NARASI tentang ahl al-sunnah wa al-jama’ah (ahlus sunnah wal jamaah) terlihat menguat di Aceh dan dalam kurun lima tahun terakhir seringkali menemukan momentumnya ketika bersinggungan dengan entitas bersifat politik praktis. Meski kadang muncul, teng gelam, lalu muncul kembali secara tibatiba, narasi ini ter bukti mampu memenuhi ruangruang diskusi berbagai gerakan keagamaan di wilayah ini.
Tak pelak, fenomena tersebut pun
melahirkan diskusi lain terkait hadirnya aktor di dalam gerakan yang cende
rung meletakkan dayah selaku avant garde (garda depan) untuk aksiaksi
sentripetal terhadap tema ahlussunnah. Adalah Umar Rafsanjani, sosok yang sering
disebutsebut, itu. Tatkala terma penegakan syariat, praktik ibadah, dan
gerakan dayah muncul ke permukaan, nama ini tak bisa dihilangkan. Ia bak taken
for granted atau menjadi ruh seka ligus fisik dari tema besar ini.
Nama Umar selalu berkelindan dalam
beragam aksi massa yang diklaim sebagai upaya penertiban pelanggaran syariat
hingga pembenaran pemahaman fikih yang mesti seiring sejalan dengan tradisi
yang telah mendarah daging di Aceh sebagai wilayah yang secara apriori dilakap
teuleubeh di ateuh donya (berkelas, berkasta di ranah dunia).
Umar Rafsanjani kerap menyibukkan
lalu lintas pesan berbagai platform media sosial ketika aksi bela ahlussunnah
wal jamaah dan praktik beragama yang telah dipraktikkan secara turuntemurun
berhadapan vis a vis dengan sesuatu yang berada di luar pemahaman itu. Alhasil,
banyak kalangan bertanya, siapa Umar dan bagaimana dia muncul dalam berbagai
gerakan itu? Saat isuisu ini menguat, memang, di sanalah nama Umar Rafsanjani
terkesan menemukan momentum kristalisasi.
Sudah pasti, “tak kenal maka tak
sayang”. Begitulah ungkapan lama yang sering kita dengar dan maknanya te tap
terasa benar hingga kini. Karena itu, menulis sosok Umar Rafsanjani, begitu
pula dengan sejumlah sosok lain yang pada gilirannya nanti bakal ditulis dengan
berbagai polah dari orangorang yang berada di sekelilingnya, me miliki makna
penting sebagai catatan dan dokumentasi atas berbagai fragmen yang pernah
terjadi di Aceh.
Boleh dibilang, melalui penulisan biografi ini, Umar hadir sebagai pengisi narasi pergerakan berbasis lembaga pendidikan keagamaan tradisional (dayah) setelah sekian lama sepi dari ketokohan kalangan muda. Sejak tsunami terjadi dan perdamaian 15 Agustus 2005 tercipta, tidak ba nyak sosok belia yang muncul membawa isuisu pergerak an dayah dalam dinamika keagamaan dan keacehan kon temporer.
Di sinilah terlihat
Umar dan gerakan ahlussun nah wal jamaah versinya hadir. Ia datang dengan
aksi, tidak hanya bergerak dalam wacana berbalaspantun di atas podium,
kutukmengutuk atas satu fenomena, melainkan terjun langsung melakukan tindakan
bahkan maaf, terkadang represif manakala tekanan secara lisan dianggap tidak
jua membuahkan hasil.
Maka, tak jarang, di mana ada
aksi di situ sering terli hat pribadi ini muncul. Ia bahkan pernah menjadi
sosok fenomenal ketika Ustaz Abdul Somad (UAS) melakukan safari dakwah di Aceh.
UAS menjadi lokomotif yang seca ra tidak langsung menguatkan esistensi Umar
saat Umar menjadi bagian dari tim pengamanan UAS.
Kehadirannya memberi warna tersendiri, apalagi
sepak terjangnya dalam membangun dayah bagi kalangan the have not (duafa)
pernah pula menjadi perhatian publik, yakni ketika Dayah Mini berdiri di
bantarang Krueng Lamnyong, Desa Ru koh, Kecamatan Syiahkuala, Kota Banda Aceh,
yang sempat mengundang “kontroversi”. Sesuatu yang tak lazim dan awalnya
dianggap remehtemeh, ini justru melejitkan na ma Umar Rafsanjani dalam
dinamika success story kehidu pan dayah.
Tentu saja narasi di atas tidak
an sich bisa diterima se cara hitam putih. Pasti ada banyak hal yang masih
menyisakan ruang diskusi, terutama bagi kalangan yang tidak berada pada bahtera
yang sama sebagaimana yang dikayuh Umar dalam upayanya mengarungi lautan
ahlussunnah wah jamaah.
Terlepas dari ruangruang diskusi
yang pasti bakal selalu terbuka lebar, buku yang ditulis jurnalis senior Aceh,
Arif Ramdan, ini mencoba menghadirkan sisi lain sosok yang terbilang unik.
Karena itulah, atas prinsip tak kenal maka tak sayang sebagaimana disebut di
awal, Pusat Studi Media dan Agama (Pusmed+A) bekerja sama dengan Pale Media
Prima menjembatani kehadiran biografi mini Umar Rafsanjani dan kiprahnya dalam
membangun dayah di Aceh guna menjadi produk literasi yang bisa dinikmati banyak
orang untuk menjawab sebagian pertanyaan yang sering mucul dari sejumlah
kalangan terhadap gerakan gerakan yang dilakukan Umar. Dengan membaca buku
ini, setidaknya dapat dipahami latar belakang dan riakriak yang melingkupi
kepribadian tokoh yang ditulis: sejak ia kanakkanak, saat berkiprah, hingga
pergumulan dalam proses pencarian jati diri.
Bagaimanapun, bagi kami selaku
penerbit, mencerita kan kisah hidup seseorang selalu menarik bila dituturkan
secara turuntemurun; dari satu generasi ke generasi beri kutnya. Karena itu,
upaya menulis profil dan kiprah dari sosok yang Anda baca ini sesungguhnya
adalah juga ba gian dari upaya mencatat proses sejarah seseorang agar da pat
dirujuk secara ilmiah sehingga terhindar dari potensi menjadi mitos atau
kultusisasi. Bukankah dalam tradisi yang lama berkembang di Aceh dan bahkan
masih bisa ki ta rasakan hingga kini, kita sering mendengar kisah si fu lan
dalam tradisi lisan, lalu akhirnya menjadi cerita mitos saat generasi berganti?
Di luar cerita tentang Umar Rafsanjani, sesungguhnya ada banyak sosok luar biasa yang lahir, berkembang, dan berkiprah dalam dinamika dan alur sejarah masyarakat Aceh. Visi, pengalaman, tuturan dan perjalanan hidup me reka patut dinarasikan secara literatif agar terdokumentasi dengan baik dan menjadi inspirasi (ibrah) bagi setiap yang membacanya.
Toh, siapa pun bisa ditulis atau menuliskan perjalanan
hidupnya. Ungkapan bahwa “sejarah hanya di tulis oleh para pemenang” sudah
tidak relevan lagi di era milenial saat ini. Sekecil apapun penggalan gagasan,
pro ses, dan titian pengalaman seseorang menuju citacita be sar kini dapat
disimpan dalam catatan tertulis berbentuk biografi mini. Penggalan catatan ini
dapat menjadi hikmah bagi banyak orang di kemudian hari.
Memang, tidak mudah menarasikan
sosok baru, apa lagi penuh kontroversi dan mendapat aneka respons dari
masyarakat. Subjektivitas pada setiap data yang dihadir kan dalam penulisan
sosok Umar Rafsanjani, misalnya, su dah pasti bakal memantik banyak tanggapan,
apalagi keti ka berkisah tentang jati diri yang didapat an sich dari objek
yang ditulis tanpa adanya sumber pembanding.
Namun demikian, subjektivitas
data dan fakta seperti ini pun sebenarnya dapat menjadi modal baru bagi penu
lisan bertema lain tetapi masih melibatkan sosok ini. Ba gaimanapun, berani
menuliskan sesuatu yang tercecer adalah modal bagi upaya melengkapi sejarah yang
belum sempurna.
Akhirnya, karena di dalam buku
ini terdapat kisah ten tang bagaimana Dayah Mini Darussalam yang betulbetul
mini dibangun di jantung ibu kota Provinsi Aceh, tak ber lebihan bila kami
menyebut bahwa meski sosok Umar ber tubuh mini, menghasilkan biografi mini,
dan ditulis mela lui buku yang mini pula, sesungguhnya adalah jembatan dan
fragmen dari karyakarya besar yang akan dibangun Umar, kelak.
Dalam list karya besar (maksi)
itu nanti, tentu di dalamnya terdapat pula jalinan lobi, relasi, toleransi,
persahabatan, dan silaturahim antarkomponen, aktivis,dan tokohtokoh dakwah Aceh yang
datang dari beragam latar belakang. Wa’tashimu bihablillahi jami’a, wala tafar-
raqu! []