Oleh Cut Rizqa Tanzila, Mahasiswi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Prodi Bimbingan dan Konseling, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
AHAD, 21 September, Saya, Cut Rizqa Tanzila, bersama sahabat saya Asy-Syifa Thahira, mahasiswa UIN Ar-Raniry, menyaksikan sebuah pemandangan yang mengundang renungan. Di tengah hiruk pikuk jalanan Banda Aceh, beberapa perempuan muda tampak berjalan tanpa mengenakan jilbab yang menutup sempurna. Sebagian menampakkan rambut dan leher mereka, sesuatu yang dulu jarang terlihat di tanah Serambi Mekkah.
Fenomena ini mencerminkan perubahan besar dalam dunia fashion hijab. Kini muncul tren yang disebut “jilbab trendy, pentul bebas” — gaya berjilbab tanpa peniti atau jarum pentul yang biasanya digunakan untuk mengencangkan hijab. Bagi sebagian muslimah, gaya ini dianggap lebih praktis dan modern. Namun, di sisi lain, tren ini juga memunculkan kekhawatiran tentang semakin menipisnya kesadaran terhadap batas aurat dan nilai kesopanan.
Antara Ekspresi Diri dan Tuntunan Syariat
Perkembangan media sosial turut memperkuat tren ini. Influencer hijab, fashion vlogger, dan konten kreator kerap menampilkan gaya hijab “bebas pentul” yang dianggap lebih stylish, santai, dan kekinian.
Namun di balik itu, muncul pertanyaan penting: apakah gaya bisa berdampingan dengan syariat?
Dalam Islam, menutup aurat bukan sekadar aturan berpakaian, tetapi bentuk penghormatan terhadap diri dan ketaatan kepada Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya Allah itu Maha Suci dan Maha Agung. Dia menyukai kesopanan dan kebagusan, dan Dia tidak menyukai kekotoran dan kefasikan. Maka, janganlah kamu memperlihatkan auratmu, begitu pula jangan memperlihatkan aurat orang lain.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Artinya, kebebasan berekspresi tetap perlu berpijak pada adab dan batasan agama.
Narasi Tandingan: Aman Tanpa Mengurangi Taat
Meski demikian, penting juga memahami alasan di balik fenomena ini. Sebagian perempuan memilih tidak menggunakan pentul karena faktor keselamatan dan kenyamanan. Ada kasus jarum pentul yang menyebabkan luka kecil, bahkan tertelan secara tidak sengaja. Kekhawatiran ini membuat banyak muslimah mencari alternatif yang lebih aman.
Kini tersedia berbagai inovasi seperti: Peniti khusus hijab, dirancang dengan ujung tumpul dan mekanisme pengunci yang aman. Klip magnetik hijab, menggunakan magnet lembut untuk menahan lipatan tanpa perlu jarum.
Alternatif ini membuktikan bahwa keamanan dan kepatuhan bisa berjalan bersama. Seorang muslimah tetap bisa tampil rapi, anggun, dan modern tanpa mengorbankan nilai syariat.
Kembali ke Esensi Berjilbab
Jilbab sejatinya bukan sekadar kain yang menutupi kepala, melainkan simbol kehormatan, kesopanan, dan ketaatan. Dalam konteks Aceh — daerah yang dikenal dengan penegakan syariat Islam — fenomena ini perlu dijadikan refleksi kolektif, bukan sekadar kritik terhadap gaya berpakaian.
Masyarakat, pendidik, dan keluarga perlu mengembalikan makna hijab sebagai bentuk kesadaran spiritual, bukan hanya tren sesaat. Dengan demikian, hijab akan kembali menjadi identitas muslimah yang terhormat: modis boleh, tapi tetap syar’i.
Perubahan gaya hidup adalah hal yang wajar dalam dinamika zaman. Namun, di tengah arus tren yang silih berganti, muslimah perlu bijak memilih mana yang sekadar gaya, dan mana yang bernilai ibadah. Sebab, sejatinya keindahan seorang wanita bukan terletak pada seberapa modis ia berpakaian, melainkan pada seberapa dalam ia menjaga kehormatannya di hadapan Allah SWT. []
