WASATHA.COM, Banda Aceh - Manusia yang diciptakan Allah sebagai makluk sempurna untuk menjadi khalifah di atas permukaan bumi, mempunyai potensi kemuliaan yang bisa melebihi malaikat sekalipun, bahkan juga sebaliknya juga berpotensi mendapat kehinaan yang posisinya lebih rendah dari binatang dan hewan ternak.
Untuk menentukan masing-masing potensi tersebut, itu sangat tergantung bagaimana seorang manusia itu dalam menjaga hati dan mengelola hawa nafsunya, apakah ditundukkan untuk taat kepada semua perintah Allah untuk mencapai derajat kemuliaan atau malah memperturutkan segala nafsu tanpa kendali, sehingga manusia memasuki jurang kehinaan yang serendah-rendahnya.
Demikian antara lain disampaikan Habib Abdul Haris bin Sholeh Al-Aydrus (Pimpinan Majelis An-Nur, Lamjabat, Banda Aceh) saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Kantor LKBN Antara Biro Aceh, Rabu (30/1/2019) malam, yang dipandu moderator Ustaz Mujiburrijal.
"Di balik kesempurnaan yang dimiliki manusia, hal lain yang tidak boleh terlupakan adalah potensi yang diberikan Allah SWT kepada kita potensi kemuliaan yang bisa melebihi malaikat, dan potensi yang bisa lebih rendah dari binatang," ujar Habib Abdul Haris didampingi Ketua KWPSI, Azhari.
Diterangkannya, dalam Alquran telah ditegaskan dua posisi manusia yaitu dalam Surat At-Tin ayat 4-6 yang artinya, "Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya.
Tugas manusia menurut Habib Haris terkait dua potensi tersebut adalah, menghargai potensi kemuliaan, dan mengontrol sifat hewaniah dalam diri setiap manusia.
Alumni Darul Mustafa, Tarim, Yaman Selatan ini juga mengungkapkan empat sifat hati manusia yang menjadi pemicu awal perbuatan pada setiap orang.
Pertama, sifat Rububiyah yaitu sifat “ketuhanan” yang terdapat pada diri manusia yang apabila telah menguasai diri manusia maka ia ingin menguasai, menduduki jabatan yang tinggi, menguasai ilmu apa saja, suka memaksa orang lain dan tak mau direndahkan, maunya hanya dipuji. Juga kecenderungannya takabbur, membanggakan diri, riya (suka pujian dan sanjungan), popularitas, dan sebagainya.
Kedua, sifat Syaithaniyah, yaitu sifat “kesetanan” yang ada pada diri manusia yang apabila telah menguasai dirinya ia akan suka merekayasa dengan tipu daya dan meraih segala sesuatu dengan cara-cara yang jahat. Dari sini muncul iri, dengki, hasut, sewenang-wenang, menipu, berdusta, dan lebih condong perbuatan munafik.
Ketiga, sifat Bahimiyah, yaitu sifat manusia berupa “kehewanan” yang apabila telah menguasai dirinya ia akan rakus, tamak, suka mencuri, makan berlebihan, egois, suka berzina, berperilaku homoseks dan memperturutkan syahwat (halal haram sama saja) tanpa pengendalian.
Keempat, sifat Sabu’iyah, yaitu sifat “kebuasan” yang apabila menguasai diri manusia ia akan suka bermusuhan, berkelahi, suka marah, suka menyerang, suka membunuh, suka memaki, suka bermusuhan, sadis, kejam, marah, memukul, dan sebagainya.
"Empat sifat hati manusia tersebut tidak tumbuh dan berkembang secara sekaligus tetapi melalui tahapan-tahapan atau secara berangsur-angsur," terangnya.
Dalam diri manusia sifat bahimiyah biasanya yang lebih dulu ada dan dominan, kemudian disusul sifat subu’iyah pada berikutnya. Kedua sifat tersebut kemudian berhimpun menjadi kekuatan jahat sehingga menyeret akalnya ke sifat syaithoniyah. Setan bersarangnya di dalam hati sehingga setiap pergerakannya sudah dikuasai oleh ketiga sifat tersebut yang membuat akal dan hati menjadi mati (tertutup).
Dengan kondisi ini seseorang akan terjebak pada diri sendiri (pengakuan) seperti lebih hebat, lebih pintar, lebih kaya, lebih kuat, lebih baik, lebih tampan/cantik, dan sebagainya, karena itu yang lebih mendominasi. Pengakuan itulah yang akan mendorongnya memiliki sifat rububiyah (ketuhanan).
"Pertama kali yang tumbuh sifat kehewanan “Bahimiyah”. Melalui sifat ini manusia suka makan, tidur, syahwat agar dapat tumbuh sehat. Selanjutnya yang kedua adalah sifat kebuasan “Sabu’iyah” atau yang disebut dengan nafsu amarah “al-ghadabiyah”. Dengan sifat ini manusia dapat menolak sesuatu yang dapat megancam dan merugikan dirinya seperti ingin menyerang, membunuh, memaki, berkelahi dan lainnya," ungkapnya.
Sifat kesetanan “syaithaniyah” tumbuh pada diri manusia setelah tumbuh sifat kehewanan dan kebuasan. Bila kedua sifat tersebut sudah ada pada diri manusia, maka setelah manusia mulai bisa berpikir (sekitar 7 tahun), maka berbagai cara akan dilakukan untuk memenuhi nafsunya. Di sini manusia akan melakukan tipu daya, rekayasa dan halalkan segala cara demi mencapai apa yang diinginkannya.
Melalui sifat ketuhanan manusia ingin menguasai, memiliki segalanya, ingin berkuasa, menduduki jabatan setinggi-tingginya. Di sini manusia akan merasa berbangga diri, sombong, ingin dipuji, merasa paling benar dan lain sebagainya.
Selain empat sifat pemicu dosa pada diri manusia, Allah SWT juga menganugerahi manusia berupa akal. Fungi akal ini adalah untuk mengendalikan keempat nafsu) tersebut.
Dengan akal, sifat “Bahimiyah” yang ada pada manusia, akan dikendalikan untuk hal-hal yang benar, seperti makan dan tidur secara teratur dan syahwat setelah menempuh pernikahan.
Dengan akal, sifat manusia “Sabu’iyah” akan dikendalikan menjadi pemberani, membela kebenaran agama, menolak kebatilan demi kemaslahatan.
Dengan akal, sifat manusia “syaithaniyah” akan dikendalikan menjadi berhati-hati, seperti mampu menahan hawa nafsu, qana'ah, iffah, zuhud, jujur, tawadhu, dan sejumlah sifat baik lainnya. Manusia dengan hati yang demikian itu, senantiasa mengingat Allah.
Dengan akal, sifat manusia “Rububiyah” akan dikendalikan menjadi seorang pemimpin, manajer dan pelayan bagi orang lain yang tidak sombong dan otoriter.
"Berbagai sifat buruk dan hati yang kotor itu akan terkikis dengan taat pada Allah. Hatinya condong untuk ibadah, karena setiap ibadah itu ada zikir. Mari kontrol diri kita sendiri masing-masing. Allah telah muliakan kita dengan Islam, tapi kalau kita jauhi Islam, maka akan Allah akan hinakan kita sejak di dunia, hingga di akhirat kelak," pungkasnya.