau Muhammadiyah, namun di sisi lain mereka juga merupakan bagian dari kelompok Islam radikal. Adanya dual membership tersebut telah mempermudah mereka untuk menggiring masyarakat mengikuti ideologinya karena masyarakat menganggap mereka sebagai bagian dari NU/Muhammadiyah. Setelah sukses merekrut banyak jamaah, mereka akhirnya akan menegasikan segala prestasi yang telah dicapai oleh NU/Muhammadiyah.



Strategi jitu lainnya yang sering digunakan oleh kelompok Islam radikal untuk menyebarkan agenda ideologisnya, yakni dengan menyusup ke dalam keanggotaan pengurus masjid. Pada awalnya, mereka menawarkan diri untuk menjadi cleaning service gratis di masjid-masjid, sebagaimana yang dilakukan di beberapa masjid milik jamaah NU. Namun perlahan tapi pasti, setelah posisi mereka telah menjadi kuat dalam struktur keanggotaan takmir masjid, mereka akan mengajak rekan-rekannya bergabung. Mereka lalu membuat aturan yang ketat sesuai dengan apa yang telah disepakati dan diyakini oleh kelompoknya. Puncaknya, mereka mengambil alih pengelolaan masjid tersebut untuk menyebarkan pemahaman radikal yang mereka yakini. Itulah sebabnya Gus Dur sering mengingatkan pada mayoritas umat Islam agar berhati-hati dengan kelompok ini karena mereka ibarat musuh dalam selimut.



Dalam menjalankan aksinya, kelompok Islam radikal banyak mendapatkan pendanaan yang cukup besar dari Timur Tengah, khususnya dari lembaga yang bernama Rabithath al‟ Alam al-Islami yang berbasis di Arab Saudi. 33 Tujuan mereka tidak lain adalah untuk mengubah ideologi negara menjadi ideologi Islam yang didasarkan pada penafsiran tekstual sebagaimana yang diyakini oleh kelompok mereka. Kelompok Islam radikal meyakini bahwa Pancasila bersifat bid’ah bahkan haram karena tidak mengacu pada syariat Islam. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang dipimpin oleh kafir sehingga pemerintahnya tak perlu dipatuhi. Dalam batas tertentu, mereka meyakini bahwa suatu pemerintahan yang tak menggunakan landasan syariat sebagai acuan dalam bernegara, maka orang-orang yang berada di dalam negara tersebut dapat membangkang dan memberontak pada pemerintah.



Apa yang diyakini oleh kelompok Islam radikal, tentu sangat bertentangan dengan teologi politik Sunni yang diyakini oleh mayoritas kaum muslim Indonesia. Teologi politik Sunni meyakini bahwa umat Islam tidak boleh membangkang dan memberontak terhadap penguasa selama mereka masih dapat mempraktikkan agamanya. Bila terdapat kekeliruan yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan tugasnya, maka tugas ulama adalah mengingatkan dan menasehati penguasa. Oleh karena itu, untuk mengcounter paham Islam radikal yang semakin menjamur, maka Gus Dur dengan giat mempromosikan paham Islam moderat yang menjunjung tinggi pluralisme dan toleransi. Bagi Gus Dur, sikap moderat bukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya, sikap terlalu keras -di mata Gus Dur- telah menyimpang dari batasanbatasan ajaran agama.



Komitmen Gus Dur terhadap pluralisme yang diwujudkan dalam bentuk pembelaan terhadap kaum minoritas sebenarnya telah Gus Dur tunjukkan jauh sebelum ia menjadi presiden. Di zaman Orde Baru tepatnya di tahun 1996, Gus Dur mengegerkan publik karena ia membela sepasang pengantin, bernama Budi Wijaya dan Lanny Guito yang beragama Konghucu. Pasangan tersebut mendapatkan kesulitan saat ingin mencatatkan pernikahannya di Kantor Catatan Sipil Surabaya. Pegawai Catatan Sipil menolak mencatatkan pernikahan tersebut karena agama Konghucu dianggap bukan sebagai agama yang diakui di Indonesia. Pasangan pengantin tersebut akhirnya diminta untuk memilih satu dari lima agama yang diakui negara kala itu agar pernikahan mereka dapat dicatat dan diakui oleh negara.



Setelah Gus Dur berhasil menjadi presiden, ia mengembalikan harkat dan martabat warga keturunan Tionghoa yang selama ini dipasung oleh rezim Orde Baru. Gus Dur menunjukkan keberpihakannya dengan menghapus aturan Orde Baru dalam Inpres Nomor 14/1967 yang melarang warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Indonesia merayakan peringatan Imlek serta kegiatan keagamaan dan adat-istiadat Tionghoa secara terbuka. Naiknya Gus Dur menjadi presiden tidak sepenuhnya ditandai dengan berbagai keberhasilan, sebaliknya era pemerintahannya ditandai dengan sejumlah catatan merah. Salah satunya adalah Gus Dur dianggap gagal meredam eskalasi konflik Islam-Kristen yang terjadi di Ambon ketika berkuasa, padahal selama ini ia dikenal sebagai tokoh yang konsen mempromosikan gagasan pluralisme dan juga aktif membangun dialog antara umat beragama.



 

Adapun gagasan pluralisme yang diusung oleh Gus Dur adalah suatu gagasan yang tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan lahir dari suatu proses pergumulan yang cukup panjang, yang diwarnai oleh persinggungan dengan berbagai tradisi pemikiran. Pluralisme yang diusung Gus Dur bukanlah suatu pandangan yang bermaksud ingin menyamakan semua agama. Gus Dur menyadari bahwa setiap agama tentu memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing. Pluralisme adalah suatu pandangan yang tidak hanya berbicara tentang pentingnya menghargai keragaman, namun ia juga adalah sebuah bentuk kontribusi aktif dalam keragaman itu sendiri.

 



Bagi Gus Dur, keragaman adalah sebuah sunnatullah yang telah didesain dan ditetapkan oleh Tuhan agar manusia dapat saling belajar satu sama lain untuk saling mengisi dan saling menyempurnakan. Di mata Gus Dur, pluralisme bukanlah suatu konsep yang negatif sebagaimana yang sering dituduhkan orang karena secara substansi, pluralisme sejalan dengan nilai Islam, Pancasila, dan juga konstitusi negara di mana ketiganya memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap nilai-nilai hak asasi manusia dan kesetaraan. Karena itu, gagasan pluralisme dapat menjadi tawaran untuk mengawal Indonesia ke depan agar terhindar dari mengerasnya paham radikalisme agama.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Pluralisme dalam Pandangan Gus Dur

Terkini

Topik Populer

Iklan