![]() |
sumber gambar : madinaonline.id |
Katakanlah hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku [Q.S. Al-Kafirun [109]: 1-6]
ADA beberapa versi
tentang asbabun nuzul surat ini, di antaranya yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hakim dari Said bin Mina, bahwa Al-Walid bin Al-Mughirah, Al-Ash bin Wail,
Al-Aswad bin Al-Muthalib dan Umayyah bin Khalaf menemui Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan berkata:
“Hai Muhammad, marilah kita bersama menyembah
apa yang kami sembah dan kami akan menyembah apa yang engkau sembah dan kita
akan bekerja sama dalam segala hal dan engkaulah yang memimpin kami.”
Maka turunlah surat
Al-Kafirun ini, untuk menolak ajakan tersebut. Kata kafir secara
bahasa berarti menutup dan menyembunyikan, sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
Seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. – [Q.S. Al-Hadid [57]: 20)
Pada ayat ini, Allah
mengistilahkan “para petani” dengan “al-kuffar” bentuk jamak (plural) dari kata
“kafir” karena kerja petani adalah menutup biji dengan tanah sehingga biji itu
dapat tumbuh. Sedang orang kafir menutup hatinya sehingga tidak dapat dimasuki
oleh hidayah (petunjuk Allah).
Menurut para ulama,
kafir ada lima macam:
Pertama, Kafir Inkar yaitu orang yang tidak mengakui adanya Allah,
seperti Fir’aun.
Kedua, Kafir Juhud yaitu hatinya tahu adanya Allah tetapi tidak mau
mengakui-Nya, seperti Iblis.
Ketiga, Kafir Inad
yaitu orang yang hatinya tahu adanya Allah, lidahnya mengakui tetapi tidak mau
mematuhinya, misalnya orang-orang Jahiliyah.
Keempat, Kafir Nifaq yaitu orang yang lidahnya mengakui adanya Allah
tetapi hatinya menentang, inilah orang munafiq.
Kelima, Kafir Musyrik yaitu orang yang mempercayai bahwa Allah
mempunyai sekutu seperti orang Yahudi dan Nasrani
Kepada orang-orang kafir dengan berbagai macamnya tersebut, secara konstektual Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk mengatakan dengan tegas “aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah”.
Dengan demikian, dalam
soal akidah (kepercayaan), umat Islam sama sekali tidak boleh berkompromi
dengan orang kafir. Akidah tauhid yang dimiliki oleh umat Islam tidak dapat
dikompromikan dengan kepercayaan syirik yang dimiliki oleh orang kafir. Apabila
tauhid dicampuradukkan dengan syirik, maka syiriklah yang akan menang.
Surat ini menjelaskan
dua perbedaan pokok antara Islam dan kafir yaitu perbedaan yang disembah dan
perbedaan cara menyembah (beribadah).
Dua ayat pertama (ayat
2 dan 3) adalah menjelaskan perbedaan yang disembah dan dua ayat berikutnya
(ayat 4 dan 5) adalah menjelaskan perbedaan cara beribadah. Tegasnya yang
disembah berbeda dan cara menyembahnya pun berbeda.
Orang Islam menyembah
Allah dan tidak akan mengubah-Nya, sedang orang kafir menyembah benda ciptaan
Allah dan seringkali mengubah sesembahannya.
Abu Raja Al-Atharidi, seorang yang hidup di masa Jahiliyah dan
baru memeluk agama Islam setelah Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam wafat
menceritakan bahwa pada masa jahiliyah sering berubah-ubah sembahan.
“Pada masa jahiliyah,
bila kami menemukan batu yang indah, kami menyembahnya, dan bila tidak, kami
membuat bukit kecil dari pasir, kemudian kami bawa unta yang sedang banyak
susunya dan kami perah susu itu di atas bukit (buatan tadi), lalu kami sembah
(bukit itu) selama kami berada di tempat itu.”
Selain berbeda yang disembah antara orang Islam dan orang kafir juga berbeda dalam cara menyembah. Orang Islam ketika menyembah Allah mereka lakukan dengan tenang dan khusyu’ sementara orang kafir ketika meyembah Tuhannya mereka bersiul-siul dan bertepuk tangan sebagai mana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Dan shalat mereka di sekitar
Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah
azab disebabkan kekafiranmu – Q.S. Al-Anfal [8]: 35).
Di samping bersiul dan
bertepuk tangan, sebagian di antara mereka ada yang telanjang ketika meyembah
Tuhannya.
Ayat terakhir pada
surat ini (ayat 6) adalah solusi terhadap pluralitas (kemajemukan) agama dengan
mengakui perbedaan identitas agama masing-masing dan bebas mengamalkannya
sesuai dengan kepercayaan masing-masing tanpa harus mengakui kebenaran agama
orang lain.
Apabila orang kafir
(non muslim) telah mengetahui tentang kebenaran Islam tetapi mereka menolaknya
dan bersikeras tetap menganut ajaran mereka maka mereka tidak boleh dipaksa
untuk masuk Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Tidak ada paksaan dalam (menganut)
agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan
yang benar dengan jalan yang sesat.– Q.S. Al-Baqarah [2]: 256).
Pluralitas dan Pluralisme
Pluralitas sangat berbeda dengan pluralisme. Pluralitas adalah kondisi di mana berbagai agama hidup secara bersamaan dalam suatu masyarakat. Sedangkan pluralisme adalah suatu paham yang menjadi tema dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga salah satu agenda globalisasi.
Menurut paham
pluralisme, semua agama adalah sah dan benar. Oleh karena itu semua pemeluk
agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan
agama yang lain salah.
Pluralisme juga
mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di
surga.
Paham pluralisme
tercetus di Barat akibat konflik agama di masyarakat mereka sehingga
menimbulkan ribuan korban. Atas nama agama, masing-masing pihak menghabisi
pihak yang berseberangan. Dalam kondisi seperti inilah kemudian lahir gerakan
liberalisme.
Gerakan liberalisme
ini pada awalnya bersifat politis, karena hanya untuk membatasi intervensi
gereja dalam administrasi pemerintahan.
Akan tetapi pada awal
abad 19 gerakan liberalisme ini menular ke agama Kristen Protestan yang pada
akhirnya melahirkan gerakan Liberalisme Protestan yang merupakan cikal bakal
paham pluralisme agama yang bertujuan meredam konflik agama tersebut.
Paham pluralisme
menekankan bahwa semua agama pada esensinya sama, semuanya benar, karena semua
agama tanpa terkecuali seluruhnya mengajarkan kebaikan dan ketundukan kepada
Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Benar. Oleh sebab itu, tidak satu pun di antara
agama-agama itu yang lebih superior dari yang lain.
Paham pluralisme ini
jelas bertentangan dengan ajaran Islam karena Islam mengajarkan, hanya Islam
agama yang benar, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Sesungguhnya
agama di sisi Allah adalah Islam … – Q.S. Ali Imran [3]: 19).
Pada ayat lain Allah
Subhanahu wa Ta’ala menegaskan:
Dan barang siapa mencari agama
selain Islam, maka dia tidak akan diterima dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi. – Q.S. Ali Imran [3]: 85).
Untuk menegaskan kebenaran Islam, Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Demi
Dzat yang diriku ada di tangan-Nya. Tidak seorang dari umat ini, baik Yahudi
maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku kemudian dia mati dan tidak
beriman dengan apa yang aku bawa kecuali dia akan menjadi penghuni neraka –
H.R. Muslim).
Pluralisme sangat berbahaya dalam kehidupan masyarakat. Dr. Anis Malik Taha dalam disertasinya yang diajukan di International Islamic University Islamabad menyimpulkan tiga implikasi pokok dalam agama.
Pluralisme sangat berbahaya dalam kehidupan masyarakat. Dr. Anis Malik Taha dalam disertasinya yang diajukan di International Islamic University Islamabad menyimpulkan tiga implikasi pokok dalam agama.
Pertama penghapusan agama (al-qada’ ala al-din), kedua skeptis (acuh tak acuh) terhadap agama, ketiga ancaman atas Hak Asasi Manusia (HAM).
Oleh karena itu umat
Islam harus hati-hati terhadap ide dan konsep pluralisme agama yang pada
hakikatnya hanya akan menghancurkan syariah dan akidah Islam. [sumber: minanews.net]