Tradisi ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu yang dibawa turun-temurun orang Pidie. Konon, tradisi ini adalah kebiasaan masyarakat Aceh untuk mengusir hama babi (let buy). Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1987 sudah ada meriam karbit pertama kali dibawa oleh Syeh Ali Topan dari Padang Tiji.
Foto: Khalid Muttaqim |
Oleh: Aminah Ansari
LEBARAN telah tiba, syahdu
takbir kian terdengar di seluruh penjuru perkampungan, pulang kampung untuk
merayakan hari kemenangan bersama. Kesempatan ini tentunya tidak saya sia-siakan untuk menginjakkan kaki bertemu abah umi dan bersilaturahmi dengan
kerabat di Kabupaten Pidie.
Terlebih di sana ada
tradisi yang tidak bisa ditinggalkan "toet beude trieng" yang berarti
menyalakan meriam bambu atau meriam drum modifikasi. Perang-perangan khas Pidie.
Masyarakat Pidie menjelang hari raya Idul Fitri memiliki kebiasaan mengadakan
festival Toet Bude Tring atau dalam bahasa Indonesia disebut menyalakan meriam
bambu dalam menyemarakkan hari lebaran, suara dentuman meriam trieng dan
karbit mulai bergelegar di beberapa
kampung di Pidie.
Kegiatan toet bude
trieng sudah menjadi warisan budaya dan
tradisi tahunan yang dilakukan oleh para pemuda dan remaja yang punya nyali dan telinga yang kebal suara dentuman keras.
Muasal
Bude Trieng
Mengulik sedikit
sejarah asal muasal toet bude trieng,
tradisi ini sudah ada sejak
puluhan tahun lalu yang dibawa
turun-temurun orang Pidie.
Konon, tradisi ini adalah kebiasaan masyarakat Pidie untuk mengusir hama babi (let buy), namun seiring berjalannya waktu pada tahun 1987 sudah ada meriam karbit pertama kali dibawa oleh Syeh Ali Topan dari Padang Tiji.
Konon, tradisi ini adalah kebiasaan masyarakat Pidie untuk mengusir hama babi (let buy), namun seiring berjalannya waktu pada tahun 1987 sudah ada meriam karbit pertama kali dibawa oleh Syeh Ali Topan dari Padang Tiji.
Uji coba meriam
karbit ini pertama sekali dengan menggunakan tiang listrik tetapi itu hanya uji
coba saja karena dengan tiang listrik suarnya tidak terlalu besar.
Pada masa konflik Aceh
perang DII/TII dan DOM kegiatan ini
tetap dilaksanakan walaupun kondisi Aceh pada saat itu sedang tidak aman,namun
tidak menggugurkan semangat pemuda di Pidie untuk menyalakan meriam bambu tersebut.
Ada dua macam meriam
yang di gunakan dalam kegiatan ini, meriam trieng yang berbahan baku minyak
bensin dan minyak tanah, bambu yang panjangnya mencapai 2-4 meter dan kayu
sebagai pembakar. Sedangkan meriam karbit yang berbahan baku karbit dan drum
bekas, sekali bakar menghabiskan kan 2.5 ons karbit.
Perang meriam bambu kali ini berlangsung antara Gampong Mesjid Reube dengan kampung sebelah yaitu Gampong Cut.
Gampong Mesjid menggunakan 18 meriam karbit dan 70 batang meriam bambu sedangkan Gampong Cut mempunyai 24 meriam karbit dan 100 batang meriam bambu.
Gampong Mesjid menggunakan 18 meriam karbit dan 70 batang meriam bambu sedangkan Gampong Cut mempunyai 24 meriam karbit dan 100 batang meriam bambu.
Anggaran yang
dikeluarkan untuk kegiatan ini mencapai puluhan juta
rupiah. Untuk karbit saja 300 kg seharga
tujuh juta delapan ratus ribu,satu drum bekas seharga 120.000. Ditambah lagi
untuk makan minum pemuda dan remaja yang ikut serta dalam aktivitas ini, dana
untuk membuat kegiatan ini dari penduduk gampong yang berada di perantauan.
Pada tahun 2009 pernah terjadi peristiwa mengenaskan dari tradisi itu, drum karbit meledak mengenai seorang anak kecil kelas 4 SD yang bernama Afdhalun. Ia terpental dan tangan terbakar sehingga mebuat 3 jarinya putus.
Penonton dari luar yang
hadir di acara tersebut di luar tanggung jawab mereka namun selalu diimbau
untuk menjaga keselamatan masing-masing.
Ada juga salah seorang yang ikut dalam acara ini terbakar seluruh badannya akibat tertumpah minyak tanah, beruntung ia segera menceburkan diri ke sungai yang tak jauh dari lokasi.
Ada juga salah seorang yang ikut dalam acara ini terbakar seluruh badannya akibat tertumpah minyak tanah, beruntung ia segera menceburkan diri ke sungai yang tak jauh dari lokasi.
Perang Beude Trieng ini
dimulai sejak pukul 21.00 Wib malam hingga shubuh tiba. Jeda sesaat , setelah
subuh dilanjutkan sampai amunisi habis. Jika karbit masih tersisa, toko yang
menjual karbit tersebut dan diambil kembali untuk kegiatan tahun depan.
Menariknya warga
sekitar tidak merasa terganggu dengan suara dentuman tersebut, malah ada yang
suka “mengungsi” ke daerah lain di luar radius suara dentuman tersebut bila ada
keluarga meraka yang uzur dan mempunyai bayi.
”Kalau bisa budaya ini
jangan hilang, karena ini ciri khas kami, identitas daerah kami Yang membuat
perantau penduduk kami inilah dia, kegiatan teut bude treing,” ungkap Rusdi
selaku pemuda Gampong.
Tradisi menyalakan
meuriam hingga kini terus meriahkan oleh orang Pidie untuk menjaga tradisi
turun menurun dari nenek moyang mereka.
Seiring dengan peekembangan zaman, meriam tidak dibuat lagi dengan bambu
melainkan dengan drum minyak yang telah dimodifikasi. []