https://my-best.id/19013
Tak bisa di khianati, pernyataan yang sempat di utarakan oleh Imam Al-ghazali sangat memotivasi bagi kita yang sedang mencari kepopuleran. Caranya yaitu dengan menjadi seorang penulis. Namun, untuk menjadi seorang penulis tak mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan. Banyak hal yang mesti dipersiapkan seperti penguasaan disiplin ilmu pengetahuan, pembaharuan seni dalam menulis, kepekaan terhadap isu-isu yang terjadi, serta memiliki sudut pandang tertentu. Jika ke-empat elemen ini di gabungkan, lengkaplah sudah. Dan untuk memulai menulis, rasanya tak akan sesulit seperti apa yang di bayangkan orang-orang saat ini.
Keterampilan dalam menulis, sebagaimana dianjurkan dapat ditempuh mulai sekarang. Yaitu dengan membiasakan diri dalam menulis, memanfaatkan portal dan laman dunia maya seperti facebook sebagai awal untuk memaparkan ide dan gagasan untuk menjadi seorang penulis. Namun, Kenyataan yang sering terjadi di kalangan kita saat ini adalah orang hanya “bermain” Facebook bukan “menggunakan” Facebook untuk menyampaikan gagasan kita.
Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri,j ada anggapan bahwa setiap yang ada di facebook semuanya menggunakan tulisan seperti menulis status, dan menulis caption foto. Memang benar semuanya dalam bentuk tulisan. Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat disandingkan dengan literasi. Karena dalam pengertiannya literasi lebih bertujuan kepada meningkatkan pengetahuan pembaca dengan informasi yang bermanfaat.
Kesalahpahaman berikutnya yang sering terjadi adalah banyak orang beranggapan bahwa setiap tulisan yang pernah dimuat di media massa cetak (Koran) menjadi tolak ukur bagusnya sebuah tulisan. Ini menyesatkan, bahkan tulisan-tulisan yang bagus dan menarik, saat ini banyak bertebaran di mana-mana.
Untuk mendukung keterampilan menulis, membaca menjadi hal yang patut di lakukan. Memperbanyak ilmu pengetahuan dengan membaca untuk melatih otak lebih peka memahami pesan yang disampaikan, serta sebagai sarana dalam melatih menerjemahkan pemikiran dalam bentuk sebuah tulisan.
Ada satu hal lagi yang patut di perhatikan, yaitu mencatat. Memang betul, menulis adalah jmencatat. Tetapi mencatat yang dimaksudkan di sini adalah proses dalam mengumpulkan data atau bahan untuk dijadikan sebagai sebuah tulisan. Mencatat sumber-sumber yang kiranya bermanfaat terhadap tulisan kita nantinya, karena ingatan dan memori manusia itu terbatas.
Hal yang perlu di tegaskan adalah bahwa aktivitas menulis itu bukanlah sepaket dengan menjadi penulis. Keduanya merupakan hal yang berbeda namun sangat berdekatan. Seperti mengatakan bahwa pembaca buku bukanlah sekaligus menjadi seorang kritikus buku. Kita menulis karena kebutuhan kita sebagai manusia dalam memahami, sedangkan pembaca kaya dengan pengetahuan dan kaya dengan sudut pandang.
Untuk memperbaiki kualitas tulisan, sudah barang tentu kita harus berlatih setiap hari. Jika tidak, tentu hambatan untuk menulis akan menjadi lebih besar dan semakin panjang. Namun, hal itu tak akan menjadi masalah. Banyak Media Sosial yang bisa kita jadikan sebagai sarana latihan dalam menulis, seperti laman Facebook atau Blog. Akan tetapi yang menjadi permasalahan ialah kita tidak sering membaca. Bagaimana bisa kita menulis jika tidak tau gagasan apa yang ingin di tulis, mungkin awalan dari paragraf pertama saja akan membingungkan untuk memulainya.
Poin penting yang perlu di utamakan oleh seorang penulis, yaitu mengedepankan "hati nurani". Mengapa demikian? karena penulis itu tidak terikat dengan undang-undang atau aturan yang membelenggunya untuk menulis sesuatu. Tak dapat dipungkiri dalam menulispun mempunyai kode etik tersendiri. Tapi dalam urusan tema dan jenis tulisan tidak ada aturan yang melarang seseorang untuk menulis sesuatu. Maka, jangan sampai hanya gara-gara kepuasan terhadap nafsu menulis semata, orang lain yang menjadi korban akibat dari tulisan kita. Oleh karena itu, perlu kebijaksanaan dalam menulis. Jangan sampai perbuatan menulis malah mendekatkan kita kedalam api neraka.
Selanjutnya, kurangi mengutip quote atau narasi para tokoh jika kita sendiri tidak memahami betul dengan pernyataan yang di sampaikan oleh para tokoh tersebut. mungkin ini yang sering sekali terjadi, malahan sering kita jumpai di media sosial. Mengutip quote, kredo atau narasi merupakan pekerjaan mudah secara teknis dan mewah secara ilmiah. Jika ingin nampak megah bak cendikiawan dalam menulis, cara instannya cukup dengan mengutip quote. Tapi, hanya mereka yang kurang asam saja yang akan terkesima padanya.
Jika memang benar kita pembela ilmu pengetahuan, tidak mungkin setega itu kita mengambil pemikiran para tokoh dan mencatut begitu saja tanpa memahami state-mind (gagasan pemikiran) dari pernyataan tokoh itu sendiri. Hanya karena kepuasan agar dianggap seorang cendikiawan yang gemar mengutip quote-quote dari para tokoh terkenal. Tanpa pikir panjang langsung mengunggah di status media sosial tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Jika sudah seperti ini, siapa yang akan bertanggung jawab? Narasi "islam nusantara" dari Quraish Shihab di pahami secara pekat oleh publik tanpa memperdulikan konteks main-idea dari penulis yang menyatakan bahwa islam di Indonesia mempengaruhi adat, dan kadangkala adat yang mempengaruhi islam, seperti adat "peusijuk" di aceh umpamanya. Atau siapa yang akan bertanggung jawab, jika Omnipontace Paradox (paradox ketuhanan) dengan pertanyaan "dapatkah tuhan menciptakan batu yang sangat besar, sehingga tuhan sendiri tidak sanggup mengangkatnya?" malah di anggap publik sebagai konsep atheisme dan membuat orang tidak mau mempelajari dan hanya menerima konsep tuhan sebagaimana adanya. Padahal jika di pelajari malah akan menambah iman, dengan membandingkan sifat batu dengan sifat tuhan yang maha kuasa.
Maka, aktivitas menempelkan sesuatu yang tertumpah-ruah di internet tanpa memedulikan tanggung jawab moral serta pendalaman ilmu pengetahuan, cocoknya di anggap sebagai "orang sesat lagi menyesatkan". Menyesatkan orang lain, dengan memunculkan opini publik yang menyalahi dengan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Seperti penyataan sebelumnya "menulis tidak sepaket dengan jadi penulis", malahan menulis di sebabkan karena kepentingan kita dalam memahami sesuatu. tapi, mencatat itulah yang penting, mengumpulkan data-data serta memahami dasar ilmu pengetahuan untuk kebobotan terhadap tulisan yang akan kita angkat nantinya. [Zul Akhyar]