Sehat Ihsan Sadiqin |
MENGAWALI pagi di tahun baru 2019, saya duduk di warung kopi. Warung tua yang sudah diperbaharui. Menghadap sungai dan persawahan.
Pemandangan hijau menentramkan di pagi hari. Ditemani beberapa teman, kami bercerita tentang apa yang telah terjadi setahun yang lalu. Prestasi, kegagalan, lelucon, dan kebodohan-kebodohan yang telah kami lakukan.
Menikmati kopi pagi bukan hal yang baru bagi saya, dan bagi banyak orang lain di dunia. Hanya saja duduk di pagi awal tahun mengingatkan saya pada satu pepatah lama. Engkau akan menuai apa yang engkau tanam.
Sepupu tua saya datang ke Banda Aceh beberapa hari yang lalu. Katanya mumpung liburan sekolah dan tahun baru ia mengajak anak-anaknya main ke Banda.
Ia bercerita tentang apa yang sedang terjadi di kampung. Mereka baru saja memulai musim bersawah. Tahun lalu, katanya, padi sangat bagus. Hampir tidak ada orang yang panen buruk.
Kecuali mereka yang tidak merawat tanamannya dengan baik. Atau mereka yang menggunakan bibit tua, hasil dua tiga kali panen sebelumnya.
Menuai hasil di akir periode tertentu dalam pekerjaan dan hidup adalah sebuah perayaan. Mereka yang menyemai padi akan merayakannya dengan menuai gabah.
Mereka yang menyemai sayuran dan palawija, akan merayakannya dengan menuai palawija tiga empat bulan kemudian. Atau bisa lebih cepat.
Mereka menanam jasa, merayakannya dengan gajian di akir bulan. Mereka yang menanam budi akan bersyukur dengan budi lain yang diperolehnya, walau kadang tidak disadarinya.
Jumlah, kualitas, kepuasan yang kita peroleh saat menuai ditentukan oleh banyak hal. Pertama tentu saja bibit yang digunakan.
Seperti halnya padi, bibit lama yang diambil dari padi sebelumnya akan menghasilkan padi yang jelek. Sebab padi sebelumnya sama sekali tidak disiapkan untuk bibit melainkan untuk konsumsi.
Kedua, perawatan. Setelah menanam tanpa merawat pastilah kita menuai hasil yang buruk. Proses alam sunnatullah. Namun tanpa usaha hasilnya pasti parah.
Padi harus dijaga airnya, dipupuk, dibersihkan, dilindungi dari hama. Ketiga, penyerahan diri kepada pemilik segala. Kita sudah menyemai bibit bagus, merawat dengan baik, hasilnya adalah anugerah.
Di sana kita perlu berdoa. Bukan untuk mengubah takdir, tapi merasa iklas dengan apa yang akan kita peroleh dan bersiap dengan prosea berikutnya.
Saya menyaksikan sekeliling di warung kopi itu. Semua orang duduk mendapatkan apa yang dipesannya. Mereka menikmati apa yang ada di meja walau terkadang rasa dan kualitas tidak seperti yang diharapkannya.
Duduk di sana dan menikmati suasana adalah anugerah lain di luar yang dibayar nantinya. Bukan tidak berharga, namun keindahan alam di luar warung kopi, keramaian, keakraban, tertawa, adalah nikmat-nikmat lain yang diperoleh dan bisa jadi sebagai kompensasi atas ketidakpuasan atas makanan yang dibayarnya.
Di awal tahun baru ini, segelas kopi semangat, sepotong kue tekat, dan seberkas senyum optimis dari teman-teman adalah bibit yang akan saya semai untuk menjalani 365 hari ke depan.
Seraya berniat dengan tulus untuk memupuk, menjaga, semangat, tekat, dan optimis hari ini, tidak lupa kita serahkan semuanya kepada Allah.
Semoga panen di akir tahun nanti adalah panen terbaik yang pernah kita dapatkan. Bismillah. [Sehat Ihsan Sadiqin adalah Etnografer Aceh Penikmat Kopi]