CUACA sangat terik, suhu di luar rumah berkisar 27 derajat celcius ketika
saya mengunjungi makam
sekaligus rumoh Teungku
Chik Di Awe Geutah, di Desa Awe Geutah, Kecamatan Peusangan
Siblah Krueng, Bireuen.
Ini kali kedua saya mengunjungi tempat tersebut, setelah sebelumnya berkunjung. Juru
kunci sekaligus ahli waris Teungku Chik Di Awe Geutah yang dapat menjelaskan
mengenai peninggalan ulama besar ini sedang tidak berada di tempat.
Hari pertama berkunjung, saya bertemu dengan seorang nenek bernama Cut ‘Ati, sang nenek juga
merupakan ahli waris dari Teungku Chik
di Awe Geutah. Hanya saja,
Cut ‘Ati
mulai tidak bisa mengingat banyak
tentang Teungku Chik Di Awe Geutah maupun peninggalan-peninggalannya.
Kunjungan pertama ke tempat ini, saya disambut dengan gapura yang
bertuliskan Makam Teungku
Chik Di Awe Geutah, persis berada di pinggir jalan yang berhadapan langsung dengan Masjid Desa
Awe Geutah. Dari gapura, suasana
terlihat seperti memasuki gang kecil yang umumnya terdapat di kawasan padat penduduk. Namun ternyata
setelah gapura, terdapat gerbang selanjutnya
dengan
tulisan komplek makam Teungku Chik di Awe Geutah.
Sekitar 100 meter dari gapura atau persis setelah
gerbang komplek, terdapat
Dayah Teungku Chik di Awe Geutah. Ada sekitar sepuluh balai pengajian di dalamnya. Tak jauh dari
balai pengajian terlihat makam Teungku
Chik di Awe Geutah.
Persis berada di bawah rumah almarhum. Di ujung komplek terdapat rumah-rumah
keturunan dari Teungku Chik di Awe Geutah.
Bentuk rumah-rumah di komplek ini yaitu rumah panggung. Seperti rumah Aceh pada umumnya. Dengan
tiang-tiang penyangga yang begitu
besar, dan kuat. Khas kayu zaman dahulu. Tiang-tiangnya masih terlihat bagus. Sebelumnya dari Cut ‘Ati,
saya mengetahui bahwa rumah ini pernah di perbaiki oleh pihak
pemerintah.
"Rumoh nyoe ka meuthon thon. Kaleuh geu plitur
le awak kanto. Ka geulakee,
kakeuh tabri ju. Meunyo hana geuplitur, kayee jih kabeh teupluek (rumah ini sudah
bertahun-tahun. Sudah pernah diplitur oleh orang
kantor. Sudah diminta plitur, yasudah kita beri saja. Kalau tidak di plitur, kayunya sudah
rapuh)," kata Cut ‘Ati.
Di dalam kompleks ini juga terdapat sumur kalut dan
rumah kalut. Sumur kalut,
konon menurut warga sekitar dipercaya memiliki khasiat yang dapat menyembuhkan segala penyakit.
Sumur ini digembok, dan tidak sembarang
orang bisa mengambil air dari sana.
Biasanya gembok akan dibuka
jika ada warga yang ingin melepas kaoy atau bernazar. Dan hanya keturunan dari Teungku Chik di Awe Geutah yang dapat
menimba air dari sumur
ini.
"Biasanya kalau sakit kepala, atau sakit badan,
kami ambil air ke sana.
Atau misalnya bernazar supaya sembuh penyakitnya maka akan minum air dari sumur itu," ujar Zulfahanum
warga sekitar Gampong Awe Geutah.
Suasana komplek begitu teduh dengan tanaman hias
yang dibentuk rapi mengelilingi
rumah. Halaman lainnya dipasangi blok-blok batako, dan pekarangan ini dibatasi dengan
tembok-tembok besar sebagai pagar.
Di hari kedua, saya juga masih menunggu sang ahli
waris lainnya. Hingga adzan
dhuhur berkumandang, sang ahli waris belum juga ada di rumah. Menurut warga sekitar Teungku
Muhsin atau ahli waris Teungku Chik
di Awe Geutah sedang mengaji dan baru akan pulang pukul 14.00 WIB.
Setelah dua hari berturut-turut berkunjung, dan
berjam-jam menunggu, akhirnya
saya berkesempatan untuk bertemu dengan
Teungku Muhsin, sekaligus
mengetahui
tentang peninggalan ulama dan sejarah dakwah yang ada di Aceh.
Dari Teungku Muhsin, saya akhirnya mengetahui bahwa rumah
yang saat ini ditempatinya dan
yang pertama kali kami datangi ketika bertemu dengan
Cut ‘Ati merupakan bangunan kedua. Yang dibangun setelah Teungku Chik di Awe
Geutah meninggal. Sedangkan rumah dasar Teungku
Chiek di Awe Geutah telah dijadikan makam.
“Ini bangunan kedua. Rumah dasar Teungku Chiek di
Awe Geutah telah dijadikan
makam. Sehingga setiap ada yang berkunjung untuk mengetahui rumah Teungku Chiek di Awe Geutah maka
akan datang kemari. Sedangkan yang
ingin berziarah, maka akan langsung datang ke makam. Yang berada di depan dayah,” jelas Teungku Muhsin.
Di sini
biasanya masyarakat sekitar maupun luar berdatangan untuk berziarah, ada juga yang melakukan
pelepasan kaoy atau bernazar, selain
itu sebagian warga menjadikan tempat ini sebagai tempat troen tanoh aneuk. Troen tanoh aneuk atau
turun tanah anak merupakan tradisi yang
terkenal di Aceh. Artinya, orang tua menurunkan bayi ke tanah.
Hal ini dilakukan sewaktu bayi berusia
44 hari. Keluarga mengharapkan agar
doa-doa yang diucapkan ketika menuntun bayi menginjakkan tanah, sang bayi selalu mendapatkan kesalamatan
dan perlindungan dari Allah. Sedangkan
tujuannya dilakukan di tempat keramat peninggalan ulama ini dimaksudkan agar sang bayi kelak
memiliki akhlak yang baik dan dapat menjadi
penerus ulama yang berjuang untuk agama Allah.
Siapa
Teungku Chik di Awe Geutah ?
Teungku Chik Awe Geutah bernama asli Abdul Rahim bin
Muhammad Saleh. Seorang
ulama sufi yang berasal dari Kan’an, Iraq. Kemudian hijrah dan menetap di Awe Geutah hingga meninggal
di sana. Namun tidak diketahui persis
tahun berapa Abdul Rahim menginjakkan kaki ke Aceh. Di batu nisannya pun tidak tertera tahun
meninggal ulama besar tersebut.
Namun jika
diperhatikan
melalui peninggalan kitab yang ditulis tangan, terdapat
tulisan arab Fii zamani Ali Mughayatsyah,
yang dapat diartikan
bahwa ada di masa Ali Mughayatsyah. Sedangkan Ali Mughayatsyah
ada sebelum masa Sultan Iskandar Muda. Akan tetapi terjadi pula perbedaan pendapat mengenai
tahun kepemimpinan Sultan Iskandar
Muda. Sebagian mencatat Sultan Iskandar Muda memimpin pada abad ke-8 dan sebagian lainnya mencatat
abad ke-5. Sehingga tahun persis
datangnya Teungku Chiek di Awe Geutah pun tidak tercatat secara pasti.
Perjalanan Abdul Rahim hijrah ke Aceh hingga menetap
di Awe Geutah memiliki cerita
tersendiri. Abdul Rahim hijrah bersama para sahabat dan keluarganya. Dalam riwayat
disebutkan, ada sembilan ulama yang hijrah
bersama Teungku
Chiek di Awe Geutah ini. Hingga mendapat julukan
cap sikureung atau cap sembilan. Dan kesembilannya kemudian berpencar mencari tempat tinggal dan
menyebarkan agama Islam. Hingga Sembilan
ulama ini memiliki julukan masing-masing sesuai tempat mereka menetap.
Pencarian untuk mendapatkan negeri yang aman dan
tentram, membuat rombongan
Abdul Rahim harus menyinggahi beberapa tempat. Pertama Abdul Rahim singgah di kepulauan Nicobar dan
Andaman di Samudera Hindia. Kemudian
singgah di Pulau Weh. Lalu ke pulau Sumatera, yang pada saat itu disebut dengan Pulau Ruja. Di pulau
tersebut rombongan ini menetap beberapa
saat di Gampong Lamkabeu, Aceh Besar.
Merasa belum menemukan tempat yang cocok sebagai
tempat menetap, lalu rombongan
Abdul Rahim, melanjutkan lagi pelayaran dan akhirnya mendarat di Kecamatan Jangka. Rombongan
Abdul Rahim menetap di desa Asan
Bideun. Rombongan ini tinggal beberapa waktu dan mendirikan balai pengajian untuk menyiarkan agama Islam.
Merasa tidak cocok juga dengan tempat ini, Abdul Rahim memutuskan untuk
meminta petunjuk kepada Allah dengan
melakukan istikharah empat malam berturut-turut, dan harus naik ke atas bukit menghadap ke empat arah
penjuru mata angin. Dari empat arah
mata angin, arah timurlah yang akhirnya menunjukkan tanda-tanda yaitu dengan adanya semburat cahaya dari
arah sana. Maka keesokan harinya
rombongan langsung menuju ke tempat di mana asal cahaya itu berada.
Saat itu tempat ini masih hutan
belantara. Kemudian ditebang dan dijadikannyalah perkampungan. Dari rombongan
Teungku Chiek di Awe Geutah
inilah, nama Awe Geutah itu ada. Yaitu
ketika bergotong royong
dan salah satu diantara rombongan membersihkan getah rotan yang menempel di tangan. Kemudian mengusulkan
agar perkampungan ini diberi nama
Awe Geutah atau getah rotan. Dan Abdul Rahim pun menyetujuinya.
Sumur
Penawar
Saat ini sumur penawar dinamakan dengan sumur kalut.
Atau disebut juga dengan
ie mon zamzam. Menurut riwayat disampaikan bahwa, ketika memutuskan untuk berhijrah, Teungku Chik
di Awe Geutah membawa banyak bekal.
Salah satunya beliau juga membawa banyak air zamzam yang langsung dari Arab.
Setelah menetap di
Awe Geutah, dan banyaknya orang yang
menginginkan air ini, namun semakin hari stok semakin berkurang, maka Teungku Chik di Awe Geutah
memutuskan untuk menggali sumur didekat
tempat tinggalnya. Kemudian setelah menggali, dituangkannya lah sisa persedian air zamzam ke dalam sumur
tersebut.
Hingga saat ini air di
sumur itu tidak pernah kering. Dan hingga saat ini pula air dalam sumur tersebut dijadikan penawar untuk
segala penyakit.
Ketika ada warga yang ingin mengambil air dari sumur
kalut, maka harus meminta
izin terlebih dahulu pada ahli waris Teungku Chik di Awe Geutah, karena saat setelah mengambil
air ini akan dibacakan doa-doa terlebih
dahulu. Saat ini peninggalan Teungku Chiek di Awe Geutah sudah berada pada generasi ke-7.
“Kalau saya adalah keturunan yang ketujuh dari
Teungku Chik di Awe Geutah,” kata
Teungku
Muhsin.[]
[Cut
Salma H.A, Penulis
adalah peserta Klinik Jurnalistik
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh]