Oleh: Lia Caesarina
WASATHA. COM - Dikutip dari buku yang ditulis oleh Deddy Irawan dalam bukunya berjudul ‘Tasawuf Sebagai Solusi Krisis Manusia Modern’ dikatakan bahwa modernisasi yang selalu berjalan bersamaan dengan sekularisasi telah menyingkirkan kehadiran agama dari kehidupan manusia seperti menghilangkan sudut pandang nilai-nilai agama dan spiritual terhadap alam semesta, menyingkirkan aspek rohani dan agama dari ginjang-ganjing politik, serta menghapus kesakralan nilai-nilai agama dari kehidupan. Sehingga dampak yang dihasilkan dari proses sekularisasi ini adalah manusia menjadi lebih mementingkan kehidupan duniawi daripada spiritual. Kehidupan manusia dari berbagai aspek seperti perkembangan ilmu pengetahuan, masyarakat, politik dan lain sebagainya telah terpisah dari hal-hal yang berkaitan dengan agama dan nilai-nilai spiritual yang membuat manusia modern hidup dalam kehampaan spiritual.
Di zaman yang sudah modern, terdapat beberapa pembahasan yang mengkaji tentang kelebihan penduduk atau polusi air dan udara. Tetapi hasil dari pembahasan mengenai persoalan tersebut, hanya berbicara mengenai perlunya pembangunan lebih lanjut. Manusia hanya membahas mengenai bagaimana langkah yang harus dilakukan untuk melawan penderitaan manusia akibat keadaan yang dipaksakan oleh kehidupan di bumi. Mereka hanya melihat persoalan yang tampak saja tanpa melihat apa penyebab di balik persoalan tersebut.
Tidak banyak yang menyadari bahwa permasalahan tentang sosial dan teknologi yang paling akut itu muncul dikarenakan oleh pembangunan yang berlebihan bukan karena ketertinggalan pembagunan dan runtuhnya keseimbangan antara manusia dan alam, sehingga mengakibatkan penaklukan dan dominasi manusia terhadap alam. Hanya sedikit orang yang mau menerima kenyataan bahwa perdamaian dalam masyarakat akan terwujud jika manusia mau mengambil langkah untuk berdamai dengan alam bukan dengan melakukan pembangunan yang berlebihan sehingga berdampak bagi kerusakan alam. Dan tidak semua orang pula menyadari bahwa untuk berdamai dengan alam, manusia juga harus berdamai dengan tatanan spiritual. Bukan dengan menghilangkan nilai-nilai spiritual seperti yang terjadi di zaman sekarang.
Seyyed. Hosein Nasr merupakan seorang .pemikir kontemporer yang dengan tegas. mengemukakan pendapatnya, baik itu di kalangan Timur maupun Barat. Ia jarang mendapatkan. tantangan ketidaksetujuan karena logika yang ia gunakan. dalam mengungkapkan pemikirannya jelas. Ia juga mampu mengungkapkan. pemikirannya dengan menggunakan. bahasa dan logika yang mudah di pahami. Untuk. membangun. kesadaran bersama mengenai perlukan rasa aman dan damai, Nasr dalam karya-karyanya berusaha menggabungkan antara dimensi spiritual dan dimensi rasional agar menjadi layak untuk dikembangkan. di zaman modern ini.
Seyyed Hossein Nasr lahir pada tanggal 17 April 1933 di kota Teheran Republik Islam Iran. Ayahnya bernama Seyyed Waliyullah Nasr yang berprofesi sebagai ulama, dokter, dan pendidik. Seyyed Hossein Nasr menjalani pendidikan dasar di kota kelahirannya Teheran. Kemudian ia. dikirim ke kota Qum oleh ayahnya untuk belajar pada sejumlah ulama besar dalam berbagai bidang pengetahuan seperti filsafat, ilmu kalam, tasawuf, menghafal al-Qur’an dan syair-syair klasik.
Disebutkan bahwa Nasr dikirim ke Barat untuk kemudian mendapat arahan untuk mengikuti pendidikan tingkat atas pada usia 13 tahun dan kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Massachusetts Institute of Technologi di bawah bimbingan seorang filosof Betrand Russel. Selain itu ia juga belajar filsafat Muslim di bawah bimbingan George de Santilana. Nasr melanjutkan pendidikannya di Harvard University untuk mendalami pelajaran geologi dan geofisika pada tahun 1954.
Beberapa kondisi yang mempengaruhi pemikiran Nasr adalah Pengaruh Kondisi Politik, Menelusuri. tempat. arus pemikiran politik Islam, apabila. Persia ditarik ke dalam dunia Asia, maka yang memungkinkan hal ini menjadi kenyataan adalah negara Iran. Hal ini dibuktikan dengan. meletusnya revolusi. Islam di Iran. Tahun 1979. merupakan revolusi Islam di Iran, sedangkan pada tahun 1905 terjadi revolusi Persia. terhadap Bani Qajar. Selama berlangsungnya periode oleh Bani Qajar, kaum ulama Syi’ah telah memainkan peran penting dalam kehidupan umum dan memelihara hak-hak istimewa yang telah mapan.
Pada saat pemerintahan dikuasai oleh Pahlevi (1925-1978), agama dan. juga para ulama pasif dan jauh dari politik, hal ini karena agama dikendalikan secara hati-hati. Dampak modernisasi. yang luas dari program modernisasi Pahlevi hanya. dapat dirasakan oleh sekelompok .minoritas elite tertentu, dan .kemilaunya kota. modern menutupi kondisi aktual kaum urban yang miskin dan masyarakat. desa Iran. Perasaan kecewa mulai. tumbuh dan menyebar di kalangan masyarakat luas pada tahun 1970-an. Keprihatinan akan intervensi asing dan ketergantungan .pada Barat tidak hanya dirasakan oleh sekelompok. tradisional. tetapi juga oleh generasi terpelajar modern yang mengetahui .politik di Iran, dengan demikian, .kondisi politik masa Pahlevi menyiratkan usaha sistematis meminggirkan peran ulama dalam kehidupan politik dan perannya di masyarakat.
Pengaruh Kondisi Sosial Budaya, Terjadi pergeseram yang cukup pesat dalam bidang kehidupan sosial budaya pada saat masa Reza Syah dan Muhammad Reza Syah Pahlevi, yaitu. bergerak ke arah sekuler. Kehidupan. masyarakat Iran yang pada saat itu sudah kental dengan religious-spiritual kemudian telah di ubah dan mulai diarahkan pada hal-hal yang bersifat materialis sekuler. Sosok Syah yang dikenal sangat berambisi untuk. memajukan. negerinya dengan mengadakan modernisasi dalam segala bidang walaupun pada masa itu ia harus mengorbankan sosio-kultural yang telah beberapa waktu yang lama itu kemudian akan diganti dengan yang baru atau dengan kata lain westernisasi. Dengan kecendrungan itu Syah Iran menjadi simbol kafir bagi Muslim Iran.
Ambisi Reza Syah tidak lain adalah untuk menandingi teman imbangannya dari Turki, yaitu Mustafa Kemal. Ia ingin memperkuat negerinya dengan cara memakai teknologi dan pembaharuan Barat. Pembaharuan yang dilakukan Reza bukan hanya sebatas pada teknologi tapi juga dalam lapangan sosial dan pendidikan, dengan menghilangkan pendidikan agama di sekolah-sekolah dasar dan menengah.
Pemikiran Filsafat: Melihat dari makna dan definisinya, perennial diartikan secara etimologis berasal dari bahasa latin yaitu kata perennis, yang maknanya berarti kekal atau abadi. Sehingga filsafat perennial ini dapat dikatakan sebagai filsafat keabadian. Sebagai sebuah istilah, Seyyed Hossein Nasr menyebut bahwa perenial pada dasar mulainya digunakan di Barat yang terdapat dalam sebuah buku berjudul De Perenni Philosophia pada tahun 1540 dan penulis buku ini adalah Agostino Steuco. Selanjutnya pada tahun 1715, istilah tersebut dipopulerkan oleh Leibniz dalam suratnya, yang mana di dalamnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan filsafat perennial yaitu filsafat yang membicarakan hal-hal mengenai pemisah antara yang gelap dan yang terang. Berbeda dengan apa yang disebutkan oleh Nasr, Aldous Huxley menyebutkan bahwa yang pertama kali menyebutkan istilah filsafat perennial itu adalah Leibniz.
Selanjutnya, dalam melakukan kajian bidang agama secara perennial akan diungkapkan beberapa persoalan antara lain: pertama, mengungkapkan mengenai Tuhan sebagai wujud yang absolut yang merupakan sumber dari segala yang wujud, Tuhan yang Maha benar atau sang pemilik kebenaran hanya satu sehingga pada prinsipnya semua agama berasal dari sumber yang sama. Kedua, perennial berusaha mengkaji secara kritis mengenai pluralism agama.
Pada dasarnya sebuah kebenaran dalam agama itu hanyalah satu, meskipun dua agama yang berbeda masing- masing memiliki kebenaran, hal ini karena agama diturunkan kepada manusia dalam bentuk yang fitrah dan pluralistik. Istilah Pluralisme sendiri merupakan kata yang ampuh dan juga ringkas untuk membicarakan suatu tatanan baru dimana perbedaan baik dari segi budaya, nilai-nilai maupun sistem kepercayaan, perlu untuk disadari agar manusia dapat hidup damai dalam perbedaan dan keragaman.
Dari penjelasan tersebut setiap agama memiliki kesamaan dengan yang lain sekaligus juga memiliki kekhasannya sehingga berbeda dari yang lain. Ketiga, filsafat perenial berusaha menelusuri akar religious manusia melalui pengalaman keagamaan serta simbol- simbol ritus. Dari sini filsafat perennial disebut juga sebagai upaya menemukan kembali tradisi agama yang suci, serta berusaha untuk menyatakan kembali kebenaran yang merupakan pusat dan esensi tradisi.
Secara lebih sederhananya majna dari filsafat perennial bisa diartikan suatu pandangan hidup yang sudah lama menjadi pegangan dan dipelihara oleh mereka para penganut al-hikmah, dalam istilah Kristen disebut para gnosis sementara dalam islam disebut para sufi, hal ini biasa dikenal sebagai nilai-nilai tradisional. Di dalam tradisi-tradisi esoterik juga terdapat pengetahuan dan juga pesan- pesan keagamaan yang sama, namun hal tersebut muncul melalui perbedaan nama dan dikemas dalam berbagai bentuk dan simbol, inilah yang merupakan inti pandangan dari pembahasan filsafat perenial.
Dalam perspektif Nasr, filsafat perennial diartikan sebagai filsafat keabadian yang juga diartikan sebagai kearifan tradisional. Munculnya pemikiran mengenai filsafat parenial Nasr ini tidak lain merupakan sebuah bentuk reaksi kritis terhadap apa yang pikirkan dan dilihatnya sebagai krisis manusia modern. Peradaban modern di Barat yang juga berkembang di dunia Islam, telah mengalami kegagalan dalam mencapai tujuannya karena justru menimbulkan beragam krisis eksistensialisme dan spiritual yang dialami manusia modern. Nasr menjelaskan melalui filsafat perennial ini bahwa untuk menghadapi persoalan yang sedang dihadapi oleh manusia modern ialah dengan kembali mendekatkan diri kepada Tuhan melalui tasawuf seperti halnya yang telah dilakukan oleh ulama-ulama zaman dahulu.
Dalam agama Islam terdapat doktrin tentang tauhid, hal ini juga merupakan ruang lingkup kajian kaum perenialis. Setelah mengkaji lebih lanjut tentang tauhid para pendukung perennialis mulai mengeluarkan pendapat, ternyata pesan yang ada didalam ajaran tauhid tidak seluruhnya secara eksklusif esensi pesan didalamnya hanya milik Islam, melainkan terlebih merupakan hatinya setiap agama. Mengenai doktrin tentang tauhid didalam Islam pemaknaan tentang konsep pewahyuan merupakan suatu penegasan, oleh karenanya, hal yang serupa mengenai doktrin tentang tauhid ini ditemukan dalam setiap agama.
Hampir seluruh bidang kajian salah satunya bidang kajian tasawuf dalam Islam masih sangat kental dengan tradisi perenial. Nasr berpendapat bahwa orang-orang suci terdahulu banyak mempengaruhi kajian tasawuf dalam Islam. Islam berpandangan bahwasanya banyak orang suci yang hidup sebelum dan juga setelah Muhammad, pada dasarnya dari sisi ajaran agama yang dibawa oleh Muhammad bukanlah baru, melainkan sebagai pelengkap dan penegasan kembali dari ajaran agama yang telah dibawa oleh para utusan Tuhan sebelumnya. Al-Din yang berarti ikatan, merupakan ikatan yang mengikat manusia dengan Tuhannya, ikatan yang dapat membebaskan manusia dari sesuatu yang didominasi oleh sesuatu yang derajatnya lebih rendah dari manusia. Jika manusia mengabaikan perhatiannya pada yang mutlak dan lebih mengfokuskan perhatiannya pada yang relatif, maka yang terjadi adalah jatuhlah derajat kemanusiaannya.
Seyyed Hosein Nasr juga menaruh perhatian beliau pada hal yang membahas dan mendalami mengenai tawaran alternatif untuk penyembuhan krisis spiritual manusia modern. Untuk menghadapi persoalan tersebut, menurutnya manusia ini sebenarnya hanya perlu kembali menghidupkan nilai-nilai tradisional seperti tasawuf, tradisi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan kehidupan sosial dalam bermasyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Lebih lanjut menurut Nasr, krisis-krisis eksistensialisme maupun spiritual yang dialami oleh manusia medernn yaitu ketika manusia mulai meninggalkan Tuhan dalam kehiudupannya demi mengukuhkan eksistensi dirinya. Hal ini mengakibatkan manusia kehilangan jati diri dan bergerak menuju pinggiran eksistensinya.
Adapun kesimpulan yang dapat dinarasikan yaitu, Seyyed Hossein Nasr merupakan seorang dengan intelektual yang kemampuannya sudah tidak diragukan lagi oleh para ilmuan. Ia memiliki buah pemikiran yang sangat beragam di antara pemikiran yang telah dicetuskan oleh Nasr adalah mengenai spiritualitas Islam. Pada masa beberapa kehidupan di dunia, Islam telah dipengaruhi oleh kehidupan barat dan mengalami westernisasi, pemikiran Nasr mengenai keaagamaan secara objektif mengandalkan adanya realitas suprim yang personal sedangkan agama mengandalkan kemampuan manusia dalam menerima kebenaran wahyu dalam arti dipandang secara subjektif.
Dalam filsafat perennial yang di maksud mengenai filsafat keabadian atau kearifan tradisional dalam islam. Pemikirannya mengenai filsafat perennial merupakan reaksi yang mengganggu pikirannya di saat ia melihat krisis yang terjadi pada manusia di abad modern. Peradaban modern yang berkembang di Timur maupun di Barat menurut Nasr telah gagal dalam meraih tujuannya. Oleh karena itu, filsafat perennial yang dimunculkan oleh Nasr ini merupakan respon terhadap apa yang terjadi di masyarakat modern.
Menurut Nasr untuk menghadapi persoalan ini nilai-nilai tradisional seperti tasawuf perlu untuk dihidupkan kembali, ini merupakan sebuah alternatif yang ditawarkan oleh Nasr untuk mengobati krisis yang terjadi di masyarakat. Menurut Nasr krisis-krisis eksistensialisme maupun spiritual yang di alami oleh manusia modern adalah karena manusia melupakan Tuhan demi mempertegas eksistensi dirinya sehingga hal tersebut menjadi boomerang dalam diri mereka sendiri dan membuat mereka berada di pinggiran eksistensi, sehingga hal ini membuat mereka lupa siapa diri mereka dan lupa terhadap Tuhan yang merupakan sumber dari segala yang ada.