Oleh: Feri Dhani Hasri
WASATHA.COM - Pada ruang lingkup yang lebih luas, pembahasan mengenai jilbab ini telah menjadi diskusi, perdebatan, dan bahkan menjadi tolak ukur keimanan seseorang. Pembahasan mengenai jilbab sudah ada sejak dahulu dan kembali mencuat setelah Muhammad Quraish Shihab seorang ulama modern menyebutkan pemahamannya mengenai jilbab, ia mengatakan bahwa seorang wanita itu tidak harus memakai jilbab.
Namun ia menjelaskan bahwa ia hanya menjabarkan beberapa pendapat mengenai kewajiban berjilbab dan tidak atau belum menentukan pilihan akan mengikuti pendapat yang mewajibkan atau yang tidak mewajibkan. Menurut Quraish Shihab masalah jilbab tidak selalu harus dipandang dari wajib atau tidaknya. Ia juga berpendapat bahwa jika ditinjau dari kondisi sekarang ini, perempuan muslimah yang berjilbab tidaklah seideal dan seanggun dengan apa yang digambarkan sebagai muslimah yang taat, hal itu ia pertegas dengan mengatakan bahwa ada wanita yang berjilbab namun tingkah lakunya tidak sejalan dengan tuntunan agama Islam. Jilbab dalam konteks ini ia gambarkan sebagai mode berpakaian yang merambah kemana-mana dan bukan sebagai tuntunan agama.
Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944. Ia dikenal sebagai ulama sekaligus cendikiawan muslim yang dikenal ahli dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Ayah Muhammad Quraish Shihab, Prof. KH. Abdurrahman Shihab, seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Salah satu kontribusinya dalam bidang bidang Pendidikan ialah membina dua perguruan tinggi di Ujung Pandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), dan IAIN Alauddin Ujungpandang. Sekaligus ia juga pernah menjabat sebagai rector di kedua universitas tersebut.
Sebagai putra dari seorang guru besar, Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anaknya duduk Bersama. Pada saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat Al-Qur’an. Pendidikan formal Quraish Shihab dimulai dari sekolah dasar sdi Ujungpandang. Setelah itu ia melanjutkan Pendidikan menengah pertama di kota Malang sambal “nyantri” di pondok pesantren Darul Hadis Al-Falaqiyah di kota tersebut. Unutk mendalami keislamannya, Muhammad Quraish Shihab dikirim oleh ayahnya ke Al-Azhar, Cairo, pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua tsanawiyyah. Setelah itu ia melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar pada fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadist. Pada tahun 1967 ia meraih gelar LC (Setingkat strata 1). Dua tahun kemudian pada tahun 1969 Quraish Shihab berhasil meraih gelar M.A pada jurusan yang sama dengan judul thesis “Al-I’jaz At-Tasyri’I Al-Qur’an Al-Karim ” (Kemukjizatan Al-Qur’an Al-Karim dari segi hukum).
Pada tahun 1973 ia dipanggil pulang ke Ujungpandang oleh ayahnya yang Ketika itu merupakan seorang rector, untuk membantu mengelola Pendidikan di IAIN Alauddin. Ia menjadi wakil rector bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Disamping menduduki jabatan resmi tersebut, ia juga sering mewakili ayahnya yang uzur karena usia dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish Shihab diberi jabatan di berbagai bidang, seperti koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia Bagian Timur, pembantu pimpinan kepolisian Indonesia timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan jabatan lainnya di luar kampus. Disela-sela kesibukannya ia masih sempat merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain Penerapan Kerukunan Hidup di Indonesia (1975), dan Masalah Waqaf Sulawesi Selatan (1978). Pada tahun 1980, Muhammad Quraish Shihab Kembali ke Mesir untuk melanjutkan pendidikannya di Pascasarjana Universitas Al-Azhar di Jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin. Program pascasarjana diselesaikannya dalam waktu 2 tahun dengan disertasi yang berjudul “Nazm al-Durar li al-Biqai Tahqiq wa Dirasah” dan berhasil dipertahankan dengan nilai Summa Cum Laude (Sangat memuaskan). Ia juga mendapat penghargaan tingkat 1 (Mumtaz Ma’a Martabat Al-Syaraf Al Ula), dengan pernghargaan tersebut ia tercatat sebagai orang pertama dari Asia Tenggara yang berhasil mendapatkan gelar tersebut.
Sekembalinya ke Indonesia sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan mengantarkannya menjadi rector di universitas tersebut dari tahun 1992 sampai dengan 1998. Selain itu diluar kampus ia dipercaya untuk mengemban jabatan sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat (1985-1998), anggota MPR-RI (1982-1987), dan pada 1998 beliau dipercaya menjadi Menteri Agama RI.
Para ulama dalam menentukan batas aurat Wanita serta implikasinya dalam menentukan hukum memakai jilbab menggunakan dua seumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist. Kedua sumber hukum tersebut ditafsirkan oleh para ulama terdahulu sebagai perintah untuk menutup aurat bagi wanita Muslimah, akan tetapi para ulama kontemporer memliki penafsiran berbeda akan hal tersebut.
Ayat pertama yang dipakai para ulama dalam menetapkan Batasan aurat wanita yaitu surah An-nur ayat 31:
وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) Nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.”
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam memaknai kalimat “Illa ma zhahara” (kecuali apa yang nampak darinya (perhiasannya)). Al-Qurthubi mengemukakan bahwa Ibnu Mas’ud memahami makna Illa Ma Zhahara minha sebagai pakaian. Sedangkan Sa’id bin Jubair, Atha’ dan Al-Auza’I berpendapat bahwa yang boleh diperlihatkan adalah wajah wanita dan kedua telapak tangan disamping busana yang dipakainya. Adapun Muhammad Quraish Shihab mengartikan makna dari kalimat Illa ma zhahara minha “Kecuali apa yang (biasa) nampak darinya”, yang mana arti tersebut juga ia kutip dari ulama-ulama terdahulu. Muhammad Quraish Shihab juga mengutip pendapat dari Muhammad Tahir Ibnu Anshur, “Kami percaya bahwa adat kebiasaan suatu kaum tidak boleh untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu”.
Pada pendapatnya ini memang sekilas Quraish Shihab tidak mengatakan dengan jelas atas hukum memakai jilbab, karena dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah, pendapat yang menolak kewajiban jilbab sendiri ditampilkan dan diperkuat dengan argument-argumen Quraish Shihab sendiri, ia menjelaskan bahwa yang boleh tampak pada anggota badan adalah wajah, telapak tangan, serta kepala (rambut). Menanggapi perbedaan pendapat dari para ulama sebelumnya, Quraish Shihab berpendapat bahwa masing-masing ulama sebelumnya hanya sebatas menggunakan logika dan kecenderungannya serta dipengaruhi secara sadar atau tidak dengan melihat perkembangan dan kondisi social yang terjadi pada saat sekarang ini. Batas aurat wanita tidak ditegaskan secara jelas di dalam ayat tersebut, sehingga ayat tersebut tidak seharusnya menjadi dasar yang digunakan untuk mentapkan batas aurat wanita.
Ayat kedua yang juga terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam menafsirkan dan memaknai perihal memakai jilbab ialah Surah Al-Ahzab ayat 59:
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
Wahai nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuan dan istri-istri orang mukmin, Hendaklah mereka menutup jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak digannggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Dalam memahami ayat diatas, mayoritas ulama sepakat bahwa perintah yang tekandung pada ayat diatas tidak hanya ditujukan pada zaman Nabi Muhammad SAW saja, tetapi juga berlaku untuk saat ini dan masa yang akan datang. Akan tetapi Quraish Shihab memahami bahwa perintah tersebut hanya berlaku pasa zaman nabi Muhammad saja, dikarenakan pada zaman itu terjadinya perbudakan sehingga diperlukan pembeda antara wanita-wanita yang menjadi budak denagan wanita-wanita yang merdeka. Hal tersebut dilakukan juga bertujuan untuk menghindari kaum wanita dari gangguan laki-laki yang jail atau usil. Karena menurut Quraish Shihab sebelum ayat ini diturunkan, cara berpakaian wanita merdeka dan budak hampir sama. Oleh karena itu laki-laki yang jail pada saat itu seringkali mengganggu kaum wanita yang mereka ketahui pada saat itu ialah budak atau hamba sahaya. Maka untuk menghindari hal tersebut dan untuk menunjukkan kehormatan wanita Muslimah maka diturunkanlah ayat tersebut.
Pendekatan yang dipakai Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat yang berkaitan dengan jilbab ini ialah pendekatan Illah Al-Hukm, pendekatan ini memiliki beberapa persyaratan yang berbasis kepada kemaslahatan dan kesesuaiannya dengan Maqasid Asy-Syari’ah, alat atau metode ini digunakan oleh Quraish Shihab untuk membaca dan menafsirkan Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 59. Ayat ini memerintahkan wanita untuk mengulurkan jilbabnya dengan tujuan untuk membedakan antara wanita yang merdeka dan bukan pada kondisi saat itu. Adapun jika dilihat saat ini dimana perbudakan sudah tidak ada lagi dan juga perkembangan pakaian sudah lebih modern dan berkembang menjadi pakaian yang lebih terhormat, dan yang mengantar tidak mengganggu serta sudah menjadi budaya di masyarakat. Dan juga tidak mengurangi kehormatan seorang perempuan, sehingga berpakaian “nasional” dengan menampakkan rambut dan setengah betih bagi wanita dapat dibenarkan, hal ini disebabkan karena ketiadaan Illah Hukm dapat menetapkan kebatalan ditetapkannya hukum. Illah tersebut berupa dalalah syarahah yang dibenarkan secara jelas dalam surah Al-Ahzab ayat 59 tersebut.
Metode lain yang digunakan Quraish Shihab dalam memperkuat pendapatnya mengenai jilbab ini ialah dengan jalan Istihsan bi Al-‘Urf, ia menjelaskan bahwa landasan inilah yang menjadi pintu masuk terhadap pendapat jilbab dalam pandangannya. Metode ini sendiri menitikberatkan pada menghargai adat sebagai salah satu alas an untuk ditetapkan hukum. Dengan catatan bahwa ‘urf yang dibangun sebagai landasan hukum ini tidak melampaui hukum-hukum Islam. Ungkapan ini diilhami dengan melihat kefakuman dari ulama-ulama di Indonesia yang tidak mempermasalahkan pakaian perempuan pada saat itu. Hal ini juga yang mengilhami bahwa pakaian adat yang dipakai oleh wanita-wanita Indonesia pada sat itu sama sekali tidak menyalahi atau melanggar norma-norma agama.
Pendapat inilah yang membuat Quraish Shihab banyak mendapat kritikan karena dianggap berbeda dengan pendapat-pendapat ulama lainnya. Kritikan dari ilmuwan muslim yang ia dapatkan salah satunya ialah ketika ia mengadakan bedah buku yabg ia tulis “Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer” yang beretempat di Pusat Studi Al-Qur’an Ciputat tanggal 21 September 2006 yang sebelumnya juga pernah dilaksanakan di Wisma Nusantara Mesir pada tanggal 28 Maret 2006. Pada saat itu Quraish Shihab mendapat cukup banyak kritikan yang diuturakan oleh beberapa ilmuwan muslim seperti, Mukhlis Hanafi, Eli al Maliki, Adian Husaini dan Aep Syaipullah yang semuanya menolak pendapat beliau mengenai tafsiran Quraish Shihab surat An-Nur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59. Akan tetapi ditengah banyaknya kritikan yang diberikan kepada Quraish Shihab, ia tetap dengan pendapatnya bahwa jilbab adalah masalah khilafiyah.