T Lembong Misbah |
BUDI dan Geri adalah teman sekampung dan sekelas pada Sekolah Menengah
Pertama (SMP) di daerah pedalaman. Jarak rumah mereka lumayan jauh dan harus
berjalan kaki, tidak ada kendaraan antar jemput atau mobil umum sebagaimana di
kota-kota.
Pagi itu seperti biasa mereka bergegas ke sekolah pukul 06.00 pagi, tak
dinyana di tengah jalan hujan turun dengan lebat, sehingga mereka harus
berteduh di sebuah gubuk. Selang beberapa saat menunggu cuaca semakin buruk,
hujan tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti, malahan bertambah deras.
“Kawan! mari kita ambil daun pisang sebagai payung, sebab jika kita tunggu
hujan sampai reda kita akan terlambat ke sekolah,” ajak Budi.
“Tidak! nanti kita akan basah kuyup dan sesampainya
di sekolah akan ditertawai oleh teman-teman,” jawab Geri.
“Baik! Jika begitu
saya akan terjang hujan lebat ini, apapun risikonya,” imbuh Budi.
Dengan daun pisang yang tidak begitu lebar, Budi akhirnya sampai ke sekolah
tepat pada saat lonceng tanda masuk berbunyi.
Semua siswa bergegas ke dalam
kelas masing-masing. Sebelum masuk, Budi memeras-meras baju dan celana yang
melekat di badannya, maksudnya agar air hujan yang diserap oleh pakaiannya
tidak terlalu menetes di lantai.
Guru yang mengajar pagi itu, sempat melihat dari kejauhan apa yang
dilakukan oleh Budi. Ketika masuk kelas, sang ibu guru yang kebetulan sebagai
kepala sekolah merasa takjub dengan kegigihan anak didiknya itu menerjang hujan
lebat, sehingga ibu kepala Sekolah memanggil Budi dan memberikan satu stel baju
sekolah, untuk mengganti bajunya yang basah kuyup.
Keesokan harinya, seperti biasa ibu
guru mengabsen satu-persatu siswa yang hadir. Tiba giliran Geri, sang guru
menanyakan kenapa kemarin Geri alpa, tidak hadir tanpa keterangan.
“Hujan bu!” jawab Geri spontan.
Mendengar jawab Geri yang gelagapan itu, teman-teman
sekelasnya sontak tertawa serentak. Muka Geri tampak memerah menahan rasa malu ,
sebab dia sadar temannya Budi walau hujan lebat tapi ia tetap sampai ke sekolah
tidak seperti dirinya menyerah di tengah jalan.
Begitulah terkadang, kita acapkali membayangkan sesuatu yang sebenarnya
tidak terjadi, kita takuti diri kita dengan sesuatu yang tidak ada, kerap pula diri
kita diikat dengan simpul-simpul mati yang akhirnya menjepit diri kita sendiri.
Bayangan Geri akan ditertawai temannya jika sampai ke sekolah dengan basah
kuyup, ternyata tidak menjadi kenyataan, malahan Budi diberi hadiah oleh ibu
guru. Konon Gerilah yang ditertawai oleh teman-temannya, saat mengatakan alasan
tidak sekolah karena hujan.
Oleh karena itu berat ringannya suatu pekerjaan bukanlah ditentukan oleh
volume atau beban kerja sendiri, akan tetapi lebih pada bagaimana seseorang
memandang pekerjaan itu.
Orang bijak acapkali berujar “Pekerjaan berat
menjadi ringan bagi orang cerdas, dan
pekerjaan kecil menjadi besar bagi orang kerdil.
Kita boleh saja punya seribu masalah, namun jika kita punya seribu lima ratus penyelesaiannya maka kitalah pemenang itu, tapi walaupun masalah itu hanya satu, dan menyerah untuk mencari penyelesaiannya, maka jelas kita akan menjadi pecundang.
Kita boleh saja punya seribu masalah, namun jika kita punya seribu lima ratus penyelesaiannya maka kitalah pemenang itu, tapi walaupun masalah itu hanya satu, dan menyerah untuk mencari penyelesaiannya, maka jelas kita akan menjadi pecundang.
"Kekalahan itu tidak memalukan, yang memalukan itu adalah
menyerah."
Barangkali ungkapan Liliyana Natsir saat memproklamirkan diri
untuk gantung raket di atas dapat menghunjam jiwa kita yang kadang rapuh dalam
penyelesaian tugas atau mengejar mimpi dan cita-cita kita.
[T Lembong Misbah adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Wakil Dekan Bidang Kerjasama dan Kemahasiswaan. Email : lembong.info@gmail.com]
[T Lembong Misbah adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Wakil Dekan Bidang Kerjasama dan Kemahasiswaan. Email : lembong.info@gmail.com]