Ia mengatakan acara akan dipandu
Mas Krisna, penyiar senior yang dalam sesi perkenalan sebelum masuk studio,
saya kemudian mengetahui Mas Krisna ini seorang penyiar kawakan di Radio Prambors
Jakarta yang terkenal itu. Banyak nama di Prambors yang kemudian mengingatkan
saya kembali tentang Radio kawula muda yang melegenda di Ibu
Kota.
Mas Krisna Purwana, Dono, Kasino,
Indro, Pepeng, Jimy Gideon, Nana Krip, Rebecca Tumewu dan sederet nama
Wadyabala lain yang sohor di Prambors rata-rata menjadi selebritas kenamaan di
belantika hiburan di tanah air yang masih dapat kita ingat sampai saat ini.
Mas Krisna memandu saya di acara “Tamu Kita”, program yang sering menghadirkan banyak narasumber beken dengan info kekinian dan inspiratif. Saya diminta berbagi tentang Aceh masa kini dan bagaimana kerja jurnalistik di provinsi paling barat Indonesia ini.
Dimulai dari jejak perjalanan ke Aceh saat musibah besar gempa dan tsunami
menghentak pada 26 Desember 2004 silam, perbincangan mulai mengerucut pada
sisi-sisi humanistik semasa musibah, padahal sebenarnya kisah ini sudah berlalu
hampir lima belas tahun silam.
Tentang budaya, kuliner, dan Aceh
kekinian dengan hukum syariat yang berlaku di Aceh menjadi pertanyaan serius
yang dilontarkan Mas Krisna untuk Aceh. Tentu, saya berbagi sesuai dengan
pengalaman dan apa yang jalani sebagai jurnalis di Aceh selama hampir 15 tahun
sebelum saya menekuni dunia kampus di UIN Ar-Raniry empat tahun terakhhir ini.
Ada pertanyaan klasik tentang ganja
Aceh yang sudah saya duga sejak awal akan muncul, penanya melalui saluran
whatsApp menyoal soal kesahihan ganja sebagai bumbu masak tradisional di Aceh.
Untuk masalah ganja, memang kerap menjadi pertanyaan serius di mana saja jika
seseorang mengetahui kita datang dari Aceh. Untuk menjawab
ini, saya perlu ekstra hati-hati agar jangan disalah tafsir yang dapat merusak
citra Aceh secara umum.
Dari Jakarta, Bogor, Jawa, dan
hingga pendengar dari Bali—melalui radio jaringan Rasil--banyak bertanya soal Aceh
dan kekinian setelah bencana tsunami, termasuk bagaimana syariat
dilaksanakan. Bagi saya ini menjadi tantangan besar menjelaskan secara detail
agar tidak menimbulkan kesalahpahaman publik di ibukota yang kebanyakan mendapat
informasi dari media.
Obrolan bersama Mas Krisna
menjadi lebih menyenangkan sekaligus menjadi moment kenangan bagi seorang pendengar setia
Radio Rasil yang pernah lama menjadi bagian masyarakat Aceh di awal tahun 1956.
Ia seorang perempuan bernama Etty Rustam (67) yang kemudian lebih sering disapa
Bundo Etty, Bundo menyapa melalui saluran telepon dan berkisah tentang Aceh masa
dahulu ketika ia kecil.
Bundo Etty seperti menemukan sesuatu yang hilang dari masa lalunya, ia dengan penuh penghayatan menyanyikan lagu Bungong Jeumpa dengan aksen bahasa Aceh yang pas. Saya dan Mas Krisna cukup terhibur dan suasana obrolan “Tamu Kita” menjadi lebih cair. Bundo paham benar sejumlah kawasan Kutaraja, ia menyebut beberapa nama jalan di Peunayong yang saat ini sudah sangat jauh berubah.
Bundo kecil adalah anak-anak Aceh
di tahun 1956 an, ia hidup sebagai anak prajurit Republik Indonesia yang mengabdi
di Tanah Rencong, tentu suasana pergolakan saat itu masih sangat terasa. Ayahnya
M. Luth [alm] bertugas terakhir di Deninteldam Daerah Aceh kawasan Setui. Kali pertama bertugas
di Langsa tahun 1956 dan pernah di Lhokseumawe tahun 1959.
Bundo kecil tentu hanyalah anak-anak yang tumbuh di usianya untuk bermain dan bermain. Bisa jadi saat itu ia tidak begitu banyak memahami peta politik dan pergolakan di Aceh. Ia masih ingat sejumlah ruas jalan, akses menuju Masjid Raya, dan Lapangan Blangpadang.
Ia bahkan bercerita pernah berenang di Krueng Aceh di bawah Jembatan Pante Pirak dan melihat lomba perahu. Kawasan Neusu, Blower, Blangpadang, Lampriek, Rumah Sakit Umum, dan Kuta Alam adalah kawasan yang masih sangat ia ingat sebagai tempat mainnya semasa anak-anak dan remaja di Aceh.
“Dulu Banda Aceh sepi mau sekolah
jalan kaki memotong jalan pematang sawah sampai ke Lampriek, sekarang mungkin sudah tak ada ya, sudah jadi perumahan padat,” kata Bundo mengenang
masa kecilnya di Banda Aceh.
Bundo Etty adalah murid SD Peulanggahan tahun 1958-1959 di kawasan Keudah. Tahun 1960 ia pindah ke SD 21 Peunayong yang pada saat peristiswa G30SPKI sekolahnya dihancurkan massa termasuk Bioskop Thun Fang dan Toko Pelangi.
Kawasan tersebut kini telah menjadi Toko Sumatera pusat belanja onderdil mobil yang menjadi primadona berbelanja pernak-pernik kendaraan orang Banda Aceh. Bioskop Thun Fang pada tahun 1967 pernah direnovasi diganti kursi tempat duduk dan berubah nama menjadi Bioskop Merpati.
Tidak jauh dari Bioskop Thun Fang terdapat stadion Perbasi tempat di mana sering digelar pertunjukan banyak band musik dari Langsa dan Medan manggung di lokasi itu. Anak muda penuh sesak, Grup band The Mercys juga pernah manggung di stadion ini selama dua malam.
Era saat Bundo Etty menetap di Kutaraja, tentu tidak seperti saat ini. Saat itu, era The Beatles sedang disukai kawula muda. Tidak heran banyak anak muda gondrong dan berambut ala Beatles, naik sepeda Phoenix yang lebih popular disebut sepeda Sabang.
Tahun 1968, Bunda Etty pindah ke
Padang mengikuti ayahnya yang purna dari TNI, padahal katanya, ia dan keluarga
sudah memiliki rumah di Mata Ie, Aceh Besar. Awal 1970, ia sudah kembali ke
Padang Panjang dan terus berkelana hingga pernah di Surabaya, karena salah satu dari anggota keluarga
besarnya juga berdinas di TNI Angakatan Laut.
Narasi Bundo Etty dikisahkan ke
saya usai siaran di Rasil melalui WhatsApp, ia begitu paham soal kawasan mana
masakan Aceh yang enak dan duriannya yang terkenal. Bisa jadi, anak-anak Kutaraja
saat dan kita yang menetap di Banda Aceh sekarang, tidak banyak mengetahui seluk-beluk
Banda Aceh saat itu.
Bundo Etty yang saat ini menetap
di Ciracas, Jakarta Timur begitu terhenyak dan sedih begitu mendalam saat gempa
dan tsunami Aceh menghancurkan Kutaraja dan kawasan yang sangat ia kenal saat masih
kecil. Ia teringat akan kawan dan karibnya semasa kecil, hanya tangisan dari
jauh yang membuncah memecah kerinduan Bunda Etty.
Program “Tamu Kita” di Radio Rasil telah menemukan satu dari banyak kepingan-kepingan sejarah Kutaraja masa lalu yang tercecer dari seorang Bundo Etty.
Tentu, ada banyak Bundo lainnya dan orangtua
kita yang tumbuh besar di Kutaraja yang saat ini tersebar di berbagai pelosok
negeri yang hanya dapat mengenang Kutaraja Tempo Dulu, bukan saat ini yang telah menjelma
menjadi Banda Aceh, Kota Gemilang. [arif ramdan]